Malam itu, hentakan musik reggae yang sudah lama tak kudengar, kembali menggema di sebuah ruangan berukuran ± 20 x 30 m. Ruangan di lantai tiga yang terletak di daerah menteng ini, telah cukup lama menjadi tongkrongan bagi komunitas reggae di jakarta, lengkap dengan orang-orang berambut gimbal sebagai ciri khasnya.
Musik yang di pelopori Bob Marley lewat lagunya yang terkenal, berjudul “No Women No Cry”, telah menjadi symbol lahirnya sebuah aliran musik baru, yang dikenal dengan “Reggae”. Dimulai pada awal tahun 1950, di tengah demam kemerdekaan, di pusat kota Kingstown, sound system merajalela di pinggir jalan. Awalnya adalah pengembangan dari R&B yang pada saat itu sangat dominan di Jamaika dan dikombinasikan dengan musik drum tradisional Afrika. Dengan mem-fusi-kan R&B, jazz, dan mento (semacam calypso) menjadi Shuffle. Inilah bentuk dasar musik reggae yang semakin berkembang sampai sekarang ini.
Awalnya, aku gak paham, kalo malam itu harus meliput seorang musisi yang mengusung “reggae” sebagai jalur bermusiknya. Dandanan seadanya dengan kaus oblong dipadu celana jeans pendek ¾ plus rambut gimbal, menjadi ciri khasnya saat tampil di depan panggung. Tony Q Rastafara, begitu nama bekennya. Tony, yang merasa sepaham dengan idiologi yang ditawarkan reggae, membuatnya jatuh cinta dengan karakter musik ini, sejak 18 tahun silam. Di kalangan penggemar reggae, namanya cukup familiar. Bahkan bagi komunitas reggae, dia dianggap sebagai “pioneer reggae” di Indonesia. Maklum, tak begitu banyak musisi yang berkiprah di jalur ini. Sebab, apresiasi masyarakat kita masih rendah. Berbeda dengan jalur musik pop, rock ataupun dangdut yang lebih dahulu berkembang dan telah mengakar cukup lama.
Sampai ketika beberapa buah tembang hits dia nyanyikan, aku belum ngeh, kalo itu adalah sebagian lagu dari album terbarunya. Rasanya, aku pernah mendengar lagu-lagu itu. Aku gak ingat pasti. Tapi kalo gak salah, waktu itu, aku dengar lagunya di sebuah toko kaset di Jakarta. And, aku ingat banget lagu “Om Fangkey”nya! Lagu yang membuat orang tak kan lupa. Lyriknya yang sederhana dibalut iringan nada reggae yang menghentak riang(easy listening: red), membuat semua orang yang mendengar pasti langsung ingat.
Malam itu, setelah mutar-mutar nyari lokasi BB’s café, tempat Tony dan band manggung. Kita harus masuk ke dalam sebuah gang sempit, tepat di samping Stadiun Persija yang masih menjadi sengketa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Akhirnya di tempat ini kita berjumpa dengan Tony Q Rastafara, setelah sehari sebelumnya janji ketemu. Rencananya, malam itu dia akan tampil membawakan beberapa buah lagu, seperti : Lady’s White, NgayokJakarto, Salam Damai, Om Fankey, dll.
Waktu menunjukkan pukul 23.15 WIB, ketika kita melangkah masuk ke dalam café dan langsung menuju lantai tiga. Di tempat ini, setiap lantai, berisi café dengan berbagai jenis aliran musik. Untuk lantai satu misalnya, tempat ini adalah café dengan live musik biasa. Umumnya diiringi lagu-lagu top fourty. Sedangkan lantai dua, berisi café dengan ciri khasnya musik blues. Dan untuk penggila musik reggae, kita dapat menemukannya di lantai tiga. Sehingga jangan heran, jika di setiap lantai, selalu dipenuhi oleh komunitas dari penggila musik tertentu yang berbeda.
Anggapan, makin malam, sebuah café (tempat hiburan malam; red) makin ramai, ternyata terbukti benar di tempat ini. Awalnya, aku menduga kalo pengunjung di tempat ini tidak lebih dari 20 orang. Pasalnya, sejak buka tadi, pengunjung tak banyak. Hanya para kru-nya “Tony”, yang terlihat mondar-mandir di dalam café, menyetel peralatan musik sebelum digunakan. Tapi setelah “Tony” membawakan satu buah lagu, yang aku lupa judulnya. Secara perlahan namun pasti, satu per satu, pengunjung -yang aku gak tau datangnya dari mana- mulai masuk, memenuhi ruangan yang kini terlihat sempit.
Para penggemar reggae identik dengan rasta (ganja: red)? Rasanya, hal itu seperti gula dan semut. Dimana ada komunitas reggae dengan rambut gimbalnya, kemungkinan besar pasti ada ganja yang beredar. Hal itu juga yang terjadi di tempat ini. Belum lewat 10 menit berlalu, aroma penebar nikmat itu, sudah memenuhi hampir seluruh ruangan. Aroma yang bisa menimbulkan kecanduan bagi penikmatnya, begitu khas menyapa. Agak sulit untuk mendeskripsikan aroma tersebut, tapi aku ingat betul bagaimana aroma ini bersatu dengan udara disekitarnya. Sebab, sewaktu kuliah dulu, teman-temanku menggunakannya untuk memancing kreatifitas, atau untuk memecah kejenuhan akibat jurnal kuliah yang menyiksa. Tapi tak sedikit yang menggunakannya untuk mabuk-mabukan. Apalagi keberadaannya tak terlalu sulit ditemui.
Berhubung, aku harus mengabadikan sosok Tony yang gimbal saat manggung di café ke dalam camcorder Sony DSR PD-170. Mau gak mau, setiap suasana yang ditimbulkannya harus ikut terekam indah. Mulai dari kegiatan anggota band nge-cek sound, para pengunjung yang berdatangan, para bartender yang terlihat sibuk melayani tamu, wawancara dengan Tony Q Rastafara, sampai sang kupu-kupu malam yang ikut menghiasi beberapa sisi ruangan, menjadi rentetan cerita yang terjadi dengan sendirinya. Sebuah perpaduan antara audio dan video, yang akan menjadi saksi sebuah peristiwa. Saksi tentang catatan sekelumit sisi anak muda, yang anti kemapanan, dan masih memegang teguh idiologi kaum reggae.
Untuk beberapa sisi, aku sepakat dengan cara pandang kaum ini. Cara pandang, yang lahir dari pertentangan kelas, dan berujung pada pengelompokan/ pengkotak-kotakkan kelompok. Awalnya, genre musik yang timbul akibat pemberontakan ini, berisi paham idiologi anti kemapanan, anti birokrasi dan anti penguasaan individu atas individu. Mereka merasa, manusia lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding orang lain, bahkan saudaranya sendiri. Hanya karena alasan ekonomi atau lebih tepatnya “uang”, setiap orang akhirnya akan bertindak sebagai kapitalis, yang menganggap semua itu diukur dengan uang. Atau bisa disederhanakan dengan “uang adalah segalanya”.
Tapi dari sisi kelakuan. Aku termasuk orang yang tidak sepakat dengan mereka. Sifat santai, pesimis dan seolah tak peduli, boleh jadi salah satu ciri kaum ini. “Buat apa bersusah payah melakukan sesuatu, kalo toh gak bisa merubah sesuatu.” Itu sebagian prinsip yang timbul diantara mereka. Akhirnya, prinsip ini menjadikan mereka semakin patah arang. Malas untuk berusaha lagi. Seperti pepatah “Bagai si Punguk yang merindukan Bulan”, kondisi itu yang kini terjadi.
Bagi sekelompok orang, seperti yang kutemui malam itu. Rasanya, rasta-lah yang membuat persaudaraan mereka menjadi begitu kuat. Berbeda dengan kemunculannya dulu, kini penggemar musik ini, terlihat lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Tak terlihat lagi ciri pertentangan kelas seperti dulu. Saat ini, sebagian dari mereka mulai terbius dengan sikap pesimistis terhadap sesuatu, yang akhirnya akan berujung pada sikap santai dan tak peduli. Sebuah ciri khas baru, kaum hedon metropolis.
Seiring berjalannya waktu, penikmat musik ini pun semakin bertambah. Kalangan penikmat yang dulunya hanya seniman jalanan, tak membuat pergeseran nilai rasa berhenti sampai disitu. Kini, para pengusaha, birokrat sampai eksekutif muda, terlihat mulai menyenangi musik ini. Abis, musiknya emang enak di dengar dengan pemaknaan syair-syair yang sangat dalam!
Dalam sebuah kesempatan, sebelum manggung malam itu, Tony –sang pelopor- menuturkan perihal kecintaannya terhadap musik ini. Meski belum semua orang bisa menerima, dia akan tetap eksis menekuni dan mencoba mensosialisasikannya ke masyarakat. “Sebab, seorang seniman adalah melakukan sesuatu sesuai kata hatinya!”, begitu ujarnya sambil meneguk bir yang telah tersaji.
Reggae, ditengah segudang aspek yang melingkupinya, telah memberi warna baru dalam belantika musik di Indonesia. Walau banyak kalangan yang meragukan kelanggengannya dibanding jenis musik lain. Hadirnya tokoh-tokoh musisi yang tetap eksis, seperti Toni Q Rastafara, turut memperkaya khazanah musik di tanah air. Aku hanya berharap, semoga setiap aliran musik yang ada, bisa berjalan bergandengan sama tinggi, tanpa memandang rendah yang lain.
Musik yang di pelopori Bob Marley lewat lagunya yang terkenal, berjudul “No Women No Cry”, telah menjadi symbol lahirnya sebuah aliran musik baru, yang dikenal dengan “Reggae”. Dimulai pada awal tahun 1950, di tengah demam kemerdekaan, di pusat kota Kingstown, sound system merajalela di pinggir jalan. Awalnya adalah pengembangan dari R&B yang pada saat itu sangat dominan di Jamaika dan dikombinasikan dengan musik drum tradisional Afrika. Dengan mem-fusi-kan R&B, jazz, dan mento (semacam calypso) menjadi Shuffle. Inilah bentuk dasar musik reggae yang semakin berkembang sampai sekarang ini.
Awalnya, aku gak paham, kalo malam itu harus meliput seorang musisi yang mengusung “reggae” sebagai jalur bermusiknya. Dandanan seadanya dengan kaus oblong dipadu celana jeans pendek ¾ plus rambut gimbal, menjadi ciri khasnya saat tampil di depan panggung. Tony Q Rastafara, begitu nama bekennya. Tony, yang merasa sepaham dengan idiologi yang ditawarkan reggae, membuatnya jatuh cinta dengan karakter musik ini, sejak 18 tahun silam. Di kalangan penggemar reggae, namanya cukup familiar. Bahkan bagi komunitas reggae, dia dianggap sebagai “pioneer reggae” di Indonesia. Maklum, tak begitu banyak musisi yang berkiprah di jalur ini. Sebab, apresiasi masyarakat kita masih rendah. Berbeda dengan jalur musik pop, rock ataupun dangdut yang lebih dahulu berkembang dan telah mengakar cukup lama.
Sampai ketika beberapa buah tembang hits dia nyanyikan, aku belum ngeh, kalo itu adalah sebagian lagu dari album terbarunya. Rasanya, aku pernah mendengar lagu-lagu itu. Aku gak ingat pasti. Tapi kalo gak salah, waktu itu, aku dengar lagunya di sebuah toko kaset di Jakarta. And, aku ingat banget lagu “Om Fangkey”nya! Lagu yang membuat orang tak kan lupa. Lyriknya yang sederhana dibalut iringan nada reggae yang menghentak riang(easy listening: red), membuat semua orang yang mendengar pasti langsung ingat.
Malam itu, setelah mutar-mutar nyari lokasi BB’s café, tempat Tony dan band manggung. Kita harus masuk ke dalam sebuah gang sempit, tepat di samping Stadiun Persija yang masih menjadi sengketa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Akhirnya di tempat ini kita berjumpa dengan Tony Q Rastafara, setelah sehari sebelumnya janji ketemu. Rencananya, malam itu dia akan tampil membawakan beberapa buah lagu, seperti : Lady’s White, NgayokJakarto, Salam Damai, Om Fankey, dll.
Waktu menunjukkan pukul 23.15 WIB, ketika kita melangkah masuk ke dalam café dan langsung menuju lantai tiga. Di tempat ini, setiap lantai, berisi café dengan berbagai jenis aliran musik. Untuk lantai satu misalnya, tempat ini adalah café dengan live musik biasa. Umumnya diiringi lagu-lagu top fourty. Sedangkan lantai dua, berisi café dengan ciri khasnya musik blues. Dan untuk penggila musik reggae, kita dapat menemukannya di lantai tiga. Sehingga jangan heran, jika di setiap lantai, selalu dipenuhi oleh komunitas dari penggila musik tertentu yang berbeda.
Anggapan, makin malam, sebuah café (tempat hiburan malam; red) makin ramai, ternyata terbukti benar di tempat ini. Awalnya, aku menduga kalo pengunjung di tempat ini tidak lebih dari 20 orang. Pasalnya, sejak buka tadi, pengunjung tak banyak. Hanya para kru-nya “Tony”, yang terlihat mondar-mandir di dalam café, menyetel peralatan musik sebelum digunakan. Tapi setelah “Tony” membawakan satu buah lagu, yang aku lupa judulnya. Secara perlahan namun pasti, satu per satu, pengunjung -yang aku gak tau datangnya dari mana- mulai masuk, memenuhi ruangan yang kini terlihat sempit.
Para penggemar reggae identik dengan rasta (ganja: red)? Rasanya, hal itu seperti gula dan semut. Dimana ada komunitas reggae dengan rambut gimbalnya, kemungkinan besar pasti ada ganja yang beredar. Hal itu juga yang terjadi di tempat ini. Belum lewat 10 menit berlalu, aroma penebar nikmat itu, sudah memenuhi hampir seluruh ruangan. Aroma yang bisa menimbulkan kecanduan bagi penikmatnya, begitu khas menyapa. Agak sulit untuk mendeskripsikan aroma tersebut, tapi aku ingat betul bagaimana aroma ini bersatu dengan udara disekitarnya. Sebab, sewaktu kuliah dulu, teman-temanku menggunakannya untuk memancing kreatifitas, atau untuk memecah kejenuhan akibat jurnal kuliah yang menyiksa. Tapi tak sedikit yang menggunakannya untuk mabuk-mabukan. Apalagi keberadaannya tak terlalu sulit ditemui.
Berhubung, aku harus mengabadikan sosok Tony yang gimbal saat manggung di café ke dalam camcorder Sony DSR PD-170. Mau gak mau, setiap suasana yang ditimbulkannya harus ikut terekam indah. Mulai dari kegiatan anggota band nge-cek sound, para pengunjung yang berdatangan, para bartender yang terlihat sibuk melayani tamu, wawancara dengan Tony Q Rastafara, sampai sang kupu-kupu malam yang ikut menghiasi beberapa sisi ruangan, menjadi rentetan cerita yang terjadi dengan sendirinya. Sebuah perpaduan antara audio dan video, yang akan menjadi saksi sebuah peristiwa. Saksi tentang catatan sekelumit sisi anak muda, yang anti kemapanan, dan masih memegang teguh idiologi kaum reggae.
Untuk beberapa sisi, aku sepakat dengan cara pandang kaum ini. Cara pandang, yang lahir dari pertentangan kelas, dan berujung pada pengelompokan/ pengkotak-kotakkan kelompok. Awalnya, genre musik yang timbul akibat pemberontakan ini, berisi paham idiologi anti kemapanan, anti birokrasi dan anti penguasaan individu atas individu. Mereka merasa, manusia lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding orang lain, bahkan saudaranya sendiri. Hanya karena alasan ekonomi atau lebih tepatnya “uang”, setiap orang akhirnya akan bertindak sebagai kapitalis, yang menganggap semua itu diukur dengan uang. Atau bisa disederhanakan dengan “uang adalah segalanya”.
Tapi dari sisi kelakuan. Aku termasuk orang yang tidak sepakat dengan mereka. Sifat santai, pesimis dan seolah tak peduli, boleh jadi salah satu ciri kaum ini. “Buat apa bersusah payah melakukan sesuatu, kalo toh gak bisa merubah sesuatu.” Itu sebagian prinsip yang timbul diantara mereka. Akhirnya, prinsip ini menjadikan mereka semakin patah arang. Malas untuk berusaha lagi. Seperti pepatah “Bagai si Punguk yang merindukan Bulan”, kondisi itu yang kini terjadi.
Bagi sekelompok orang, seperti yang kutemui malam itu. Rasanya, rasta-lah yang membuat persaudaraan mereka menjadi begitu kuat. Berbeda dengan kemunculannya dulu, kini penggemar musik ini, terlihat lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Tak terlihat lagi ciri pertentangan kelas seperti dulu. Saat ini, sebagian dari mereka mulai terbius dengan sikap pesimistis terhadap sesuatu, yang akhirnya akan berujung pada sikap santai dan tak peduli. Sebuah ciri khas baru, kaum hedon metropolis.
Seiring berjalannya waktu, penikmat musik ini pun semakin bertambah. Kalangan penikmat yang dulunya hanya seniman jalanan, tak membuat pergeseran nilai rasa berhenti sampai disitu. Kini, para pengusaha, birokrat sampai eksekutif muda, terlihat mulai menyenangi musik ini. Abis, musiknya emang enak di dengar dengan pemaknaan syair-syair yang sangat dalam!
Dalam sebuah kesempatan, sebelum manggung malam itu, Tony –sang pelopor- menuturkan perihal kecintaannya terhadap musik ini. Meski belum semua orang bisa menerima, dia akan tetap eksis menekuni dan mencoba mensosialisasikannya ke masyarakat. “Sebab, seorang seniman adalah melakukan sesuatu sesuai kata hatinya!”, begitu ujarnya sambil meneguk bir yang telah tersaji.
Reggae, ditengah segudang aspek yang melingkupinya, telah memberi warna baru dalam belantika musik di Indonesia. Walau banyak kalangan yang meragukan kelanggengannya dibanding jenis musik lain. Hadirnya tokoh-tokoh musisi yang tetap eksis, seperti Toni Q Rastafara, turut memperkaya khazanah musik di tanah air. Aku hanya berharap, semoga setiap aliran musik yang ada, bisa berjalan bergandengan sama tinggi, tanpa memandang rendah yang lain.