"Tidak akan mudah men-judge orang lain, tidak akan mudah menyimpulkan, ia akan lebih baik diam dan merenung terlebih dahulu sebelum berbicara."
― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
...
Di sebuah siang yang terik di Desa Tlingsing, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, saya menyapa jabar, anak muda kritis yang didaulat sebagai "Palugada" pada kegiatan "People Caravan Roadshow". Untuk semua urusan dia bersedia membantu. Menurutku dia semacam ketua kelas.
"Beli cuy, biar lo mirip orang Jawa," ujarku lirih saat melihat jabar sibuk memilih aneka jenis pakaian tradisional berbahan tenun.
"Emang gue orang Jawa!" sahutnya tegas.
"Ups, salah nih gw!"
Jujur, awalnya saya kurang akrab dengan mereka. Maklum di perjalanan ini, cuma numpang. Dan karena numpang, saya tahu diri. Demikian pemahamanku kala itu. Lagian, tugas saya dengan mereka, jauh berbeda.
Saya yang sejak awal diwanti-wanti untuk melihat, mendengar dan mencatat semua peristiwa yang terjadi di tingkat tapak, menjadikan fokus utama adalah warga. Akibatnya, saya tidak terlalu memperhatikan aktivitas harian rombongan People Caravan.
"Palingan cuma ingin jalan-jalan dan ajang pamer foto di medsos," ujar nalarku.
Itu sebabnya, saya selalu menggali lebih dalam dan melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Perspektif korban akibat perubahan iklim. Temuan-temuan itu nantinya diamplifikasi dalam berbagai format, baik melalui tulisan panjang ataupun postingan di media sosial.
"Intinya, selama perjalanan, hal-hal menarik di lapangan menjadi fokus utama. Bukan yang lain, apalagi rombongan anak muda People Caravan."
Oh ya, sedikit flash back ke belakang. Pagi itu, Selasa, 27 September, saya sempat kontak-kontakan dengan Caecilia Galih asal OXFAM, akrab disapa Lia. Saya mengatakan sedang bersiap menuju hotel yang disepakati sebagai titik kumpul, ketika dia bertanya, "Bang Jeko udah di jalan?"
Singkat cerita, sampai juga meskipun telat 20 menit dari kesepakatan awal. Disana, sejumlah orang wara-wiri dengan beragam keperluan. Ada yang masukin koper ke bagasi, main hape atau berkerumun di sekitar bus. Sementara saya, langsung mengambil posisi di bangku belakang untuk meletakkan daypack the North Face 35 liter.
Sebagai informasi, daypack ini telah menemani saya ke banyak tempat di Indonesia. Biasanya untuk durasi paling lama 1 minggu dan paling singkat 3 hari. Namun untuk durasi 2 minggu, ini pengalaman pertama.
"So, agak maksa juga pada awalnya."
Di perjalanan ini, saya menerapkan prinsip ultralight backpacking hanya bermodalkan sebuah daypack. Alasannya, agar lebih ringkas dan tidak merepotkan dalam perjalanan. Bentuknya yang mudah untuk dipanggul ketimbang ditenteng atau didorong membuat saya lebih nyaman.
"Ibaratnya nih, kalo perlu lari-larian, saya dengan mudah menggunakannya, beda kalo pakai koper," demikian logika liarku.
Di daypack kesayangan itu, semua yang dibutuhkan ada. Mulai dari pakaian, jaket, P3K, headlamp, toolkit, alat elektronik, kamera compact, laptop, dan air minum masuk jadi satu.
"Pas ditimbang, beratnya 9 kiloan, sob. Berat ajah!"
Daypack saya letakkan persis di depan bangku, agar jika memerlukan sesuatu, mudah untuk dijangkau. Demikian seterusnya, daypack tidak pernah berubah posisi. Tetap di barisan belakang.
Pada hari kedua, saya menyadari bahwa deretan bangku belakang memiliki sejumlah keunggulan. Mulai dari space yang lapang untuk meletakkan barang, posisi kaki yang nyaman untuk selonjoran, hingga jangkauan pandangan yang luas. Kekurangannya cuma dua, kita kudu duduk dalam posisi tegak dan jika ada gajlugan, goncangannya sangat mengganggu.
Thus, dari bangku belakang ini semua bermula. Di deretan bangku berjumlah 6 itu, saya akhirnya bisa ngobrol panjang dengan Anugrah Wejai asal Biak - Papua, yang awalnya saya bingung memanggilnya dengan sebutan apa. Apakah "Anu" atau "Anug" atau "pace" sebagaimana layaknya panggilan bagi orang pegunungan tengah Papua.
Kalau kupanggil "Anu" sepertinya kok aneh ya? Tapi ya sudahlah. Akhirnya saya beranikan memanggilnya dengan sebutan itu.
Dari bangku belakang, saya juga berkenalan dengan Rico perwakilan the Prakarsa. Tampilannya yang kalem membuat kami langsung akrab. Diskusi bermula dari pembiayaan berkelanjutan, bergeser ke kondisi negara yang tidak sedang baik-baik saja, hingga pragmatisme gerakan mahasiswa.
Porsi gerakan mahasiswa menjadi topik menarik, karena dia bercerita tentang kiprahnya saat menjabat BEM di IPB. Dia menyebut gerakan mahasiswa sulit untuk dikonsolidasikan karena masing-masing BEM punya agenda sendiri.
"Ya, karena saat ini, kita tidak memiliki musuh bersama," ujarku. Dia mengangguk.
"Beda dengan era 98, ketika Soeharto disepakati sebagai musuh bersama. Semua elemen, baik kiri, tengah dan kanan bergabung dalam satu barisan besar."
Diskusi kami akhirnya terhenti ketika bus memasuki Cirebon. Di kota kecil itu, kami singgah di Desa Waruduwur untuk melihat dampak buruk PLTU. Dari penuturan penduduk, saya meyakini bahwa penggunaan energi kotor batu bara, tetaplah berdampak buruk terhadap lingkungan dan manusia.
"Dampaknya, masyarakat terpaksa beralih pekerjaan dan banyak yang sakit ISPA," ungkap Sajum, warga yang saya temui.
Selepas dari Cirebon, perjalanan mengarah ke Yogyakarta. Lagi-lagi saya setia di bangku belakang. Tak banyak yang saya higlight sebelum kami tiba di kota yang ngangenin itu.
Tak urung, alunan lagu Adhitia Sofyan "Sesuatu di Jogya" sengaja diputar untuk menyambut kedatangan kami. Iramanya memenuhi seluruh ruang. Mengetuk kesadaran kolektif. Sontak anggota rombongan terbangun dan ikut berdendang. Menurut saya, vibes-nya luar biasa. Mereka yang pernah singgah di kota ini pasti setuju.
"Yay. Yogya!," ujar salah seorang dari rombongan.
"Thanks God, kami tiba di Yogyakarta dengan selamat," ujarku dalam hati.
Oh ya..., sejak dari Jakarta, bangku belakang memang tak pernah sepi. Bahkan di sebuah kesempatan, kami kedatangan tamu, yakni anaknya ibu xxx, --yang aku lupa namanya--. Dia ikut bersama kami saat mengunjungi Ohana, Desa Tlingsing dan diskusi di UKDW.
Kali ini, Anu yang lebih banyak ngobrol dengan anaknya si ibu yang ternyata masih mahasiswa. Usia mereka sepertinya setara. Sementara saya memilih diam dan mendengarkan. Atau ketika bosan menjelma, mata langsung terlelap diiringi guncangan tiada henti.
Soal tidur, memang jadi rutinitas yang menarik selama bus "People Caravan Roadshow" bergerak menuju timur. Ntah sudah berapa kali saya tertidur meskipun tidak pulas. Lalu terbangun dan lanjut tidur lagi. Hal serupa diamini Lia. Meskipun kurang nyaman, ternyata dia bisa menikmatinya.
"Kalo sudah ngantuk aku tetap tidur, walaupun di dalam bus," ungkapnya.
Demikianlah hari-hari yang kami lalui, setelah bus meninggalkan Yogyakarta menuju Banyuwangi, Jawa Timur. Oh ya, selagi ingat, di Yogyakarta, kami menghabiskan waktu selama 2 malam tiga hari. Selama itu pula, rutinitas harian dipenuhi dengan kunjungan ke sejumlah tempat disertai wawancara. Pun tak ketinggalan mengambil foto dan record video.
Khusus wawancara dan rekaman diskusi, jumlahnya melonjak drastis dari hari ke hari. Bikin pusing dan perlu ada treatment khusus. "Bahaya euy, kalo gak dicicil, ntar numpuk di belakang," gumamku.
Kegiatan ini yang membuatku gak bebas untuk nongkrong bareng rombongan "People Caravan Roadshow". Maklum, setiap hari saya harus setor materi yang akan diposting di media sosial.
Tak heran, ketika mereka asyik menjelajah beberapa spot menarik di Yogyakarta, saya malah berdiam di kamar untuk melakukan transkrip atau sekedar menulis hasil reportase. Menyicil naskah harus dilakukan karena saya tidak terbiasa menulis cepat, sementara informasi yang diterima begitu banyak dan beragam.
Sesuai taklimat, kami berangkat pagi dari Yogyakarta, dan tiba dengan selamat di Kota Banyuwangi setelah 15 jam berkendara. Malam sudah larut, bahkan berganti hari, saat check in di Mirah Hotel. Petugas bergerak cepat menyiapkan form dan membagikan kunci kamar sembari kaget dengan kedatangan tamu dalam jumlah banyak di tengah malam yang dingin.
Adapun saya, merasakan ngantuk yang tak terkira. Itu yang membuatku segera lelap, meskipun aura kamar rada-rada spokie.
"Bodoamat, gw mau tidur. Jangan ganggu bestie!" pintaku.
Di Banyuwangi, ada cerita lucu, ketika mas Wahyu Migran Care ngomel-ngomel ke Arga. Dia komplain, karena seharusnya jam 7 pagi bus sudah bergerak ke Desa Wiringinpitu. Pasalnya, di lokasi yang merupakan Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi), kegiatannya selalu tepat waktu.
"Maklum mas, mereka kebanyakan mantan buruh migran. Mereka terbiasa on-time dan waktu sangat berharga bagi mereka," ungkap Wahyu.
"Siap! Siap pak. Ini anak-anaknya belum pulang," sahut Arga sembari mengontak teman-teman yang menurut saya hanya gimmick. Dari Arga saya akhirnya tahu, jika teman-teman menyempatkan diri ke suatu tempat dan tidak kembali tepat waktu.
Dalam kondisi molor sekitar 20 menit, bus akhirnya melaju ke Wringinpitu. Di dalam bus mba Uut (pendamping Migran Care) bercerita tentang Desbumi Wringinpitu. Tentang perjuangan kaum buruh migran yang terpaksa meninggalkan keluarga kecilnya di kampung.
"Demi mencari penghidupan yang layak," ujarnya.
Disusul mas Wahyu yang berkisah tentang tingginya biaya remitensi, ketika buruh migran hendak mengirimkan uangnya ke Indonesia. Potongan sebesar 15-20 persen, membuat para buruh migran terpaksa merelakan uangnya dicaplok para penyedia jasa transfer, semacam western union, dll.
Kasus ini menurut Wahyu yang hendak mereka suarakan pada momen C20 Summit di Bali. Karena taglinenya adalah "no one left behind", dia berharap nasib buruh migran harus diperhatikan. Jangan ditinggalkan, karena mereka adalah pahlawan bangsa. "Pahlawan devisa dan pahlawan bagi keluarganya," tegas Wahyu.
Setibanya di desa, kami berkesempatan menendengarkan sejumlah paparan, baik dari aparat desa hingga warga yang sebelumnya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Saking banyaknya yang ngomong, saya bingung mau kutip yang mana. Hehehe...
Puas dengan paparan, kami dijamu dengan aneka jajanan tradisional. Termasuk menu makan siang yang tidak kami lewatkan. "Sikat bang," kata Anu.
Pun tak ketinggalan aneka produk yang dihasilkan oleh Desbumi. Produk itu mereka pamerkan dengan harapan dibeli oleh pengunjung. Produknya cukup variatif, meliputi; makanan ringan, minuman, pakaian hingga kerajinan tangan.
Puas dari Wringinpitu, kami kembali ke Hotel Mirah. Disana kami membunuh waktu dengan bermain Uno yang berlanjut dengan makan malam terakhir di Banyuwangi. Sementara beberapa orang, seperti Astrid dan Anu lebih memilih nugas, karena tuntutan profesi.
"Nih Anu, sejak dari Jakarta sampai Banyuwangi, nugasnya gak kelar-kelar," celetuk jabar diikuti tertawa jahat.
Lalu tiba lah kami pada etape terakhir perjalanan "People Caravan Roadshow". Etape yang jadi semacam oase, karena badan kami tidak terguncang lagi. Kami bebas sejenak dari fenomena yang disebut "tidur pendek".
Dan Bali menjadi tempat untuk menuntaskan semuanya. Merangkum apa-apa yang dirasa perlu disuarakan. Merangkainya menjadi pengalaman berharga, setidaknya bagi diri sendiri. Pun di Bali semua urusan ibarat dikalibrasi. Dinolkan untuk bersiap menghadapi tantangan baru, C20 summit.
Seperti plot twist, rombongan "People Caravan Roadshow" adalah orang-orang terbaik. Orang-orang pilihan yang punya empati dan peduli lebih. Agak berbeda dari perspektif awal saya yang sempit.
Selama 8 hari mereka mencoba dekat dengan alam dan masyarakatnya. Meresapi apa yang terlihat. Menangkap makna yang terdalam. Persis seperti komentar Gie, dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran.
"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat." ujar Soe Hok Gie, aktivis cum pencinta alam yang menghembuskan nafasnya dalam belaian dingin Mahameru. ***
No comments:
Post a Comment