Saturday, December 23, 2017

“Separatis”, Kata Yang Tak Perlu Terucap

(source: https://thumb9.shutterstock.com)
“In the West Papuan people’s petition we hand over the bones of the people of West Papua to the United Nations and the world. After decades of suffering, decades of genocide, decades of occupation, we open up the voice of the West Papuan people which lives inside this petition. My people want to be free.”
Benny Wenda, exiled West Papuan leader 

Beberapa waktu lalu, Hermawan Sulistyo yang juga peneliti LIPI berkesempatan hadir sebagai narasumber. Di waktu senggang sebelum on air, Hermawan yang akrab disapa Kikiek itu bercerita tentang bahaya penggunaan kata “separatis”, jika terus digaungkan.

Kata itu semakin sering terdengar pasca pembebasan 1300 warga Kampung Banti dan Kimbely, Mimika, Papua berakhir mulus, meski hingga kini tak jelas, siapa pihak penyandera, karena belum ada yang berakhir di pengadilan.

“Kata separatis itu baiknya gak usah digaungkan. Bahaya, karena hal itu bisa membuat negara lain atau badan dunia terlibat ikut menumpas separatis”, pintanya.

Mendengar itu, saya langsung teringat beberapa nama. Sebut saja Cekoslowakia (menjadi Republik Ceko dan Slowakia), Ethiopia (pemisahan Eritrea), Yugoslavia (menjadi Bosnia - Herzegovina, Kroasia, Makedonia, Slovenia, Serbia, Montenegro dan Kosovo), Sudan Selatan (pemisahan Sudan). Semua negara itu berawal dari kasus separatisme yang memunculkan pelibatan PBB untuk menengahinya.

Bahkan Uni Soviet yang kala itu sebagai salah satu negara digdaya harus terfragmentasi menjadi beberapa bagian kecil, semisal: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina dan Uzbekistan.

Artinya, jika kasus kekerasan di Papua terus berlanjut dan tak bisa diselesaikan. Ketika pelakunya tak terungkap dan tak bisa dihadirkan di pengadilan, bukan tidak mungkin hal itu akan menyita perhatian dunia internasional.

Pada gilirannya, pelibatan PBB untuk menyelesaikan kasus itu sangat terbuka lebar. Jika itu yang terjadi, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa dianggap lalai. Lalai karena membiarkan pelanggaran terus terjadi di tanah Papua. Tentu, kita tidak menginginkan itu terjadi, bukan?

Karena itulah, menurut Kikiek, penggunaan istilah “kelompok kriminal bersenjata” lebih relevan. Sudah tepat, untuk menggambarkan apa yang terjadi di desa Banti dan Kimberly, Mimika, beberapa waktu lalu. 

Ketika ada kelompok/ pihak melakukan tindakan kriminal dengan menahan, membatasi gerak masyarakat, maka Polri yang harus bertindak. Hal itu akan memberi keleluasaan bagi polisi berperan besar. Dimana ada tindak kejahatan, dimana ada bukti dan pelaku, maka polisi yang berhak mengungkapnya.

“Bayangkan kalo tentara yang masuk. Jika terjadi korban jiwa akibat tembak menembak. Salah tembak sangat mungkin terjadi. Tentara tidak disalahkan, karena mereka didesain tidak untuk mempertanggungjawabkannya. Beda dengan polisi yang jika terjadi kejahatan, maka harus diusut tuntas” papar Kikiek.

Yup, sekali lagi, argumentasi Kikiek benar. Tentara memang tidak mengenal istilah pembuktian di pengadilan saat melakukan operasi militer. Tentu saja, karena TNI bekerja untuk perang sebagaimana diatur di UU RI Nomor 34 Tahun 2004. 

Pada pasal 7 ayat 2 ditegaskan tugas pokok TNI antara lain sebagai operasi militer untuk perang, mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis dan lain-lain.

Lalu pada pasal 1 ayat 5 dijelaskan jika tugas dan fungsi TNI untuk menjaga pertahanan negara di dalamnya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan.

Dengan dalil itu, TNI memang digerakkan untuk kondisi yang berhubungan dengan  perang demi mempertahankan kedaulatan negara. Tentara bergerak atas kepentingan negara.

Sementara ruang lingkup tugas Polri sesuai UU RI Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa untuk keamanan dan ketertiban masyarakat. Di dalamnya menciptakan suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman. 

Termasuk mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. 

Tugas polri memang untuk penegakan ketertiban umum, karena itulah ketika ada sekelompok orang yang mengganggu hak-hak orang lain, maka polri yang turun tangan. Termasuk, menyeret pelakunya ke meja hijau untuk diadili sesuai hukum yang berlaku.

Dan khusus "separatisme", hal itu dapat dilihat sebagai makar. Makar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: akal busuk; tipu muslihat; perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Atau dengan kata lain, makar juga dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. 

Adapun ketentuan tindak pidana makar (separatisme) telah dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya di pasal 106 yang menyatakan: makar (aanslag; Bahasa Belanda) yang dilakukan dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebahagiannya kebawah pemerintah asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebahagian dari daerah itu, dihukum pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. 

Pada pasal 106 KUHP, jelaslah yang menjadi objek penyerangan adalah kedaulatan atas negara. Dimana kedaulatan dapat dirusak dengan 2 cara yaitu, (1) menaklukkan kemudian menyerahkan seluruh daerah atau sebahagiannya kepada negara asing. (2) memisahkan sebagian daerah dari negara itu kemudian membuat bagian dari daerah itu menjadi negara yang berdaulat sendiri.

Ketika negara akhirnya menggunakan pendekatan perang (war model) dengan melibatkan TNI dalam penanganan separatisme, maka harus dipastikan hal itu memang mengancam kedaulatan negara. Dan pelibatan tentara sudah jelas dasar hukumnya.

Temuan Fairfax
Jika mengacu pada aksi kekerasan yang terjadi di Papua, sebagian besar mengkategorikannya sebagai tindakan separatisme yang berniat memisahkan diri dari Indonesia. Padahal seringkali, informasi yang beredar selalu berasal dari pihak berwenang dan bukannya dari masyarakat Papua. Maka stigma pelaku kekerasan sebagai bagian dari aksi separatisme kian menemukan wujudnya.

Khusus kasus penyanderaan warga di Kampung Banti, Mimika, Papua ada penemuan terbaru yang mengejutkan. Fairfax, jaringan media Australia mendapatkan bukti jika tidak terjadi penyanderaan. Hal itu ditemukan, saat mereka mewawancarai Jonathan Kibak, seorang pemimpin suku Amungme yang tinggal di Kampung Banti. 

“Saya ingin menegaskan, bahwa kami tidak disandera. Tidak ada orang di kampung yang berhenti melakukan aktivitas sehari-hari,” kata Jonatan Kibak kepada Fairfax, seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Kepada Fairfax, Kibak menyebut warga asli Papua adalah petani yang hidup dari singkong, kedelai dan produk lainnya yang mereka tanam. Mereka tidak memiliki keinginan dievakuasi dari daerah mereka. 

Dengan adanya operasi pembebasan sandera, Kibak khawatir jika tentara dan polisi akan menganggap mereka salah satu anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang ditengarai sebagai dalang dari penyanderaan tersebut. Bahkan terhadap warga non-Papua, Kibak memastikan kondisi mereka juga aman.

"Orang-orang non-Papua tidak disandera, mereka bebas. Tapi TPN tidak dapat menjamin keselamatan mereka jika mereka melewati zona pertempuran dan terjebak dalam baku tembak," ujar Kibak.

Diketahui, Kibak bertemu Fairfax Media di kota Timika, sekitar 64 kilometer dari zona konflik di Tembagapura, setelah dia melewati hutan dan kemudian naik helikopter Freeport pada 2 November lalu.

Pengacara Hak Asasi Manusia, Veronica Koman juga membantah terjadinya penyanderaan dan intimidasi terhadap 1300 warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Kepolisian dinilai memanipulasi fakta mengenai situasi yang sebenarnya di wilayah itu. 

“Tidak benar itu (penyanderaan),” ujar Veronica seperti dikutip dari Tempo, 12 November 2017.

Vero mensinyalir bahwa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dimaksud kepolisian adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). 

Kepolisian mengganti TPN dengan KKB untuk justifikasi dan tujuan tertentu. Salah satunya agar kepolisian bisa menyisir perkampungan, yang justru membuat warga merasa terintimidasi oleh kehadiran TNI dan Polri.

Menurut Vero, semua distorsi pemberitaan tersebut disebabkan buruknya kebebasan pers di Papua. Termasuk masih ditutupnya akses jurnalis asing ke Papua.

Persoalan Keadilan
Medio November lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menyebut kelompok yang melakukan penyanderaan terhadap 1300 warga Kampung Banti dan Kimbely, Mimika, Papua, merupakan kelompok kriminal bersenjata. Namun, selain kriminal, menurut Wiranto ada motif lain, yaitu memisahkan diri dari wilayah NKRI.

Oleh karena itu, pemerintah menggunakan terminologi “Kelompok Kriminal Separatisme Bersenjata” (KKSB). Dengan munculnnya pelebelan itu, maka TNI bisa dilibatkan. Alasannya, kelompok itu berambisi memisahkan diri dari NKRI. 

Senada dengan itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono memastikan, aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tidak semata-mata perbuatan kriminal, namun juga tindakan separatis. TNI ingin dilibatkan, namun selama belum ada arahan, TNI hanya membantu pihak kepolisian.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Dave Laksono menilai, masalah kesejahteraan merupakan penyebab utama mengapa aksi kekeraan terus bermunculan di tanah Papua. Menurutnya, selama masyarakat Papua belum merasakan keadilan, maka gerakan-gerakan semacam itu akan terus ada.

Karena itu, pemerintah harus aktif mengintensifkan ruang-ruang dialog dengan masyarakat dan tokoh-tokoh lokal. Juga dibarengi dengan pembangunan infrastruktur, sarana pendidikan, hingga pembukaan lapangan pekerjaan. Apa yang dilakukan pemerintah selama ini sudah tepat dan berada di jalur semestinya.

Seakan membenarkan pendapat anggota Komisi I DPR, Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian pada Kamis (9/11/2017) bahkan menyebut kelompok bersenjata yang diduga sebagai pelaku penembakan di kawasan PT. Freeport Indonesia dan menahan sekitar 1.300 orang merupakan pemain lama. 

Mereka sudah ada sejak dirinya menjabat Kapolda Papua pada 2012. Menurut Tito, kelompok tersebut memanfaatkan para pendulang liar limbah Freeport untuk mencari keuntungan.

"Modus yang paling sering dilakukan adalah para pendulang dijadikan tameng. Jadi yang dikatakan penyanderaan itu adalah para pendulang yang kemudian dijadikan tameng," papar Tito di Jakarta.

Jika diteruskan, penggunaan kata "separatis" akan menimbulkan bias yang luar biasa. Tak heran jika sekaliber Philip Seib, ahli jurnalisme menyebut penggunaannya harus diantisipasi. Karena jika tidak, bias dari kata "separatis" akan terjadi secara sistemis. 

Dan jika menyimak kembali temuan Fairfax, khususnya sesi wawancara dengan Komandan TPNPB, Hendrik Wanmang, tergambar jelas jika penduduk kampung Banti dan Kimbeli bukan target operasi mereka. Hanya saja kedua desa tersebut terjebak, karena berada di zona konflik.

Wanmang menyebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat merupakan pejuang kemerdekaan yang ingin membebaskan bangsanya dari kolonisasi Indonesia. Mereka hanya menuntut kedaulatan dan kebebasan bagi orang Papua. 

“Kami menginginkan pengakuan oleh pemerintah Indonesia dan Belanda, Amerika dan PBB, yang merupakan pelaku utama yang mengatur untuk keuntungan Freeport yang mengakibatkan Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, " jelas Wanmang seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Wanmang bahkan membantah tudingan yang menyebutkan TPNPB sebagai dalang di balik kasus kekerasan, seperti; pemerkosaan, pembakaran kios dan perampasan uang di wilayah tersebut. Menurutnya, tudingan tersebut tak lain dari upaya mendiskreditkan perjuangan yang dilakukan TPNPB

Merebak di akhir tahun
Sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-71 yang digelar di Markas PBB New York, pada 24 September 2016 agak berbeda. Pasalnya, sidang tersebut dihadiri 6 pemimpin negara kawasan Pasifik, yakni Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva, Presiden Nauru Baron Waqa, Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga mengajukan pernyataan yang tentang pelanggaran HAM di Papua.

Pada sidang tahunan itu, Indonesia kembali menuding negara-negara di kawasan Pasifik itu sebagai pengusik kedaulatan NKRI. Sementara di sisi lain, dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua, tak kunjung tuntas.

Hal itu yang menjadi pertanyaan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare yang menyebut dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Papua Barat terkait dengan keinginan daerah itu untuk merdeka.

Bahwa telah terjadi peristiwa hilangnya ribuan mungkin jutaan warga Papua karena operasi militer, merupakan fakta yang tidak mungkin ditutup-tutupi. Febriana Firdaus, jurnalis lepas menyebut, salah satunya adalah peristiwa Paniai. 

“Ribuan masyarakat Paniai ditangkap semena-mena oleh pasukan militer selama beberapa tahun, dengan alasan menyelamatkan kedaulatan nasional”, tulisnya.

Kini menjadi pertanyaan besar, apakah NKRI yang kita banggakan ini dibangun di atas darah orang Papua yang ditangkap dan hilang entah ke mana? Lalu, haruskah Indonesia melakukan itu? Menurut saya, Indonesia tak perlu terjebak dalam nasionalisme sempit, karena fakta membuktikan banyak negara terjebak dalam slogan nasionalisme semu. Contohnya, Korea Utara, hingga Myanmar.

Saya lalu teringat tulisan Ricky Keiya, pemuda asal Papua yang kini bermukim di Bogor, Jawa Barat. Menurutnya Paniai sempat mencekam saat ia menyambanginya 4 tahun silam. Menurutnya, Paniai merupakan daerah target operasi militer karena ditengarai gerakan Papua merdeka subur di sana.

“Saat itu, Paniai tiba-tiba mencekam. Beredar berita bahwa ada penembakan oleh OPM terhadap seorang anggota kesatuan Brimob. Setelah diusut oleh lembaga independen, ternyata isu itu sengaja dimainkan aparat keamanan untuk melakukan pelaporan tahunan. Hal ini tentunya berhubungan dengan penggunaan anggaran belanja negara”, ungkap Ricky.

Uniknya lagi, aksi-aksi separatisme selalu merebak di akhir tahun. Dari tahun ke tahun selalu saja isu “Papua Merdeka” muncul di penghujung tahun. Dalam satu sesi diskusi, Ricky secara gamblang menjelaskan tentang itu.

“Mungkin karena aparat TNI dan POLRI bingung bagaimana menghabiskan uang negara untuk keamanan. Makanya, isu-isu murahan tersebut sengaja dimainkan”, pungkas Ricky.

Bukan Bagian Indonesia
Sejatinya, praktik separatisme berawal dari pemberontakan terhadap sebuah kedaulatan yang sah. Namun untuk kasus Papua, kita tidak bisa menganggapnya begitu. Sebuah dokumen rahasia AS yang diterbitkan kantor berita AP beberapa waktu lalu memuat informasi berharga soal Papua.

Laporan istimewa itu menyebut Papua, yang berada di bagian barat Papua Nugini, tetaplah menjadi koloni Belanda setelah Indonesia merdeka pada akhir Perang Dunia II.

Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Sekarno memberi mandat kepada Mayjen Soeharto untuk melaksanakan operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Tujuannya mengusir Belanda dan menguasai tanah Papua pada 1961.

Selama ini, seperti halnya pendidikan sejarah di sekolah, pemerintah menggunakan diksi “merebut” tanah Papua. Kata merebut sering dilekatkan pada kepemilikan. Berarti ada pihak lain yang telah mencuri dari Indonesia. Padahal, Papua tidak pernah menjadi bagian dari Indonesia. Papua juga tidak masuk dalam peta, saat Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya di tahun 1945.

Artikel itu juga menjelaskan tentang pendapat masyarakat Indonesia yang melihat pendudukan Papua di tahun 1961 sebagai kemenangan terakhir dari perjuangan kemerdekaan. Selain itu, dalih yang kerap digunakan pemerintah Indonesia adalah Act of Free Choice atau Referendum PEPERA pada 1969, dimana hanya 1.000 orang tetua dipaksa ikut memberikan suaranya bergabung dengan Indonesia.

Sementara bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia yang kental dan sejarah yang berbeda dengan kebanyakan warga di Asia Tenggara, Indonesia dianggap sebagai penjajah yang harus dilawan.

Jika fakta bahwa Papua tak pernah menjadi bagian dari Indonesia, maka penggunaan kata “separatis” tidak elok digunakan dalam setiap pemberitaan tentang aksi kekerasan di Papua. Separatis hanya cocok dilekatkan pada kelompok pembangkang yang dulunya ikut mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Sementara Papua berbeda sama sekali.

Karena itulah, sebagaimana keterangan Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar menyebut aksi kelompok bersenjata memiliki sejumlah tuntutan, diantaranya; pemerintah Indonesia harus menyetujui referendum, dimana rakyat Papua bebas menentukan nasib nya sendiri. Dan jika menyimak sejarah, tuntutan itu tak berlebihan rasanya.

Seperti halnya Hermawan Sulistyo, yang menyebut kata “separatis” memang tidak baik digunakan jika merujuk Papua, saya malah menduga penggunaan diksi "separatis" sengaja didengungkan sebagai upaya untuk menutupi sejarah kelam bergabungnya Papua ke pangkuan ibu pertiwi. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN