Tak banyak gunung api di Indonesia mempunyai bentuk kerucut di puncaknya. Keindahan seperti itu hanya bisa kita temui di Gunung Sinabung, gunung tertinggi di Sumatera utara. Walau harus rela meniti tanjakan selama 4-6 jam, pesona yang ditampilkannya sebanding dengan keringat yang kita keluarkan.
Gunung Sinabung (2.451m) terletak di Kec. Simpang Empat, Kabupaten karo, Propinsi Sumatera Utara. Kawasan hutannya yang masih asri dengan aneka satwa serta kerucut di puncaknya menjadi daya tarik kawasan ini. Letak gunung ini pun tak terlalu jauh dari Gunung Sibayak yang telah lebih dahulu menjadi lokasi tujuan wisata di Sumatera Utara.
Gunung Sinabung (2.451m) terletak di Kec. Simpang Empat, Kabupaten karo, Propinsi Sumatera Utara. Kawasan hutannya yang masih asri dengan aneka satwa serta kerucut di puncaknya menjadi daya tarik kawasan ini. Letak gunung ini pun tak terlalu jauh dari Gunung Sibayak yang telah lebih dahulu menjadi lokasi tujuan wisata di Sumatera Utara.
Bagi masyarakat Sumatera Utara, keberadaan gunung ini sangat erat hubungannya dengan objek wisata Danau Lau Kawar. Pasalnya danau ini, menjadi pintu masuk bagi pengunjung yang ingin mendaki Sinabung. Sedangkan bagi mereka yang ingin mencoba rute lain dapat memulainya dari arah Selatan, yakni dari Desa Mardingding atau Desa Suka Meriah. Hanya saja, kedua jalur ini sangat jarang dipakai karena jalur yang terputus-putus
Air danau yang tenang ditingkahi udara sejuk, pertanda kesan pertama sewaktu tiba. Keindahan alam pun kian terasa ketika kita berkemah atau sekedar tamasya ke tempat ini. Rimbunnya pepohonan yang mengelilingi danau pun ikut menambah keasriannya. Bayangkan, di tengah maraknya penebangan liar, ternyata masih ada sejumput surga yang masih lestari.
Pada hari-hari libur, sedikitnya 400-500 wisatawan -yang kebanyakan domestik- mengunjungi tempat ini. Umumnya mereka datang dari kota-kota terdekat seperti: Pancurbatu, Berastagi, Kabanjahe dan Medan. Sedangkan bagi kalangan turis asing, tempat ini kurang diminati, karena terbatasnya akses transportasi dan kondisi jalan yang rusak di beberapa sisi. Belum lagi, pilihan untuk tempat makan dan menginap tak banyak.
Cara Mencapainya
Dari Kota Medan, pengunjung dapat menumpang bus trayek Medan-Kabanjahe atau Medan Berastagi dari Terminal Pinang Baris dengan membayar Rp.10.000/ orang. Atau, jika ingin mempersingkat waktu, pengunjung bisa memulainya dari kawasan Padang Bulan-Medan. Biasanya disini ada terminal bayangan bagi bus-bus luar kota, jurusan Berastagi atau Kabanjahe, yang berhenti untuk mengangkut penumpang.
Untuk lebih mudah, biasanya pengunjung berhenti di Brastagi. Dari sini, kita bisa melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan pedesaan bernama “Takshima” dengan merogoh kocek Rp. 10.000/ orang, akan berakhir di Danau Lau Kawar. Disini, pendaki harus ekstra sabar. Pasalnya, kendaraan ini agak jarang dan kita akan menjadi penumpang terakhir yang akan diantar.
Sarana jalan mencapai Gunung Sinabung, ternyata masih terkendala. Dari 30 Km panjang lintasan, sedikitnya 20 Km jalan propinsi jurusan Kabanjahe-Kutarayat rusak berat dan tidak ada perawatan. Juga sekitar 2 km jalan kabupaten, mulai dari desa simpang Kutarayat -sebagai batas dengan jalan propinsi- melewati desa Kutagugung Kec. Simpang Empat, kondisinya memprihatinkan. Akibatnya, agen perjalanan enggan menyertakannya menjadi rute wisata bagi wisatawan mancanegara. Sehingga para wisatawan yang ingin datang merasa waswas. Padahal, jarak Lau Kawar ke Medan hanya sekitar 80 km, atau sekitar 30 km dari Kota Brastagi. Jarak ini jauh lebih dekat ketimbang jarak Medan – Danau Toba atau Medan – Bukit Lawang, yang jadi tujuan favorit kalangan turis asing.
Kepenatan selama berkendara akibat jalan yang rusak, berliku dan sempit menyusuri punggung perbukitan menuju danau di ketinggian 1.425 mdpl, niscaya segera terlupakan. Berganti dengan keindahan begitu tiba di tepi Danau Lau Kawar.
Danau Lau kawar
Pesona Danau Lau Kawar memang tak semegah Danau Toba yang keindahannya sudah melegenda hingga mancanegara. Dibandingkan Danau Toba yang luasnya mencapai 1.265 Km2, Danau Lau Kawar luasnya hanya 200 Km2. Tapi jangan salah, keeksotisannya yang membuatnya berbeda ditingkahi wajah-wajah ramah penduduk desa.
Setibanya di danau yang berada diketinggian 1.425 mdpl ini, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar Rp 2.000/orang. Sedangkan bagi pengunjung yang ingin mendaki dikenakan tambahan biaya senilai Rp. 2.000/orang. Harga ini relatif terjangkau bagi pengunjung yang kebanyakan pelajar dan mahasiswa.
Di Kawasan ini bisa kita melihat kesuburan “Tanah Karo Simalem” atau Karo yang cantik. Layaknya daerah pegunungan berhawa sejuk pada umumnya, Lau Kawar juga merupakan sentra sayur-mayur, bebungaan dan bebuahan. Di kawasan ini, ribuan hektar ladang terbentang, baik di dataran maupun lereng-lereng pebukitan. Aneka sayur terhampar luas, berseling dengan ladang jeruk Sunkist –ciri khas tanaman buah di tempat ini- yang mulai menguning. Kalau mau, pelancong bisa membeli jeruk Sunkist yang baru dipetik dengan harga murah.
Bagi pengunjung yang tak ingin kemana-mana, dan lebih memilih menikmati keindahan danau dari dekat, bisa mencoba singgah di restoran terapung di pinggir danau. Dari tempat ini kita dapat merasakan balutan udara dingin ciri khas kawasan pegunungan yang menusuk tulang, sembari menyantap makanan yang ditawarkan.
Dari tempat ini juga kita bisa menyaksikan rakit-rakit kecil para pencari ikan yang baru tiba, bersamaan dengan tenggelamnya mentari di ufuk barat. Ini adalah pesona yang luar biasa indahnya. Kala semburat merah menyembul di balik perbukitan berpadu dengan riak gelombang yang lembut memecah bias bayangan pencari ikan, memberi gambaran yang begitu utuh tentang keindahan danau ini.
Proses Pembentukan
Secara geologi gunung Sinabung muncul karena adanya pengangkatan-pengangkatan (orogenesa) disusul dengan proses vulkanik berupa erupsi Gunung Api Kwarter yang lebih bersifat effusif. Gunung ini termasuk gunung api aktif tipe B, karena tidak memperlihatkan kegiatan vulkanik sejak tahun 1600 sampai sekarang.
Menurut NR. Camerooon, et.al.1982, bentang alam Gunung Sinabung merupakan bagian dari daratan tinggi Berastagi (Berastagi High Lands) yang disebelah selatannya berbatasan dengan dataran tinggi Kabanjahe (Kabanjahe Plateau). Bentang alam ini pun masih merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan Timur.
Ditinjau dari pola struktur regional yang dapat diamati, G.Sinabung dan G.Sibayak mempunyai kelurusan dengan Danau Toba. Diperkirakan aktivitas dan kemunculan gunung api ini mempunyai kaitan erat dengan terjadinya Gunung Toba tersebut.
Berdasarkan fisiografinya, G. Sinabung masih memiliki tubuh yang lebih mulus dan merupakan gunung api soliter yang muncul di atas Dataran Tinggi Karo, berbeda dengan Gunung Sibayak yang puncaknya telah porak poranda.
Dari bentuknya yang masih mulus bisa dikatakan bahwa G. Sinabung relatif lebih muda ketimbang G. Sibayak yang terletak di sebelah Barat Lautnya. G. Sinabung merupakan gunung api strato dengan kerucut bagus yang secara morfologi dibagi menjadi tiga satuan yaitu : satuan morfologi puncak, morfologi lereng dan morfologi kaki.
Dari sejarahnya, diperkirakan gunung api ini mulai tumbuh antara Plistosen hingga Holosen, dengan menghasilkan banyak aliran lava pada lereng-lerengnya. Secara regional gunung api ini termasuk tipe Kwarter, sedangkan stratigrafi vulkaniknya belum ada (belum dipetakan).
Berdasarkan penelitian, ditemukan batuan lava dari berupa: Andesit piroksen, lahar, agglomerate, dengan komposisi mineral terdiri atas: augit, hornblende dan hipersten.
Etnis Lokal
Etnis Karo, salah satu suku di Sumatra Utara yang bermukim di kawasan pegunungan, terdapat di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Suku ini terkenal karena keuletannya dalam bertani. Letak geografis dan perbedaan bahasa yang membuat mereka enggan disebut bagian etnis Batak. Pasalnya, mereka mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.
Dalam beberapa literatur, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Dalam sistem kekerabatan, masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Dalam bahasa Karo marga disebut merga sebutan untuk laki-laki, sedangkan perempuan disebut beru. Setiap orang Karo mempunyai merga. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau ada laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klan (marga) Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat, telah ada penduduk asli Karo pertama yakni marga Karo Sekali. Dengan kedatangan kelompok marga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak. Interaksi ini yang mendorong terjadi pembentukan merga si lima.
Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi lebih kepada proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo Muda, yakni lebih kurang pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Haru dengan penduduk asli.
Kini merga si lima (klan yang lima) tak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo. Seiring perkembangan jaman, masyarakat Karo melalui merga si lima yang berdomisili di dataran tinggi, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang, Dairi Langkat, Simalungun dan Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara individu kini mulai menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, maupun ke luar negeri.
Persiapan Pendakian
Seperti pendakian ke gunung-gunung lain di Indonesia, perijinan ke tempat ini tidaklah sulit. Persiapan administratif perlu diperhatikan. Setelah membayar retribusi, kita harus menyerahkan fotocopy KTP/ SIM dan mendaftarkan anggota tim yang akan menuju puncak. Ini bertujuan untuk lebih memudahkan pendataan dan evakuasi jika terjadi sesuatu di gunung.
Selain itu, perlengakapan mendaki, seperti; tenda, alat navigasi, peralatan masak, matras, sleeping bag, pakaian ganti dan makanan menjadi menu wajib yang harus dipenuhi. Bisa dipastikan betapa tersiksanya kita, jika salah satu alat tersebut tidak ada. Untuk itulah pengecekan terhadap peralatan pribadi maupun tim perlu dilakukan sebelum berangkat. Pasalnya, diatas sana tak ada tempat untuk mencari ataupun membeli semua keperluan tersebut.
Namun, yang paling penting dari semuanya adalah kesiapan individu. Adalah terlalu beresiko, kita mendaki dalam keadaan tidak sehat. Untuk itu menjaga kebugaran, melalui olahraga teratur dan pola hidup sehat mutlak hukumnya, bagi mereka yang hobi berkegiatan di alam bebas.
Rute Pendakian
Jika ingin memulai pendakian dari tempat ini, sebaiknya di lakukan pada pagi hingga siang hari. Selain bisa menikmati pemandangan, kita pun akan gampang menemukan rute yang kadangkala terputus-putus.
Saat mulai mendaki dari Lau Kawar kita akan melewati perladangan penduduk, sebelum tiba di batas hutan, biasa disebut "Pintu Rimba". Hati-hati melewati pintu rimba ini, karena terdapat banyak persimpangan. Salah-salah anda malah masuk ke ladang orang.
Setelah berjalan 30 menit dari “Pintu Rimba” kita akan tiba di pos I. Pos ini tidak ada ciri-ciri khususnya, selain 2 pohon tumbang dengan dataran untuk mendirikan tenda. Dari sini kita harus waspada, karena ada percabangan. Jalur yang benar adalah yang lurus, sedang ke kanan akan menuju turun dan ke kiri mengarah ke punggungan yang lain.
Jika masih bugar, tak ada salahnya segera bergegas. Pasalnya, terlalu lama istirahat akan membuat kita malas beranjak. Untuk mencapai Pos II di ketinggian 1.697 mdpl, kita akan tetap berada di jalan setapak yang mulai terjal. Jalan yang tadinya landai, lambat laun menunjukkan wujud aslinya. Perlu kewaspadaan saat berjalan diantara akar-akar pohon, kalau tak ingin terjerembab.
Dengan nafas yang ngos-ngosan, pendaki bisa mencapai Pos III ((1.842 mdpl) berjarak 30 menit. Pos ini berada pada sebuah tanjakan dengan tanah datar yang sempit sekali. Bahkan untuk mendirikan tenda ukuran dua orang pun agak susah.
Di Gunung Sinabung, sumber air relatif sukar ditemukan. Hanya di tempat-tempat tertentu kita bisa menemukannya, salah satunya ada di “Hutan Pandan” pada ketinggian 1.962 mdpl, diantara pos III dan Pos IV. Ini yang menyebabkan setiap pendaki harus membawa air extra banyak. Pasalnya, selain untuk minum selama perjalanan, kita akan membutuhkannya untuk memasak.
Lepas dari hutan pandan tadi, kita akan menemukan jalur yang mulai terbuka dengan tanaman perdu sebagai ciri batas vegetasi puncak. Ini jadi pembatas antara pohon-pohon besar dengan tanaman yang lebih rendah. Dari sini, kita bisa melepas pandang ke sekeliling. Danau Lau Kawar yang nun jauh di bawah akan terlihat kecil dari sini. Tapi, keindahannya masih saja mempesona.
Secara perlahan namun pasti, setelah berjalan 30 menit dari Hutan Pandan, kita akan tiba di Pos IV pada ketinggian 2.187 mdpl. Pos ini memiliki tempat berkemah terluas di jalur ini. Sebuah dataran bisa menampung tiga hingga empat buah tenda. Dari sini juga nuansa khas puncak mulai terasa. Angin yang beradu kencang ditingkahi aroma belerang menjadi menu khusus yang dinanti-nanti para pendaki. Aroma ini juga yang membuat citra mistis sebuah gunung semakin terasa.
Walau puncak semu sudah kelihatan, bukan berarti perjalanan segera berakhir. Malah di tempat ini, kita akan berada pada pencapaian yang sesungguhnya. Rute yang benar-benar menanjak diantara batu-batu gunung menjadi pilihan sulit yang harus dilakoni. Di jalur ini pula kesabaran dan ketabahan akan di uji oleh alam. Cara kita melangkah dan menyesuaikan irama dalam tim, menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Pasalnya, banyak contoh buruk perihal tak adanya kekompakan tim, hanya karena sisi egositas para pendakinya. Pelajaran ini pun hanya bisa kita temui saat mendaki gunung.
Di tanjakan terjal ini, kita akan bergelut dengan kemiringan lereng hingga 80 derajat. Jarak yang masih jauh membuat semangat kita dipertanyakan. Apalagi saat melihat teman ada di ujung sana, perasaan yang sama ikut meraja. Tapi, jika melihat rute yang begitu terjal kita dibuat kecut. Mungkin karena rute ini menguras emosi dan tenaga, banyak pendaki yang menyebutnya sebagai “Tanjakan Sakit Hati”. Kabarnya kecelakaan sering mendera pendaki (khususnya pemula) ditempat ini, akibat terlalu bernafsu dan tidak hati-hati.
Lepas dari tanjakan tadi, setelah berjalan sejauh 15 -20 menit, akhirnya kita akan tiba di puncak (2.451 mdpl). Tapi jangan heran, di gunung ini kita akan menemukan tiga undakan yaitu Puncak utama, Puncak Kedua dan Puncak Kerucut yang oleh pendaki setempat disebut sebagai “Puncak Flash Gordon”. Ketiga puncak terjadi akibat letusannya beberapa abad silam. Di puncak ini kita juga akan menemukan sebuah titik triangulasi tertier buatan Belanda. Namun sayang, pilar Ini mulai rusak akibat vandalisme berupa coretan orang-orang tak bertanggung jawab.
Bagi pendaki yang tiba di puncak tidak disarankan untuk mendirikan tenda di lokasi triangulasi, karena hempasan angin yang begitu kencang. Akan lebih baik, jika mendirikan tenda sedikit kebawah, tepatnya di sebelah kanan jalur. Disitu ada sebuah cerukan batu cadas yang sangat cocok sebagai tempat berlindung.
Di puncak ini kita juga dapat menemukan sebuah kawah yang cukup dalam, sisa letusan sebelumnya. Banyak pendaki turun ke kawah hanya untuk melihat lebih dekat sisa vulkanik yang masih aktif tersebut. Selain berfoto untuk mengabadikan tempat ini, tak sedikit pendaki yang mengabadikan namanya di kawah dengan menyusunnya dari bongkahan batuan gunung.
Jika beruntung, dari puncak ini pula kita bisa melepas pandang ke ujung cakrawala, melihat keindahan lainnya, seperti dataran tinggi Karo, Danau Toba, hingga kota-kota kecil diujung sana. Akhirnya, semua letih pupus sudah, berganti haru yang meluap luap. Sungguh, kebesaran Tuhan nyata ditempat ini.