Tak berbeda dengan Indonesia, negara semaju Prancis pun memiliki masalah dengan kaum pekerja melalui terbitnya CPE (baca: UU tentang Kontrak Kerja) yang sempat menuai protes besar-besaran. Munculnya UU ini merupakan imbas dari semakin gencarnya paham neo liberalisme merenggut dan menghimpit sisi-sisi kemanusiaan para pekerja disana.
Saat itu, menjelang May Day 2006, pada tanggal 10 April, Perdana Menteri Prancis, Dominique de Villepin, mengumumkan pencabutan UU Ketenagakerjaan tentang Kontrak Kerja Pertama yang terkenal dengan sebutan CPE (Contrat Première Embauche). Kejadian ini jadi tonggak kemenangan jangka pendek bagi seluruh kalangan pekerja, mahasiswa dan kaum imigran Perancis.
Pencabutan ini sendiri berlangsung, karena aksi besar-besaran dan terus menerus yang diusung oleh semua kalangan pekerja dan pihak-pihak yang bersimpati. Awalnya, aksi ini di bidani oleh pekerja imigran yang sering mendapat perlakuan deskriminatif dari pemerintah dan masyarakat. Pasalnya, jumlah imigran --baik ilegal maupun tidak-- di negara ini merupakan yang terbanyak di Eropa. Kejadian semakin memburuk, saat terjadinya aksi peledakan bom mobil, akhir 2005 lalu, yang didalangi kalangan buruh imigran.
Secara keseluruhan, CPE adalah undang-undang yang mempermudah pengusaha memecat pekerja di bawah usia 26 tahun. UU memperkenalkan sistem kontrak kerja baru bagi para pemuda selama 2 tahun percobaan (probation) dan mengizinkan perusahaan mengakhiri kontrak kapan saja, tanpa perlu memberi penjelasan ataupun pesangon.
Rencananya CPE akan mampu menurunkan angka pengangguran di Perancis (mencapai 9,6% dan terus meningkat), padahal rata-rata angka pengangguran negara-negara di Eropa Barat paling tinggi hanya 8,3 persen.
Dalam orasinya, kalangan revolusioner Prancis getol mengkampanyekan bahwa “CPE akan merugikan siapapun yang terpaksa bekerja untuk sekedar bertahan hidup”. Akhirnya aksi mereka meraih dukungan luas dari kalangan kaum muda imigran yang kebanyakan penganggur dan dianggap sampah masyarakat. Dalam demonstrasi di Avenue de Invalides akhir Maret 2006, serombongan ibu-ibu rumah tangga, dibantu para anak-anak muda yang tak bekerja, mengorganisir dapur umum untuk kepentingan aksi dan menyerukan penentangan mereka terhadap CPE. Mereka tidak menyuarakan “solidaritas bagi aksi pekerja”, karena mereka bukanlah kelas pekerja. Tetapi mereka menyerukan bahwa mereka anti CPE, yang dianggap tidak manusiawai dan nantinya secara langsung maupun tidak akan berdampak bagi keturunan ibu-ibu ini.
Para revolusioner Perancis sengaja merangkul para penganggur muda (baca; kebanyakan warga imigran) yang beberapa bulan sebelumnya menjadi aktor utama dalam aksi-aksi kerusuhan di Perancis. Terkenal dengan style pertempuran jalanan, para imigran ini terlibat di banyak kerusuhan, termasuk dalam aksi-aksi penolakan CPE yang kebanyakan berbuntut kekerasan. Setiap kerusuhan yang terjadi merupakan cerminan atas represifitas negara terhadap mereka. Para mahasiswa yang melibatkan diri dalam aksi anti CPE, mengorganisir kampus-kampus dengan mencanangkan pemogokan massal, melalui pendudukan dan memblokade kampus-kampus mereka, yang kemudian diikuti dengan konfrontasi terhadap polisi. Slogan “Bangkitkan kembali semangat 68!” menginspirasi mahasiswa untuk menduduki nyaris seluruh kampus di negara tersebut. Uniknya, atas kampanye yang meluas dan menargetkan pada kelas pekerja secara menyeluruh, para pelajar setingkat SMU juga turut mengambil bagian aktif dalam aksi-aksi anti CPE.
Aksi demo semakin memuncak seiring semakin tingginya sikap represif polisi dan semakin dekatnya tenggat waktu pengesahan CPE. Aksi penolakan yang timbul dalam menjawab kekerasan polisi didukung oleh mayoritas publik dan dianggap sebagai bagian dari aksi protes. (“Hanya dengan kekerasan seperti ini, mereka mau mendengarkan kami.” The Economist, April 2006).
Saat itu, konflik antar demonstran pun ikut mewarnai aksi-aksi mereka. Mengingat bahwa segregasi antar warga kulit putih Perancis dan warga imigran yang mayoritas berasal dari Timur Tengah dan Afrika masih cukup kental. Tetapi berkat pola pikir yang maju, di Perancis telah terjadi sebuah kesamaan pemahaman bahwa kebijakan pemerintah dengan CPE telah menyerang seluruh kelas pekerja.
Menghadapi tekanan yang begitu besar, Akhirnya De Villepin mencabut UU yang sempat diresmikan pada 2 April 1006 lalu. Selanjutnya ia akan berusaha mencari penggantinya yang lebih dapat diterima masyarakat. Seperti dikutip AFP, Mei 2006; “Aku ingin bertindak cepat, sebab situasi dramatis dan keputusan sejumlah anak muda mengharuskannya.”, ungkapnya. Sementara wakil serikat pekerja terbesar kedua Perancis, CGT berkata pada kantor berita Perancis, AFP: pencabutan CPE adalah berkat, keberhasilan aksi bersama; pekerja, mahasiswa dan seluruh warga kelas pekerja Perancis. Sedangkan Victor Vidilles dari Persatuan Mahasiswa Nasional mengatakan pada BBC, bahwa keputusan pemerintah tersebut menjadi kemenangan besar bagi aksi protes popular yang didukung oleh seluruh kelas pekerja Perancis yang sadar bahwa CPE menyerang kepentingan seluruh kelas pekerja.
Atas kesadaran tersebut, sebulan kemudian, di pertengahan Mei 2005 lalu, mantan Menteri Dalam Negeri Perancis, Nicolas Sarkozy (baca: sekarang kandidat presiden), mengajukan RUU Imigrasi yang akan menyulitkan kaum imigran tinggal di Perancis. Dari gelagatnya, rancangan tersebut akan berdampak bagi kaum pekerja imigran dan serikat-serikat pekerja, mahasiswa serta semua warga Perancis yang legal untuk turun kembali ke jalan-jalan melancarkan protes. Mereka (baca; kalangan pekerja) tidak membiarkan partner aksi mereka dalam gerakan anti CPE yang lalu. diserang sendirian. Sementara di Indonesia, kampanye anti revisi UU 13/2003 saja sama sekali tidak menarik minat siapapun di luar kelompok pekerja industrial kerah biru (baca; buruh pabrik) dan para aktivisnya.
Bedanya dengan Indonesia
Neoliberalisme sebagai perwujudan baru paham liberalisme dapat dikatakan telah menguasai sistem perekonomian dunia. Seperti diketahui, paham liberalisme dipelopori oleh ekonom asal Inggris, Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations (1776), sempat menjadi dasar ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari periode 1800-an hingga masa kejatuhannya pada periode krisis besar (Great Depression) di tahun 1930. Sistem ekonomi yang menekankan pada penghapusan intervensi pemerintah dengan memfokuskan pada metode pasar bebas, melalui penempatan pemilik modal dan kaum pekerja yang hanya bekerja didalam proses produksi.
Inti dari gagasannya menyebutkan tentang penggunaan “full employment” yang dijabarkan sebagai besarnya peranan buruh dalam pengembangan kapitalisme dan pentingnya peran serta pemerintah dan bank sentral dalam menciptakan lapangan kerja.
Dalam lingkup domestik, paham ini berlawanan dengan prinsip proteksi terhadap perekonomian sebuah negara. Tetapi di lain waktu, paham ini bisa digunakan sebagai alat tawar membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme juga sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan yang mendukung hak-hak buruh.
Persis seperti yang terjadi di Indonesia dengan UU 13/2003 beserta revisinya yang merupakan Elegi, dimana negara memberi kewenangan penuh pada pengusaha tanpa sedikitpun memberikan hak-hak hidup bagi para pekerjanya.
Jika gelombang penentangan CPE di Perancis diakibatkan oleh sistem kontrak kerja yang tak berpihak pada pekerja, berbeda dengan gerakan penolakan revisi UU 13/2003 di Indonesia. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan kondisi geografis ataupun kondisi sosial politik yang berbeda, tetapi lebih karena perbedaan strategi, taktik dan wacana.
Adanya ekspansi di negara-negara dunia ketiga sebagai lahan investasi bagi kaum kapitalis, bukanlah memajukan tingkat kesejahteraan rakyat di negara tersebut (termasuk Indonesia), tetapi demi mendapatkan kaum pekerja dengan biaya murah (baca: dibayar murah dan murah bahan baku). Persaingan antar pemilik modal membuat para pemodal berlomba-lomba untuk menguasai negara-negara ketiga melalui lembaga multinasional.
Hal ini yang membuat kebanyakan kaum buruh di Indonesia merasa dirugikan dan berdiri sebagai oposan terhadap keputusan negara, walaupun secara logika akan mendukung negara ini. Karena secara tidak langsung negara telah menjadi “antek-antek” kaum pemilik modal. Serikat-serikat pekerja yang dibangun di kalangan kelas pekerja sebagai alat emansipasi khusus para pekerja itu sendiri, malah bekerja menetralkan mekanisme sistem yang ditentangnya. Program serikat pekerja memang membawa frase ‘revolusioner’, tapi yang terjadi dalam praktek adalah frase reformis.
Karena para oposan di dalam aksi penolakannya tidak memberi keleluasaan bagi publik secara luas untuk ikut terlibat bersama. Mereka (baca: kaum buruh) masih menegaskan posisi di antara pekerja dengan penganggur, pekerja domestik, ataupun calon pekerja (mahasiswa) secara terang-terangan. Mereka juga bahkan sangat miskin dalam analisa isu soal kerja itu sendiri. Para pemimpin organisasi buruh yang menentang keputusan pemerintah, sering berakhir dengan keluhan bahwa mereka telah terprovokasi oleh pekerjanya sendiri. Artinya, mereka (pekerja) tidak punya satu suara. Selain itu, mereka selalu menyerukan melalui berbagai cara agar membiarkan diri dipimpin oleh elit-elit kelompok/serikat pekerja tertentu, yang sebenarnya telah memperlihatkan pada semua orang bahwa ‘sama rasa’ para pemimpin tersebut tidak lebih dari bohong belaka.
Jika bias aksi berupa kekerasan yang diakomodir oleh kaum revolusioner di Prancis merupakan akumulasi dari represifnya polisi terhadap demo buruh, berbeda dengan ucapan pemimpin SPSI saat aksi para pekerja di Jakarta, dalam menentang revisi UU 13/2003 yang sempat berujung kekerasan. Dalam pernyataannya seperti yang dilansir Indosiar.com, Mei 2006, ia malah berbalik menyudutkan para pekerja atau beberapa elit serikat pekerja lain, dengan menyatakan bahwa kemungkinan aksi ditunggangi oleh mereka yang bukan pekerja, sehingga memprovokasi para pekerja dengan aksi kekerasan melawan polisi.
Dalam berbagai aksi demonstrasi yang marak digelar, Kampanye penentangan revisi UU 13/2003 tidak ditujukan pada publik di luar kalangan pekerja industri kerah biru. Kampanye dilakukan di pabrik-pabrik, serikat-serikat pekerja, ataupun di kalangan aktivis mahasiswa (baca; lantas akan melakukan hal yang sama: berbalik mengkampanyekan isu tersebut ke kalangan pekerja di pabrik-pabrik). Apa yang mereka lakukan justru semakin menjebak buruh dalam pemahaman sempit tentang kelas pekerja. Mereka menganggap buruh hanya pekerja industri kerah biru saja. Mereka tak sadar bahwa kelas pekerja adalah semua orang yang harus bekerja untuk bertahan hidup.
Selain itu, tidak adanya kesatuan dalam memandang penolakan revisi UU 13/2003 di Indonesia sebagai sebuah penindasan terhadap hak asasi manusia, membuat aksi ini kurang menyentuh banyak kalangan. Isu yang digelontorkan oleh sebagian besar organisasi buruh yang menolaknya, sama sekali tidak melebarkan pengertian bahwa aturan tersebut akan menyengsarakan semua orang, tetapi hanya terfokus bahwa isu yang akan menyerang para pekerja industrial kerah biru saja.