Jumat, Desember 27, 2024

Kebijakan PPN 12 Persen Harus Ditolak, Ini Alasannya

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang (kanan) saat konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). Foto: ANTARA

berita-sekejap, JAKARTA
- Akhir-akhir ini, masyarakat dihebohkan dengan rencana kenaikan 
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% oleh pemerintah yang rencananya mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Mulai tahun depan, pemerintah akan menerapkan kebijakan kenaikan tarif PPN dari sebelumnya 11%.

Kenaikan tarif PPN menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah berdalih, kenaikan tarif pajak akan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan untuk kesejahteraan masyarakat. 

Selain itu, penyesuaian tarif diharapkan bisa menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan dengan memperluas basis pajak dan memastikan kontribusi yang lebih proporsional dari berbagai lapisan masyarakat.

Hanya saja, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah menuai berbagai penolakan dengan sejumlah alasan yang perlu dipertimbangkan:

Daya Beli Masyarakat: Kenaikan PPN dapat menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa, yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini dapat mengurangi konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Sektor Usaha: Pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mungkin menghadapi tantangan dalam menyesuaikan harga jual produk mereka. Kenaikan PPN dapat menekan margin keuntungan dan daya saing produk lokal, terutama jika konsumen mengurangi pembelian akibat harga yang lebih tinggi.

Inflasi: Peningkatan tarif PPN berpotensi mendorong laju inflasi, karena kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Kepatuhan Pajak: Tarif PPN yang lebih tinggi mungkin mendorong sebagian masyarakat untuk mencari cara menghindari pajak, yang dapat menurunkan tingkat kepatuhan pajak dan mengurangi efektivitas kebijakan fiskal pemerintah. 

Waktu yang Tidak Tepat: Beberapa pihak menilai bahwa kenaikan PPN saat ini kurang tepat, mengingat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menghambat pemulihan ekonomi dan meningkatkan beban hidup masyarakat.

Dengan mempertimbangkan alasan-alasan di atas, banyak pihak mendesak pemerintah agar meninjau kembali rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% demi menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang akhir-akhir ini memprihatinkan.

Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak-dampak tersebut dan menyiapkan langkah mitigasi, seperti paket stimulus ekonomi, untuk meminimalkan efek negatif dari kenaikan tarif PPN terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN