Wednesday, February 28, 2018

Menjelajahi Gunung Raja, Surganya Para Pendaki


(Puncak Tertinggi Sibayak. Foto: Jekson Simanjuntak)
Oh, these vast, calm, measureless mountain days, days in whose light everything seems equally divine, opening a thousand windows to show us God.
--John Muir

Belasan tahun sudah, saya absen merayap di lereng Sibayak, Sumatera Utara yang terkenal terjal, licin dan berbahaya. Menjelajahinya kembali seakan membangkitkan kenangan masa lalu. Masa di saat kuliah dahulu. Era dimana gairah melakukan travel (perjalanan) begitu meluap-luap. Ingin lebih dekat, lagi dan lagi, menikmati karya sang maestro alam.

Kini, di usia yang tak lagi muda, gairah yang sama tetap terjaga. Terendap sempurna dalam gugusan pertanyaan tentang; seberapa kuat dan seberapa mampu saya melaluinya, meski kadar tenaga mungkin jauh berbeda.

Tapi, sudahlah! Semua itu harus dilalui dengan segudang pertimbangan. “Dengan perencanaan yang matang, pasti hasilnya pun akan baik”, gumanku lirih, sehari sebelum mendaki. Merengkuh puncak sejati Sibayak. Gunung Raja, surganya para pendaki Sumatera Utara, kini tak bisa ditawar lagi.

(Persiapan sebelum berangkat. Foto: Jekson Simanjuntak)
Ide Solo Traveler
Selintas, sempat terpikir untuk melaluinya dengan beban yang minim seorang diri. Yang penting membawa air dan perbekalan secukupnya. 

Melaluinya, ibarat menjelajahi puncak Gunung Gede via Gunung Putri atau Cibodas, Jawa Barat, demikian akal sehatku mencerna.

Maklum, kegiatan ultralight backpacking kian menemukan wujudnya di Gunung Gede-Pangrango, dalam beberapa tahun terakhir. Caranya, mendaki dengan beban minimal untuk bisa menggapai puncak dalam tempo singkat. Sesingkat-singkatnya waktu.

Tak heran jika di akhir pekan, kita akan menemukan banyak pelari yang berhasil muncak hanya bermodalkan daypack (tas ransel kecil). Jika istirahat dirasa cukup, mereka segera turun lewat jalur yang mereka suka. Bisa lewat Gunung Putri atau Cibodas.

Beberapa kali, saya sempat bertemu dengan kelompok pelari gunung itu. Melihat kegigihannya mendaki dalam tempo singkat, membuat hati ini takjub. Medan yang berat dengan lintasan zig zag bukan penghalang, bahkan menjadi penanda bahwa kegiatan berisiko itu membutuhkan stamina prima dan kemampuan berpikir yang cemerlang.

Kemampuan akal yang baik sangat diperlukan untuk memutuskan, kapan berhenti dan kapan waktunya berjalan. Tak heran jika, Alm. Soe Hok Gie, Pendiri Mapala UI pernah berujar, bahwa pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus diimbangi dengan pertumbuhan fisik yang baik. Karena itulah mereka mendaki gunung.

Yup..., hanya pemuda yang punya fisik prima yang sanggup mendaki gunung tanpa kendala.
(Istirahat di jalur. Foto: Jekson Simanjuntak)

Jalur 54
Sebelum hari H, mendaki Sibayak seorang diri urung saya lakukan. Hal itu setelah melalui pertimbangan matang dan demi meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi. Salah satunya terkait perubahan jalur di Sibayak.

Benar saja, pasca berdiskusi dengan beberapa junioren mapala di kampus, diputuskan agar pendakian Sibayak dari “Jalur 54” seperti rencana awal, tidak dilakukan seorang diri. 

“Jalur 54” merupakan jalur tradisional pecinta alam di Sumatera Utara. Dinamakan demikian, karena berada pada kilometer 54 dari Kota Medan. Berbeda dengan rute Gunung Gede - Pangrango yang jalur dan penanda arahnya lebih jelas, “Jalur 54” sangat tertutup. Dibutuhkan kehati-hatian saat melaluinya. Di jalur yang tidak begitu jelas itu, ditemukan banyak persimpangan semu, yang berpotensi menyesatkan.

Selanjutnya, saya setuju dengan ide mendaki Sibayak ditemani para junioren. Nantinya, dari puncak saya segera turun, kembali ke kota Medan, karena keesokan harinya harus kembali ke Jakarta. Tak lucu jika harus ketinggalan pesawat, hanya karena terlambat turun gunung, bukan?

(Kawasan Puncak Sibayak. Foto: Jekson Simanjuntak)
Catatan Sejarah Sibayak
Gunung Sibayak berjenis stratovulkano, merupakan wilayah vulkano aktif yang dikelilingi beberapa puncak, seperti Pintau di Utara, Pertektekan, Sempulanangin di Timur, serta Singkut di Selatan. 

Secara geologi, kawasan ini termasuk dalam Great Sumatera Fault Zone (GSFZ) (Hamilton, 1979) yang berhubungan erat dengan era kuarter yang kompleks. Dulunya Sibayak merupakan bagian dari kaldera Singkut sepanjang 170 Km2.

Gunung Sibayak berjarak 65 Km dari Barat Daya kota Medan, ibu kota provinsi Sumatera Utara. Untuk menjangkau pintu rimbanya dibutuhkan waktu selama 2 jam berkendara. Gunung Sibayak juga lebih dekat dengan Kota Berastagi, kawasan wisata yang terkenal di Kab. Karo. 

Sejarah vulkanologi Sibayak mencatat, gunung ini meletus terakhir kali pada tahun 1881. Saat itu, morfologi Sibayak (2.094 mdpl) yang merupakan bagian dari gunung api kembar dengan Pintau berbentuk kerucut mengalami perubahan drastis.(Newman van Padang, 1951).

Kerucut vulkanik Sibayak disusun dari aliran lava dan kubah lava, sedangkan kerucut Pintau dan dua buah kubah lava di sebelah selatan dihasilkan oleh aktivitas terakhirnya. Hasil erupsi Sibayak menghasilkan batu apung (pumice). Sedangkan analisa petrografi lava Sibayak menunjukkan adanya batuan Andesit Horblende mengandung Biotit.

Menurut Santoso dkk (1982) morfologi kawasan Sibayak terbagi atas beberapa bagian yaitu puncak tertinggi Pintau, Sibayak dan Pertetekan. Adapun pembentuk tapal kuda (caldera ring) terdiri dari Sempulenangin (1437 m), bukit (1490 mdpl), Singkut (1680 m), dan Uncim (1840 mdpl). Puncak bukit-bukit itu letaknya disekitar kawasan Sibanyak.

Pasca letusan 1881, Sibayak memunculkan wujudnya seperti sekarang ini, dikenal sebagai Sibayak Muda, karena bentuknya yang tidak beraturan. Sibayak Muda juga terjadi akibat pergerakan vulkanik, memunculkan beberapa kawah, terdiri dari solfatara dan fumarola. 

Luas kaldera yang tersisa saat ini hanya 900 meter persegi dengan dinding utara ditutupi piroklastik produk gunung Pintau. Sementara dinding bagian barat terdiri dari aliran lava yang cukup tebal. 

Letusan hebat itu menyisakan sejumlah hal. Salah satunya, cadangan uap panas yang terperangkap di sekitar kaki Gunung Sibayak. Kini, cadangan uap panas itu, dimanfaatkan oleh pertamina sebagai pembangkit listrik tenaga uap.

Oleh masyarakat sekitar, uap panas tersebut dimanfaatkan sebagai tempat berendam air panas. Tak heran jika pengunjung akan menemukan banyak kolam pemandian air panas milik penduduk, khususnya di Desa Sidebu-Debu. 

Dahulu, sehabis turun gunung, kami kerap mandi air hangat disitu, sebelum kembali ke Medan. Lumayan sebagai terapi untuk melemaskan otot-otot yang kaku usai mendaki.

(Istirahan di Pos II. Foto: Jekson Simanjuntak)
Petualangan Dimulai
Pukul 12 siang, kami tiba di pintu rimba “Jalur 54”. Suasana cukup lengang, karena kebanyakan penduduk sedang ke ladang. Berjalan pelan, kami menapak di jalur yang memang langsung menguras energi. 

10 menit mendaki dengan sudut kemiringan 40 - 45 derajat, kami akhirnya tiba di tower Sutet yang menjadi batas sebelum memasuki kawasan hutan hujan tropis. Kami lalu beristirahat untuk pertama kalinya, sebelum melanjutkan perjalanan. 

Rehat 10 menit, kami rasa cukup untuk memulihkan stamina. Pasalnya, jika istirahat terlalu lama, maka tubuh juga butuh waktu yang lebih lama untuk kembali beraktivitas. Karena itu, sebisa mungkin, istirahat jangan terlalu lama. Karena jika terlampau lama, maka malas untuk bergerak.

Dalam perjalanan ini, saya menyaksikan tidak banyak yang berubah, selain pintu rimba yang kini dijejali rumah penduduk. Dulunya tempat itu kosong, hanya dipenuhi pepohonan hutan dan ilalang.

Lepas dari pos bayangan “Sutet”, kami meringsek lebih jauh ke dalam hutan. Sama seperti sebelumnya, setiap berjalan 10 - 15 menit, kami beristirahat selama 5 menit. Buat saya hal itu sangat berarti. Maklum sudah hampir setahun saya tidak mendaki gunung. Dan mendapati rute menanjak seperti itu, penyesuaian ritme sangat diperlukan.

Dalam pendakian ini, saya membawa sejumlah peralatan pribadi, seperti alat masak (trangia), tempat minum (1 liter), senter, pakaian cadangan, jas hujan, jacket, lilin, korek api, P3K dan logistik untuk 1 hari. Sementara untuk peralatan tim, seperti tenda dan benda-benda lain, telah dipersiapkan oleh para junioren yang ikut menemani.

Jika dihitung-hitung, berat beban yang saya bawa mencapai 12 Kg. Tidak terlalu ringan dan juga tidak terlalu berat. Dibandingkan saat mahasiswa dulu, beban yang biasa saya bawa, kini jauh berkurang. 

Sebelumnya, dalam setiap perjalanan yang memakan waktu 2-3 hari, saya kerap memanggul beban seberat 20Kg. Khusus untuk kegiatan MOA (Masa Orientasi Anggota) dengan durasi 7-10 hari, bebannya bisa mencapai 30 Kg. Hal yang sama juga berlaku saat melakukan ekspedisi pembukaan jalur.

Sambil berjalan, mata saya tak henti-hentinya memperhatikan dengan seksama setiap detil jalur yang dilalui. Menurutku, “Jalur 54” tidak berubah drastis. Hanya di beberapa persimpangan, ada perubahan arah, karena pohon tumbang atau longsor.

1 Jam berjalan, kami tiba di Pos I. Letaknya berada di tengah jalur, cukup datar dan mampu menampung 5 buah tenda doom ukuran 4 orang. Dulunya lokasi itu tidak terlalu terbuka, karena lebih sering digunakan sebagai camp darurat jika kelelahan. Tidak terlalu banyak pendaki yang mau bermalam disitu. Biasanya jika arah pulang, kebanyakan lebih memilih bablas turun ke bawah, karena jaraknya tidak terlalu jauh.

Di tempat itu, kami sempatkan untuk beristirahat. 5 menit kemudian, kami berjalan kembali. Dari Pos I, target selanjutnya Pos II. Pos itu sangat berkesan buatku, karena di tempat itu, dulu kami sering bermalam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Jujur, salah satu tempat yang paling menarik dari “Jalur 54” adalah Pos II. Pasalnya di tempat itu, cahaya matahari masih bisa masuk, sehingga sekeliling tidak tertutup kanopi hutan, seperti di pos I. Selain itu, di pos II, kita bisa menemukan air dan bisa melakukan pengamatan burung.

Untuk mencari air, letaknya agak naik sedikit, berada di pojokan kanan jalur. Airnya mengalir dari akar-akar pohon yang jatuh ke bebebatuan. Di musim hujan, air biasanya berlimpah. Namun, disaat musim kering seperti saat kami mendaki, airnya berkurang, Tapi gak perlu khawatir, karena air masih bisa didapati. Caranya, kita turun sedikit dari pos II menuju lembah. Di sungai kecil itu, air biasanya tersedia.

Tak terasa dari Pos I ke Pos II kami tempuh selama 45 menit. Lumayan ngos-ngosan, tapi tetap menarik untuk diapresiasi. Tentu saja, karena jalurnya yang bervariasi. Kadang naik dan terkadang menurun atau mendatar. Jika menemukan jalur mendatar atau menurun, kami menyebutnya “BONUS”. Biasanya langkah pun dipercepat.

Di pos II, kami beristirahat lebih lama, kurang lebih 45 menit, karena sekalian makan siang. Beberapa junioren langsung menjerang air dan membuka perbekalan. Di udara dingin, menikmati minuman hangat sangat berarti. Karena itu minum teh jadi pilihan tepat untuk menemani santap siang.

Dari Pos II, perjalanan kembali dilanjutkan. Dengan perut yang terisi, perjalanan kini menjadi lebih mudah. Tubuh juga telah beradaptasi sempurna. Setiap tanjakan dapat kami lalui dengan cepat, meskipun tanjakannya cukup terjal. Khusus untuk rute yang mendatar atau menurun tetap masih ada, namun frekuensinya tidak sebanyak sewaktu menuju Pos I dan Pos II.

Setelah berjalan selama hampir 2 jam, saya merasa ada keanehan. Pos III yang dahulu biasa ditemukan setelah 45 menit mendaki, kini menghilang. Di zaman kuliah, kami kerap bermalam di Pos III sebelum ‘Summit Attack”. Sayang, saya tak menemukannya. Saya penasaran lalu bertanya kepada junioren.

Menurut mereka, sejak mendaki gunung itu, Pos III yang saya maksud memang tak pernah ditemukan. Menurut mereka, jalurnya sudah seperti sekarang ini. Analisaku menyebut, pastinya terjadi perubahan rute, karena longsor besar. Maklum, saat kuliah dulu, longsor di Sibayak memang kerap terjadi, sehingga rute dibuat memutar.

Di pendakian ini, saya merasa jalurnya agak melipir terlalu jauh ke kiri, sementara Pos III adanya di sebelah kanan. Dan benar saja, dampaknya terasa pada tanjakan-tanjakan terjal berikutnya. Rute baru itu terkesan memaksa, karena harus memotong punggungan dalam sudut kemiringan yang ekstrem.
(Lepas dari hutan Pandan. Foto: Jekson Simanjuntak)

Menuju Gorong-Gorong
Pasca gagal menemukan Pos III, kini kami dihadapkan pada perubahan vegetasi, dari pepohonan hutan yang lebat beralih ke vegetasi pandan. Itu artinya, kawasan puncak semakin dekat. Dulu, begitu tiba di kawasan pandan, perasaan semakin riang, karena perubahan vegetasi dan pemandangan yang kian terbuka.

Tapi..., ups! Nanti dulu!. Hal itu tidak serta merta terjadi. Pasalnya, kita harus berjuang melewati dua gugusan hutan pandan dalam jarak yang cukup jauh. Kurang lebih 30 menit berjalan. Bagi pendaki Sibayak, kawasan hutan pandan dikenal sebagai “gorong-gorong”, karena bentuknya seperti gorong-gorong yang bagian atasnya tertutup helai-helai pandan. Cahaya matahari juga tidak tembus.

Di musim hujan, air selalu melimpah di gorong-gorong. Akibatnya sepatu selalu basah. Jalurnya menjadi sangat licin. Dibutuhkan kehati-hatian saat melangkah. Kondisi berbeda ketika kami melaluinya. Gorong-gorong terlihat kering. Itu sebabnya, kami melaluinya dengan mudah.

Lepas dari hutan pandan, vegetasi berikutnya adalah kawasan Cantigi. Cantigi merupakan tanaman khas puncak. Literatur menyebut jika Cantigi merupakan tanaman hebat, karena hidup di puncak gunung dan tahan terhadap asap belerang. Ia juga kerap memberi perlindungan bagi pendaki, sebagai tempat untuk mengaitkan pasak tenda dan tempat berlindung dari terpaan dingin ataupun panasnya mentari.
(Kabut Sibayak menanti para pendaki. Foto: Jekson Simanjuntak)

(Kawah Sibayak. Foto: Jekson Simanjuntak)
Di kawasan puncak Sibayak, tanaman Cantigi banyak ditemukan. Bahkan 30 menit menjelang puncak, tanaman ini setia menanti para pendaki yang kelelahan. Di Sebuah tubir jurang, lepas dari kawasan pandan, kami istirahat sejenak tuk melepas lelah. Pun, tanaman Cantigi sebagai pembatas jurang itu.

Kami menyebut lokasi tersebut sebagai “Panorama”, karena dari tempat itu, kita bisa melepaskan pandang ke sekeliling. Termasuk, melihat kembali hutan dibawah, yang baru saja kami lalui. Jika sudah sampai di titik itu, rasa takjub meraja. Masih tidak menyangka jika berhasil melaluinya.

Dari Panorama I, perjalanan dilanjutkan menuju Panorama II, berjarak 15 menit mendaki. Di tempat itu, lokasinya berkabut dan aroma belerang mulai menggoda. Fix, tempat itu diselimuti bebatuan yang dicelah-celahnya tumbuh Cantigi. Dari sini, puncak sejati Sibayak jelas terlihat. Menantang ingin ditaklukkan.

Usai rehat 5 menit di Panorama II, babak akhir pencapaian puncak kami tuntaskan. Hari masih terang, meski jam telah merujuk angka 17.55 WIB, saat tiba di kawasan puncak. Dari situ kami menuju ke titik tertinggi. Letaknya 2212 meter diatas permukaan laut yang dulunya merupakan lokasi berdirinya tiang seismograf. Namun kini, tiang-tiang itu ikutan menghilang. Ntah kemana.

Yup, tak sampai 5 menit, kami berhasil mencapai puncak tertinggi Sibayak. Di situ kami manfaatkan waktu dengan berfoto bersama, sambil menikmati matahari tenggelam di ufuk barat. Kini lengkap sudah, pendakian yang kugagas, jauh-jauh dari Jakarta. Perjalanan mendaki Sibayak tunai jua. Saya berhasil merengkuh puncak sejati Sibayak, lengkap dengan bukti foto dan tawa canda anggota tim pendaki yang menemani.

Hujan yang tiba-tiba deras, menjadi penanda babak akhir perjalanan kami untuk segera turun ke kawah. Berlama-lama di puncak Sibayak juga tidak baik, karena rawan tersambar petir, yang seakan menjadi menu rutin, jika hujan turun dengan lebat.
(Penulis di kawasan puncak Sibayak. Foto: Ibnu)

Makan Malam
Pukul 18.35 WIB, kami tiba di kawah dan langung mendirikan tenda. Perut yang keroncongan, sebagai alasan bagiku untuk bergegas memasak. Kompor 'Trangia' yang kubawa segera mengambil peran untuk menjerang air dan memasak menu makan malam lainnnya.

Sementara itu, hujan yang tak kunjung reda, memaksa tim bergerak cepat untuk memasang tenda dan mengamankan sejumlah barang lainnya. Kurang lebih 30 menit lamanya hujan membasahi Bumi Tanah Karo Simalem. Setelah itu, masing-masing anggota tim segera masuk untuk menghangatkan tubuh. Adapun saya, lebih memilih di luar tenda, karena tugas memasak yang belum kelar dan malas untuk membuka sepatu.

Satu jam berlalu, makan malam pun siap. Menunya adalah sop, telur dadar, sarden dan mie instan ditemani minuman hangat. Kami pun menyantapnya dengan lahap. Tak bersisa.

(Berpose sebelum turun ke kawah. Foto: Jekson Simanjuntak)
Pulang
Pukul 20.00 WIB, ditemani seorang junioren, saya akhirnya memutuskan melanjutkan perjalanan turun ke Berastagi, Kab. Karo, untuk selanjutnya menuju Kota Medan. Sementara junioren yang lain tetap bermalam di kawah Sibayak. Maklum, esok merupakan waktu terakhir saya sebelum bertolak ke Jakarta. Kembali ke dunia nyata yang riuh dan serba terburu-buru.

Sepanjang perjalanan menuju Kota Medan, tak henti-hentinya saya mengucap syukur. Bersyukur karena masih diberi kesempatan menikmati puncak sejati “Gunung Raja”, gunungnya ‘orang’ Karo yang terkenal hingga mancanegara. Pun, bersyukur atas nostalgia tentang perjalanan yang pernah saya lakukan, puluhan tahun silam. Perjalanan ketika tubuh sedang baik-baiknya.

Dan bagi saya, mendaki Sibayak pesonanya tetap sama. Meninggalkan sepenggal kisah dan catatan wisata tentang orang-orang yang tetap terpikat akan keagungannya. Keindahan karya sang maestro alam. (Jekson Simanjuntak)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN