Hutan mangrove di TWA Angke Kapuk, tempat yang tepat untuk melepas lelah sembari menghirup udara segar. (foto: jacko agun) |
Mangrove forests stabilize the coastline, reducing
erosion from storm surges, currents, waves, and tides. The intricate root
system of mangroves also makes these forests attractive to fish and other
organisms seeking food and shelter from predators.
Sejak
pagi, Gilang telah bersiap. Bocah berusia 10 tahun itu begitu bersemangat saat
diajak mengunjungi Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Angke Kapuk, yang jaraknya
16 Km dari rumahnya.
Dari
internet, Gilang tahu jika Taman Wisata Alam Mangrove berada di Kamal Muara,
tepatnya di Jalan Garden House RT.8/RW.1, Penjaringan, Jakarta Utara. Jam
bukanya mulai pukul 07.00 - 18.00 WIB. Sementara untuk tiket masuk, Rp25.000,
bagi pengunjung lokal dan Rp250.000 untuk turis asing.
Ini
merupakan pengalaman pertama Gilang mengunjungi hutan mangrove. Selama
perjalanan menuju lokasi, tak henti-hentinya Gilang bertanya soal bentuk
mangrove dan apa manfaatnya.
“Ma,
hutan mangrove itu kayak apa sih? Betul-betul hutan?”, tanya Gilang.
TWA
Mangrove sengaja dipilih, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, namun
memberikan pengalaman yang berbeda dari wisata alam biasa. Belum lagi, dalam
beberapa tahun terakhir, TWA Mangrove Angke Kapuk ramai diperbincangkan di
sosial media, karena menghadirkan spot foto menarik.
Khusus
terkait aturan memotret di TWA Mangrove Angke memang berbeda dengan lokasi
wisata lainnya. Disini, pengunjung dikenakan biaya Rp150.000/ kamera, memotret dengan
kamera packet, gopro, atau polaroid. Sementara jika menggunakan DSLR akan
ditagih Rp300.000/ Kamera.
Bagi
pengunjung yang ingin mendokumentasikan pengalamannya di kawasan ini, tak perlu
khawatir. Pasalnya, menggunakan kamera HP, Ipad atau Drone, tidak dikenai biaya
alias gratis.
Gilang di pembibitan mangrove |
“Lumayan,
buat kenang-kenangan dan untuk kutunjukin ke teman”, sergah Gilang sumringah.
Mendengar
penuturan pemandu, akhirnya diketahui, jika aturan tersebut, mengadopsi aturan
umum yang berlaku di kawasan konservasi di seluruh Indonesia. Pengunjung tetap
diperbolehkan membawa kamera, hanya saja akan dikenai biaya tambahan.
“Itu
aturannya resmi dari pemerintah. Kami tidak mengada-ada. Toh, nanti uangnya
masuk ke negara juga”, ujar Resijati Wasito yang menjadi pemandu di TWA
Mangrove Angke Kapuk.
Berada
di kawasan ini, membuat Gilang takjub akan hijaunya hutan mangrove yang asri.
Hutan mangrove ini juga menjadi lokasi yang pas untuk mencari udara segar, atau
menjauh dari rutinitas ibu kota Jakarta yang membosankan.
Pada
sebuah kesempatan, Gilang bertanya tentang apa itu mangrove. Menurutnya, hutan
mangrove lebih mirip hutan di pinggir pantai dengan pohon-pohon yang tergenang
air.
“Hutan
mangrove sering juga disebut hutan bakau, hutan yang tumbuh di air payau, dan
dipengaruhi oleh pasang-surut air laut”, jawab Resijati Wasito.
Hutan
mangrove selalu tumbuh di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik.
“Pantes,
disini banyak lumpurnya”, celoteh Gilang.
Ekosistem mangrove dilihat dari menara pengamatan burung |
Saat
ini, pelestarian ekosistem mangrove marak digalakkan, seiring dengan dampak
positif terhadap lingkungan, serta peningkatan nilai ekonomi masyarakat
setempat. Pasalnya, hutan mangrove mampu menghasilkan udara bersih, berbagai
produk kayu dan nonkayu, hingga wisata konservasi.
Ada
Apa di TWA Angke Kapuk?
Bagi
pengunjung yang ingin berwisata di TWA Mangrove Angke Kapuk, tak perlu
khawatir, karena ada berapa pilihan moda transportasi yang layak untuk dicoba.
Pintu masuk TWA Angke Kapuk, lokasinya tidak jauh dari pusat kota |
Kedua
menggunakan kendaraan pribadi. Bagi pengunjung yang menggunakan mobil pribadi,
setidaknya ada dua alternatif yang bisa dipilih. Yang pertama melalui tol dalam
kota dan keluar di pintu tol Pluit. Setibanya di Mega Mall Pluit, jalan terus hingga
masuk ke Jalan Muara Karang. Setelah melewati jembatan, akan bertemu Pizza Hut,
lalu berbelok ke kiri untuk tiba di kawasan Pantai Indak Kapuk. Pilihan kedua
jauh lebih mudah, yakni lewat tol bandara dan langsung keluar di pintu tol
Pantai Indah Kapuk.
Alternatif
terakhir melalui aplikasi. Cukup pesan melalui aplikasi, lalu duduk manis
selama di perjalanan, sebelum akhirnya tiba di pintu gerbang TWA Mangrove Angke
Kapuk. Alternatif ini yang dipilih Gilang dan keluarganya saat berwisata di
hutan mangrove Angke Kapuk.
Di
TWA Mangrove Angke Kapuk, selain mendapatkan asupan oksigen yang bersih, pengunjung
juga dimanjakan dengan sejumlah fasilitas, speed boat, perahu dayung, sepeda air,
kanoing hingga kayaking. Juga tak ketinggalan penanaman mangrove.
Di
Kawasan ini juga disediakan fasilitas camping ground/ rumah tenda yang dipatok Rp300.000/
malam untuk dua orang. Lalu ada rumah tenda di atas air; Rp450.000/ malam
dengan maksimal dua orang dalam satu kamarnya. Sementara khusus villa, biayanya
bervariasi antara Rp1.600.000 s.d. Rp6.000.000. Namun tak tertutup kemungkinan harga
bisa berubah sewaktu-waktu.
Spot menanam mangrove di TWA Angke Kapuk |
Jika
kurang tertarik menikmati wisata air, tak ada salahnya mencoba paket wisata
menanam mangrove. Biayanya Rp150.000 untuk setiap pohon. Namun jika ingin
menggunakan plank nama, biayanya
Rp500.000/ orang. Pihak pengelola menyebutnya sebagai penanaman nostalgia,
karena akan meninggalkan kenangan, berupa papan nama bagi penanamnya.
Sarana
Konservasi Sekaligus Wisata
Setibanya
di pintu gerbang TWA Angke Kapuk, Resijati Wasito, seorang pemandu senior yang
juga petugas bagian konservasi dan edukasi telah menanti.
“Panggil
saya pak Jati”, ujarnya sebagai pembuka pembicaraan pagi itu.
Bersama pak Jati yang menjadi pemandu di TWA Angke Kapuk |
“Saya
dulu kan, mantan polisi kehutanan, kalo sekarang udah pensiun. Saya dikasih mandat
oleh pak menteri waktu itu, Pak Prakosa, untuk bantu-bantu disini”, ujar pak
Jati.
Sejarahnya,
TWA Mangrove Angke Kapuk merupakan bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor
24 tanggal 1 Juni 1939 dengan luasan 99,82 Ha.
Lalu,
Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam TWA Angke Kapuk diberikan kepada PT. Murindra Karya
Lestari dengan tujuan mengembangkan kawasan sebagai sarana pariwisata alam
sekaligus mempertahankan kelestarian fungsi mangrove sebagai sistem penyangga
kehidupan.
“Tahun
1997, pengelolaannya diberikan kepada PT Murinda dimana pemiliknya bekas orang
kehutanan, tapi udah pensiun. Mantan kepala sub Balai juga. Pak Bambang Haryo
namanya”, papar pak Jati.
Gilang berpose dengan latar belakang menara pengamatan burung |
“Jadi
yang paling konsen itu, Ibu Murni. Ibu murni yang menginginkan pengelolaan
kawasan ditujukan untuk pembelajaran soal bakau” ujar Pak Jati.
Hal
senada juga disampaikan oleh Arief Putra Swasana, selaku General Manager TWA
Angke Kapuk. Menurut Arif, pengelola (alm. Bu Murni) tidak ingin kawasan ini
difokuskan hanya untuk bisnis semata, tapi juga untuk konservasi mangrove.
“Dulu
almarhumah (bu murni) tidak ada pikiran bisnis. Ini murni untuk konservasi.
Tidak melihat untung-ruginya. Semua fasilitas dibangun hanya untuk
penghijauan”, tutur Arief.
Itu
sebabnya, selaku General Manager, Arief tidak memiliki target khusus terkait
jumlah pengunjung dan pendapatan.
“Meskipun
bu Murni telah wafat, visi misi itu tetap kami jaga, berjalan bareng untuk
meningkatkan kawasan ini sebagai lokasi rekreasi, juga konservasi mangrove”,
kata Arief.
“Jika
saya berorientasi bisnis, beberapa lokasi bisa saya alih fungsi menjadi
penginapan & wahan bermain anak”, ujarnya kemudian.
Bahkan,
untuk menebang satu pohon, Arief harus mendapat persetujuan komisaris. Pohon
itu harus dipertanggunjawabkan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Termasuk,
daun-daunnya dibiarkan membusuk, sehingga menjadi kompos alami.
“Ini
bedanya kami dengan lokasi rekreasi lain yang kurang memikirkan konservasi.
Apalagi, kawasan rekreasi disini tak lebih dari 5% dari total kawasan”,
ujarnya.
Bersantai di hammock yang disediakan |
Saat
ini, TWA Ange Kapuk dibagi dalam beberapa zona. Zonasi dilakukan dengan
mempertimbangkan daya dukung lingkungan termasuk pemanfaatannya.
Untuk
zona pemanfaatan, misalnya, diletakkan di bagian depan, mulai dari pintu masuk
hingga kawasan penginapan. Sementara di bagian belakang ditetapkan sebagai zona
inti untuk konservasi, mulai dari spot penanaman hingga pengamatan burung.
Adapun zona penyangga diperuntukkan bagi kegiatan lain, seperti pembibitan, dan
pembuatan bronjong dan jalur sepeda.
Keran
fungsinya, hutan mangrove dikenal sebagai benteng pertahanan terakhir yang
melindungi wilayah kota dari ancaman banjir rob, erosi, tsunami, maupun sebagai
penyaring air bersih, area pembibitan ikan, tempat persinggahan burung, serta
menjadi sumber pangan maupun perekonomian masyarakat sekitarnya. (Jacko Agun)
No comments:
Post a Comment