Thursday, July 15, 2021

Interseksionalitas, Cara Baru Mencapai Kesetaraan



Mungkin tidak ada kata dalam konservatisme Amerika yang lebih dibenci saat ini selain "interseksionalitas". 

 

Kimberlé Crenshaw (60) profesor dari Columbia University dan University of California Los Angeles menciptakan istilah 'interseksionalitas' 30 tahun silam. Istilah itu diciptakan pada tahun 1989 untuk menggambarkan bagaimana ras, kelas, jenis kelamin, dan karakteristik individu lainnya "bersinggungan" satu sama lain dan tumpang tindih.

 

Konsep ini mewakili suatu bentuk feminisme yang “memberi label" dan juga memberitahu betapa tertindasnya seseorang, memberi tahu apa yang boleh dikatakan, apa yang boleh dipikirkan, sehingga interseksionalitas  dianggap sangat berbahaya atau teori konspirasi tentang pembohongan.

Crenshaw, penduduk asli Ohio yang telah menghabiskan lebih dari 30 tahun mempelajari hak-hak sipil, ras, dan rasisme. Di kantornya di Columbia Law School di Upper West Side Manhattan, profesor yang ramah itu akan menjawab semua pertanyaan yang ditujukan ke dirinya.

 

Di Amerika Serikat, Interseksionalitas menjadi garis pemisah antara sayap kiri dan kanan. Perdebatan tentang interseksionalitas didasarkan atas tiga hal: yakni berdasarkan pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh para akademisi seperti Crenshaw dengan istilah tersebut, kedua berdasarkan pada bagaimana para aktivis berusaha menghilangkan disparitas antar kelompok yang menafsirkan istilah tersebut, dan ketiga tentang bagaimana kaum konservatif menanggapi penggunaannya di kalangan aktivis.

 

Crenshaw telah menyaksikan semua ini tanpa kejutan kecil. “Inilah yang terjadi ketika sebuah ide melampaui konteks dan kontennya,” katanya.

 

Asal usul “Interseksionalitas”

Untuk memahami apa itu interseksionalitas, dan apa yang telah terjadi, kita harus melihat kerja Crenshaw selama 30 tahun terakhir dalam melihat ras dan hak-hak sipil. Crenshaw yang merupakan lulusan Universitas Cornell, Universitas Harvard, dan Universitas Wisconsin itu telah memfokuskan sebagian besar penelitiannya pada konsep teori ras yang kritis.

 

Saat dia merinci dalam sebuah artikel yang ditulis untuk Baffler pada tahun 2017, teori ras kritis muncul pada 1980-an dan 90-an diantara sekelompok akademisi di bidang hukum sebagai tanggapan atas apa yang bagi Crenshaw dan rekan-rekannya tampak seperti konsensus yang salah, bahwa diskriminasi dan rasisme dalam hukum tidak rasional, dan begitu distorsi bias irasional dihilangkan, tatanan hukum dan sosial ekonomi yang mendasarinya akan kembali ke keadaan netral dan baik, dengan keadilan yang dibagi secara impersonal.

 

Ini menurutnya, adalah delusi yang menenangkan sekaligus berbahaya. Crenshaw tidak percaya rasisme tidak ada lagi pada tahun 1965 dengan pengesahan Undang-Undang Hak Sipil, atau bahwa rasisme hanyalah penyimpangan multi abad yang, setelah dikoreksi melalui tindakan legislatif, tidak akan lagi berdampak pada hukum atau orang-orang yang bergantung padanya. 

 

Tidak ada penjelasan rasional untuk kesenjangan rasial yang terjadi pada tahun 1982 yang terus bertahan hingga hari ini, atau untuk minoritas yang kurang terwakili di ruang yang konon didasarkan pada standar "buta warna". Sebaliknya, seperti yang ditulis Crenshaw, diskriminasi tetap ada karena struktur dominasi kulit putih. Dengan kata lain, tatanan hukum dan sosial ekonomi Amerika sebagian besar dibangun di atas rasisme.

 

Sebelumnya tidak banyak kritik yang menggambarkan bagaimana struktur hukum di masyarakat menjadi rasis secara intrinsik, ketimbang hanya terdistorsi oleh rasisme, sementara sebaliknya tidak ternoda olehnya. Jadi tidak banyak perangkat untuk memahami bagaimana ras bekerja di institusi tersebut.

 

Hal itu membawa pada konsep interseksionalitas, yang dimunculkan Crenshaw pertama kali secara terbuka pada tahun 1989, ketika menerbitkan sebuah makalah di Forum Hukum Universitas Chicago berjudul “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex” (Demarjinalisasi Titik Temu antara Ras dan Jenis Kelamin). 

 

Makalah itu berfokus pada tiga kasus hukum yang menangani masalah diskriminasi rasial dan diskriminasi jenis kelamin. Crenshaw berpendapat bahwa pandangan sempit pengadilan tentang diskriminasi adalah contoh utama dari keterbatasan konseptual mengenai bagaimana undang-undang mempertimbangkan rasisme dan seksisme. 

 

Dengan kata lain, hukum telah melupakan bahwa perempuan kulit hitam sama-sama berkulit hitam dan perempuan, dengan demikian bisa saja mengalami diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, dan seringkali, kombinasi dari keduanya.

 

Sebagai contoh, kasus pada tahun 1976, di mana 5 wanita kulit hitam menggugat General Motors atas kebijakan yang menurut mereka hanya menargetkan wanita kulit hitam saja. Pada dasarnya, perusahaan tidak mempekerjakan wanita kulit hitam sebelum tahun 1964, yang berarti ketika PHK berdasarkan senioritas terjadi selama resesi awal tahun 1970-an. Semua wanita kulit hitam yang dipekerjakan setelah tahun 1964 kemudian diberhentikan. Kebijakan itu tidak hanya termasuk dalam diskriminasi gender atau ras, tetapi pengadilan memutuskan bahwa perlu upaya untuk menyatukan klaim diskriminasi rasial dan diskriminasi jenis kelamin, daripada menuntut berdasarkan masing-masing secara terpisah dan itu tidak akan berhasil.

 

Crenshaw berpendapat bahwa dengan memperlakukan wanita kulit hitam sebagai wanita murni atau kulit hitam murni, pengadilan pada tahun 1976, telah berulang kali mengabaikan tantangan khusus yang dihadapi wanita kulit hitam sebagai sebuah kelompok.

 

“Interseksionalitas adalah prisma untuk mengungkap dinamika dalam undang-undang diskriminasi yang tidak dihargai oleh pengadilan,” kata Crenshaw. 

 

“Secara khusus, pengadilan tampaknya berpikir bahwa diskriminasi ras adalah apa yang terjadi pada semua orang kulit hitam lintas gender, dan diskriminasi jenis kelamin adalah apa yang terjadi pada semua wanita, dan jika itu adalah kerangka kerja, tentu saja, apa yang terjadi pada wanita kulit hitam akan sulit dipahami.”

 

Teori Crenshaw kemudian masuk ke dalam arus utama, tercantum dalam Kamus Bahasa Inggris Oxford pada tahun 2015 dan mendapatkan perhatian yang luas selama Women’s March 2017, sebuah acara yang penyelenggaranya mencatat bagaimana “identitas yang bersinggungan” untuk perempuan berarti bahwa mereka dipengaruhi oleh banyak masalah keadilan sosial dan hak asasi manusia. 

 

Crenshaw kemudian menulis, “Yang membingungkan adalah ide-ide yang orang anggap serius, mereka benar-benar mencoba untuk menguasainya, atau setidaknya mencoba membaca sumber yang mereka kutip untuk proposisi tersebut. Seringkali, itu tidak terjadi dengan interseksionalitas, dan ada sejumlah teori mengapa itu terjadi, tetapi apa yang orang dengar atau ketahui tentang interseksionalitas lebih berasal dari apa yang dikatakan orang, daripada apa yang sebenarnya mereka hadapi sendiri.”

 

Kelompok kanan khawatir 

Mulai tahun 2015, respons konservatif terhadap interseksionalitas berkisar dari hiburan ringan hingga horor. Pada 2017, penulis Andrew Sullivan berpendapat bahwa interseksionalitas adalah semacam agama. Dalam pandangannya, interseksionalitas mengajukan ortodoksi klasik yang melaluinya semua pengalaman manusia dijelaskan dan melalui mana semua ucapan harus disaring. 

 

Namun, ketika berbicara dengan kaum konservatif tentang istilah itu sendiri, mereka lebih terukur. Mereka mengatakan konsep interseksionalitas adalah gagasan bahwa orang mengalami diskriminasi secara berbeda tergantung pada identitas mereka yang tumpang tindih, bukanlah pada masalahnya. 

 

Seorang pria Afrika-Amerika akan mengalami dunia yang berbeda dari seorang wanita Afrika-Amerika. Atau, seseorang LGBT akan mengalami dunia berbeda dari seseorang yang 'normal'. Seseorang yang LGBT dan Afrika Amerika akan mengalami dunia secara berbeda dari seseorang LGBT dan Latin. Ini semacam gagasan yang masuk akal bahwa kategori orang yang berbeda memiliki jenis pengalaman yang berbeda.

 

Apa yang banyak ditentang oleh kaum konservatif bukanlah istilah itu tetapi penerapannya di kampus-kampus. Para konservatif percaya bahwa istilah itu bisa (atau sedang) digunakan untuk melawan mereka, membuat mereka menjadi korban dari bentuk baru penindasan yang tumpang tindih. 

 

Bagi mereka, interseksionalitas tidak hanya menggambarkan hierarki penindasan, tetapi dalam prakteknya kebalikannya, sehingga menjadi pria cisgender putih 'lurus' membuatnya menjadi suatu kutukan.

 

“Di mana pertarungan dimulai, adalah ketika interseksionalitas bergerak dari deskriptif ke preskriptif.” Seolah-olah interseksionalitas adalah bahasa yang tidak memiliki masalah nyata yang bagi kaum konservatif, sampai bahasa itu diucapkan.

 

Crenshaw mengatakan kritik konservatif terhadap interseksionalitas tidak benar-benar ditujukan pada teori tersebut. Jika memang ditujukan pada teori tersebut, dan tidak terlalu fokus pada siapa interseksionalitas akan menguntungkan atau membebani. Kaum konservatif tidak akan menggunakan identitas mereka sendiri sebagai bagian dari kritik mereka. 

 

Identitas kemudian tidak akan menjadi masalah, kecuali, tentu saja, benar-benar dipermasalahkan. Atau ketika orang-orang di atas hierarki identitas saat ini lebih peduli kehilangan tempat mereka daripada menghilangkan hierarki itu sama sekali.

 

“Ketika Anda akan masuk dalam kritik tertentu dengan meluncurkan identitas Anda, bagaimana tepatnya politik identitas Anda berbeda dari apa yang Anda coba kritik?” kata Crenshaw. "Ini hanya masalah siapa itu, itulah yang tampaknya paling mereka khawatirkan."

 

Tidak ada yang baru tentang ini, lanjutnya. “Selalu ada orang yang sejak awal gerakan hak-hak sipil mencela penciptaan hak kesetaraan dengan alasan bahwa hal itu mengambil sesuatu dari mereka.”

 

Bagi Crenshaw, kritik paling umum tentang interseksionalitas — bahwa teori itu mewakili sistem kasta baru — sebenarnya adalah penegasan dari kebenaran fundamental teori tersebut, dimana individu memiliki identitas individu yang bersinggungan dengan cara yang memengaruhi cara mereka dilihat, dipahami, dan diperlakukan. 

 

Wanita kulit hitam sama-sama hitam dan wanita, tetapi karena mereka adalah wanita kulit hitam, mereka menanggung bentuk diskriminasi tertentu yang mungkin tidak dialami oleh pria kulit hitam, atau wanita kulit putih.

 

Crenshaw kemudian menegaskan bahwa bertentangan dengan keberatan para pengkritiknya, interseksionalitas bukanlah upaya untuk menciptakan dunia dalam citra terbalik dari apa yang ada sekarang. Sebaliknya, titik interseksionalitas telah memberi ruang untuk lebih banyak pada praktik advokasi dan perbaikan dalam menciptakan sistem yang lebih egaliter.

 

Singkatnya, Crenshaw tidak ingin meniru dinamika kekuasaan dan struktur budaya yang hanya memberi orang kulit berwarna kekuasaan atas orang kulit putih, misalnya. Dia ingin menyingkirkan dinamika kekuasaan yang ada seluruhnya, mengubah struktur yang mendasari politik, hukum, dan budaya untuk menyamakan kedudukan. Sebuah upaya untuk memerangi rasisme yang akan memerlukan pemeriksaan bentuk prasangka lain. (Jekson Simanjuntak)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN