Saturday, December 14, 2019

Mengintip TWA Angke Kapuk


Hutan mangrove di TWA Angke Kapuk, tempat yang tepat untuk melepas lelah
sembari menghirup udara segar. (foto: jacko agun)

Mangrove forests stabilize the coastline, reducing erosion from storm surges, currents, waves, and tides. The intricate root system of mangroves also makes these forests attractive to fish and other organisms seeking food and shelter from predators.

Sejak pagi, Gilang telah bersiap. Bocah berusia 10 tahun itu begitu bersemangat saat diajak mengunjungi Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Angke Kapuk, yang jaraknya 16 Km dari rumahnya.

Dari internet, Gilang tahu jika Taman Wisata Alam Mangrove berada di Kamal Muara, tepatnya di Jalan Garden House RT.8/RW.1, Penjaringan, Jakarta Utara. Jam bukanya mulai pukul 07.00 - 18.00 WIB. Sementara untuk tiket masuk, Rp25.000, bagi pengunjung lokal dan Rp250.000 untuk turis asing.

Ini merupakan pengalaman pertama Gilang mengunjungi hutan mangrove. Selama perjalanan menuju lokasi, tak henti-hentinya Gilang bertanya soal bentuk mangrove dan apa manfaatnya.

“Ma, hutan mangrove itu kayak apa sih? Betul-betul hutan?”, tanya Gilang.

TWA Mangrove sengaja dipilih, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, namun memberikan pengalaman yang berbeda dari wisata alam biasa. Belum lagi, dalam beberapa tahun terakhir, TWA Mangrove Angke Kapuk ramai diperbincangkan di sosial media, karena menghadirkan spot foto menarik.

Khusus terkait aturan memotret di TWA Mangrove Angke memang berbeda dengan lokasi wisata lainnya. Disini, pengunjung dikenakan biaya Rp150.000/ kamera, memotret dengan kamera packet, gopro, atau polaroid. Sementara jika menggunakan DSLR akan ditagih Rp300.000/ Kamera.


Bagi pengunjung yang ingin mendokumentasikan pengalamannya di kawasan ini, tak perlu khawatir. Pasalnya, menggunakan kamera HP, Ipad atau Drone, tidak dikenai biaya alias gratis.

Gilang di pembibitan mangrove
Itu juga yang membuat Gilang sibuk mendokumentasikan hal-hal yang menurutnya menarik dengan ponselnya, atau jika dirasa perlu, ia akan meminta sang mama memotret dirinya dengan latar belakang hutan mangrove.

“Lumayan, buat kenang-kenangan dan untuk kutunjukin ke teman”, sergah Gilang sumringah.

Mendengar penuturan pemandu, akhirnya diketahui, jika aturan tersebut, mengadopsi aturan umum yang berlaku di kawasan konservasi di seluruh Indonesia. Pengunjung tetap diperbolehkan membawa kamera, hanya saja akan dikenai biaya tambahan.

“Itu aturannya resmi dari pemerintah. Kami tidak mengada-ada. Toh, nanti uangnya masuk ke negara juga”, ujar Resijati Wasito yang menjadi pemandu di TWA Mangrove Angke Kapuk.

Berada di kawasan ini, membuat Gilang takjub akan hijaunya hutan mangrove yang asri. Hutan mangrove ini juga menjadi lokasi yang pas untuk mencari udara segar, atau menjauh dari rutinitas ibu kota Jakarta yang membosankan.

Pada sebuah kesempatan, Gilang bertanya tentang apa itu mangrove. Menurutnya, hutan mangrove lebih mirip hutan di pinggir pantai dengan pohon-pohon yang tergenang air.

“Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau, hutan yang tumbuh di air payau, dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut”, jawab Resijati Wasito.

Hutan mangrove selalu tumbuh di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.

“Pantes, disini banyak lumpurnya”, celoteh Gilang.

Ekosistem mangrove dilihat dari menara pengamatan burung
Berdasarkan literatur, ekosistem mangrove merupakan ekosistem unik yang berada di zona intertidal dan dijumpai di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis.  Karena itu, ia menjadi habitat berbagai jenis burung air serta rumah bagi berjenis-jenis ikan. Pun tak ketinggalan satwa lain, seperti; buaya muara (Crocodylus porosus), kura-kura ambon (Cuora amboinensis), biawak (Varanus salvator), ular welang (Bungaru fasciatus), ular pucuk (Ahaetulla prasina), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lain-lain.

Saat ini, pelestarian ekosistem mangrove marak digalakkan, seiring dengan dampak positif terhadap lingkungan, serta peningkatan nilai ekonomi masyarakat setempat. Pasalnya, hutan mangrove mampu menghasilkan udara bersih, berbagai produk kayu dan nonkayu, hingga wisata konservasi.

Ada Apa di TWA Angke Kapuk?
Bagi pengunjung yang ingin berwisata di TWA Mangrove Angke Kapuk, tak perlu khawatir, karena ada berapa pilihan moda transportasi yang layak untuk dicoba.

Pintu masuk TWA Angke Kapuk, lokasinya tidak jauh
dari pusat kota
Alternatif pertama menggunakan Transjakarta, dan ini terbilang murah. Hanya perlu merogoh kocek Rp3.500 per sekali jalan, termasuk saat pindah koridor. Untuk sampai di TWA Mangrove, pengunjung harus naik transjakarta koridor 9A jurusan Pinang Ranti – Pluit dan turun di halte Pluit Village Mall. Setelah itu dilanjutkan menumpang angkot merah nomor B01 (trayek Grogol – Angke). Pengunjung bisa turun di gerbang Pantai Indah Kapuk, dan berjalan kaki menuju ke pintu TWA Mangrove.

Kedua menggunakan kendaraan pribadi. Bagi pengunjung yang menggunakan mobil pribadi, setidaknya ada dua alternatif yang bisa dipilih. Yang pertama melalui tol dalam kota dan keluar di pintu tol Pluit. Setibanya di Mega Mall Pluit, jalan terus hingga masuk ke Jalan Muara Karang. Setelah melewati jembatan, akan bertemu Pizza Hut, lalu berbelok ke kiri untuk tiba di kawasan Pantai Indak Kapuk. Pilihan kedua jauh lebih mudah, yakni lewat tol bandara dan langsung keluar di pintu tol Pantai Indah Kapuk.

Alternatif terakhir melalui aplikasi. Cukup pesan melalui aplikasi, lalu duduk manis selama di perjalanan, sebelum akhirnya tiba di pintu gerbang TWA Mangrove Angke Kapuk. Alternatif ini yang dipilih Gilang dan keluarganya saat berwisata di hutan mangrove Angke Kapuk.

Di TWA Mangrove Angke Kapuk, selain mendapatkan asupan oksigen yang bersih, pengunjung juga dimanjakan dengan sejumlah fasilitas, speed boat, perahu dayung, sepeda air, kanoing hingga kayaking. Juga tak ketinggalan penanaman mangrove.

Di Kawasan ini juga disediakan fasilitas camping ground/ rumah tenda yang dipatok Rp300.000/ malam untuk dua orang. Lalu ada rumah tenda di atas air; Rp450.000/ malam dengan maksimal dua orang dalam satu kamarnya. Sementara khusus villa, biayanya bervariasi antara Rp1.600.000 s.d. Rp6.000.000. Namun tak tertutup kemungkinan harga bisa berubah sewaktu-waktu.

Spot menanam mangrove di TWA Angke Kapuk
khusus fasilitas wisata air, seperti sewa kano/perahu dayung, dikenai biaya Rp100.000 per 45 menit. Sewa perahu, bervariasi antara 6 orang: Rp350.000/ perahu dan 8 orang: Rp450.000/ perahu. Juga ada penyewaan sepeda air Rp100.000/ unitnya.

Jika kurang tertarik menikmati wisata air, tak ada salahnya mencoba paket wisata menanam mangrove. Biayanya Rp150.000 untuk setiap pohon. Namun jika ingin menggunakan plank nama, biayanya Rp500.000/ orang. Pihak pengelola menyebutnya sebagai penanaman nostalgia, karena akan meninggalkan kenangan, berupa papan nama bagi penanamnya.

Sarana Konservasi Sekaligus Wisata
Setibanya di pintu gerbang TWA Angke Kapuk, Resijati Wasito, seorang pemandu senior yang juga petugas bagian konservasi dan edukasi telah menanti.

“Panggil saya pak Jati”, ujarnya sebagai pembuka pembicaraan pagi itu.

Bersama pak Jati yang menjadi pemandu di TWA Angke Kapuk
Kepada saya, pak Jati menyebut dirinya ikut berperan penting dalam membangun TWA Angke Kapuk, sejak masih menjabat Kepala Resort Polisi Kehutanan di Jakarta Utara.

“Saya dulu kan, mantan polisi kehutanan, kalo sekarang udah pensiun. Saya dikasih mandat oleh pak menteri waktu itu, Pak Prakosa, untuk bantu-bantu disini”, ujar pak Jati.

Sejarahnya, TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 1 Juni 1939 dengan luasan 99,82 Ha.

Lalu, Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam TWA Angke Kapuk diberikan kepada PT. Murindra Karya Lestari dengan tujuan mengembangkan kawasan sebagai sarana pariwisata alam sekaligus mempertahankan kelestarian fungsi mangrove sebagai sistem penyangga kehidupan.

“Tahun 1997, pengelolaannya diberikan kepada PT Murinda dimana pemiliknya bekas orang kehutanan, tapi udah pensiun. Mantan kepala sub Balai juga. Pak Bambang Haryo namanya”, papar pak Jati.

Gilang berpose dengan latar belakang menara
pengamatan burung
Meski pemiliknya adalah mantan pegawai kehutanan, namun yang lebih peduli terhadap konservasi mangrove adalah Ibu Murni, istri Bambang Haryo.

“Jadi yang paling konsen itu, Ibu Murni.  Ibu murni yang menginginkan pengelolaan kawasan ditujukan untuk pembelajaran soal bakau” ujar Pak Jati.

Hal senada juga disampaikan oleh Arief Putra Swasana, selaku General Manager TWA Angke Kapuk. Menurut Arif, pengelola (alm. Bu Murni) tidak ingin kawasan ini difokuskan hanya untuk bisnis semata, tapi juga untuk konservasi mangrove.

“Dulu almarhumah (bu murni) tidak ada pikiran bisnis. Ini murni untuk konservasi. Tidak melihat untung-ruginya. Semua fasilitas dibangun hanya untuk penghijauan”, tutur Arief.

Itu sebabnya, selaku General Manager, Arief tidak memiliki target khusus terkait jumlah pengunjung dan pendapatan.

“Meskipun bu Murni telah wafat, visi misi itu tetap kami jaga, berjalan bareng untuk meningkatkan kawasan ini sebagai lokasi rekreasi, juga konservasi mangrove”, kata Arief.

“Jika saya berorientasi bisnis, beberapa lokasi bisa saya alih fungsi menjadi penginapan & wahan bermain anak”, ujarnya kemudian.

Bahkan, untuk menebang satu pohon, Arief harus mendapat persetujuan komisaris. Pohon itu harus dipertanggunjawabkan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Termasuk, daun-daunnya dibiarkan membusuk, sehingga menjadi kompos alami.

“Ini bedanya kami dengan lokasi rekreasi lain yang kurang memikirkan konservasi. Apalagi, kawasan rekreasi disini tak lebih dari 5% dari total kawasan”, ujarnya.

Bersantai di hammock yang disediakan
Dengan areal seluas 99, 82 Ha diperlukan tata kelola yang berpihak pada lingkungan. Dari luasan itu, hanya 2 Ha saja yang diperuntukkan sebagai wahana bermain, penginapan, pembibitan. Sisa dibiarkan menjadi hutan alam.

Saat ini, TWA Ange Kapuk dibagi dalam beberapa zona. Zonasi dilakukan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan termasuk pemanfaatannya.

Untuk zona pemanfaatan, misalnya, diletakkan di bagian depan, mulai dari pintu masuk hingga kawasan penginapan. Sementara di bagian belakang ditetapkan sebagai zona inti untuk konservasi, mulai dari spot penanaman hingga pengamatan burung. Adapun zona penyangga diperuntukkan bagi kegiatan lain, seperti pembibitan, dan pembuatan bronjong dan jalur sepeda.

Keran fungsinya, hutan mangrove dikenal sebagai benteng pertahanan terakhir yang melindungi wilayah kota dari ancaman banjir rob, erosi, tsunami, maupun sebagai penyaring air bersih, area pembibitan ikan, tempat persinggahan burung, serta menjadi sumber pangan maupun perekonomian masyarakat sekitarnya. (Jacko Agun)



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN