Friday, April 18, 2008
DiALoG TeRBuKa TaK BeRTiTiK TeMu
Walau sempat mundur dari waktu yang direncanakan, momen bersejarah itu pun berhasil di gelar. Sebuah perhelatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh komunitas blogger yang sempat terpojokkan oleh komentar sang pakar. Kendati tak bertitik temu, setidaknya acara ini menyaratkan indahnya perbedaan di era demokrasi.
Hari masih pagi, tapi intensitas sang surya begitu pekat, saat kendaraan kantor yang kami tumpangi melaju di mulusnya jalanan ibukota. Perjalanan kali ini agak mengarah ke ujung selatan, tepatnya di sebuah universitas swasta, di bilangan Ciledug, Jakarta Selatan.
Kondisi jalanan yang begitu padat oleh lalu lalang kendaraan, membuat perjalanan kami sangat terhambat. Hampir satu jam lebih waktu terbuang percuma dalam iring-iringan panjang kendaraan bermotor. Padahal jika tidak macet, paling-paling dibutuhkan 30 - 45 menit, untuk tiba disana. Belum lagi, menurut panitia, pendaftaran harus dilakukan 2 jam sebelum acara dimulai. Jika kondisinya seperti ini, bisa dipastikan, kami betul-betul terlambat.
Terang saja, saat kami tiba disana, ruangan besar yang sehari-hari digunakan sebagai ruangan theater itu telah penuh sesak oleh kurang lebih 300 peserta yang kebanyakan mahasiswa. Bahkan, banyak juga peserta yang tak dapat tempat duduk. Dugaan awal, bahwa kegiatan ini akan dihadiri oleh komunitas blogger yang tidak terima dengan pernyataan Roy Suryo, ternyata salah besar. Bisa jadi, karena fasilitas video streaming –-Binus access-- yang disediakan penyelenggara (dalam hal ini universitas swasta tersebut) bisa di akses siapa saja termasuk komunitas blogger dalam format real time.
Sebelumnya lokasi ini tak begitu digubris banyak kalangan, karena hanya merupakan tempat bagi anak bangsa tuk menimba ilmu. Kampus ini mulai dilirik, terutama oleh komunitas blogger, karena disanalah akan terjadi dialog terbuka antara Riyogarta (perwakilan komunitas blogger) dengan Roy Suryo --kata(nya)pakar telematika-- yang sempat memberi komentar miring terhadap perkembangan komunitas blogger.
Perseteruan ini mencuat beberapa minggu terakhir, akibat komentar Roy Suryo di beberapa media massa, berujung dengan tawaran dialog terbuka oleh Riyogarta yang merasa komunitas blogger telah dilecehkan dengan pemberitaan yang menyebut; mereka setara dengan hacker, blogger adalah tukang tipu, stigma blogger negatif dan lain sebagainya. Belakangan diketahui, Roy Suryo menerima tantangan tersebut.
Sebelum acara ini digelar, banyak kalangan yang mengkhawatirkan jalannya dialog. Pasalnya, kemarahan komunitas blogger begitu memuncak dengan pemberitaan itu. Akhirnya, untuk menjembatani semua aspek, kata-kata “dialog terbuka’ dipilih menggantikan “debat terbuka”, yang dianggap bisa menimbulkan bias. Selain itu, tema yang diangkat pun menjadi “Membuat Blogger Positif Untuk Indonesia” bukannya “isu seputar blogger terkait dengan statemen-statemennya (baca: Roy Suryo) yang telah dikeluarkannya di media massa”. Sepertinya ini adalah win-win solution dari kedua belah pihak.
Background Masalah
Polemik ini muncul akibat komentar Roy Suryo yang dilansir beberapa media, sehubungan dengan disahkannya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) oleh DPR pada Selasa, 25 Maret 2008 lalu. Dengan diberlakukannya UU itu, maka semua situs yang berbau pornogarfi dan pornoaksi akan di blokir. Menanggapi hal itu, saat dimintai keterangan (seperti dikutip dari situs berita antara.co.id), ia menyatakan: “... akan ada kemungkinan ada perlawanan dari para ’blogger’ dan ’hacker’ yang biasanya akan mengganggu sistem pemblokiran tersebut.”
Soal nama 'Roy Suryo' dicatut beberapa blogger, Roy mengaku tidak mempermasalahkannya. "Anggap saja blog seperti orang membuang sampah. Saya capek melayani orang kayak gitu. Itulah yang tidak saya sukai dari blog. Blog tidak bertanggung jawab, bahkan blogger itu tukang tipu," tandasnya. (detikINETSelasa, 26/02/2008)
Belakangan, wajah mirip Roy Suryo marak muncul di situs-situs internet di Indonesia yang disusupi dedemit maya. Roy mengklaim pelakunya adalah kelompok blogger dan hacker yang selalu bertindak negatif. (detikINET, Selasa, 01/04/2008).
Tak berhenti sampai disitu, Roy juga menyebutkan bahwa blogger sama dengan hacker, yang berlindung di balik suatu webblog dalam melancarkan aksinya, seperti saat difacing (baca: perubahan tampilan) terjadi pada beberapa situs penting --situs Depkominfo, Partai Golkar dan beberapa bank-- beberapa waktu lalu.
Lalu, Roy Suryo kembali berkomentar perihal siapa dalang di balik semua ini. “Siapa 'mereka' yang dimaksud Roy? "Kelompok blogger dan hacker yang selalu bertindak negatif adalah pelakunya. Hal ini membuktikan, yang namanya blogger dan hacker Indonesia belum bisa mencerminkan citra positif," tegas Roy kepada detikINET, Kamis (27/3/2008)”.
Bahkan, lebih jauh, Roy Suryo juga sempat mengatakan bahwa “hal ini membuktikan, yang namanya blogger dan hacker Indonesia belum bisa mencerminkan citra positif.”
Komentar-komentar diatas hanyalah sedikit testimony Roy Suryo yang berhasil saya kumpulkan, sehubungan dengan maraknya penolakan komunitas blogger terhadap komentar tersebut. Komunitas blogger menganggap bahwa Roy Suryo tidak memahami esensi dasar mengapa banyak kalangan membuat blog, sebagai tempat kumpulan ide ataupun sekedar ruang menyalurkan uneg-uneg.
Menyalahkan Wartawan
Saat kami tiba, Roy Suryo tengah sibuk memaparkan pandangan yang dianggapnya benar. Menggunakan pengeras suara ia mulai menghipnotis peserta dengan kemampuan verbalnya dalam berkomunikasi. Sekeliling pun tampak hening menyimak setiap uraian yang disampaikan.
Pada seorang peserta wanita yang kebetulan duduk disampingku, aku bertanya perihal sudah sejauh mana arah dialog yang terjadi. Ternyata, sekarang baru memasuki sesi pemaparan oleh Roy Suryo, demikian ujarnya. Pantasan, kami tak sempat menikmati pemaparan Riyogarta yang telah selesai sebelum kami datang.
Walau kedatangan kami ketempat itu terlambat hampir 1 jam dari jadwal yang ditentukan (baca; jam 09.00 WIB), tetapi aura perbedaan pendapat kental terasa. Bahkan, kebanyakan pertanyaan peserta lebih memihak komunitas blogger, ketimbang pada Roy Suryo yang lebih banyak senyum sembari mengelak dan bersifat defense dalam mempertahankan argumennya.
Dari sekian banyak pertanyaan, hanya beberapa saja yang berhasil kuingat dengan baik. Diantaranya, saat ditanya, mengapa ia memberi komentar yang mengatakan bahwa blogger sama dengan hacker. Padahal blogger dan hacker adalah dua hal yang berbeda.
Dalam kesempatan wawancara selesai acara, Roy membantah telah memberi keterangan seperti itu. “... jelas beda! Saya tidak pernah mengatakan blogger sama dengan hacker! Ya..., mungkin karena penjelasannya panjang dan yang termuat hanya sedikit, jadinya seperti itu. Miss – miss (baca: kekeliruan) seperti ini, saya pikir lumrah dan sah-sah saja. Jika konfirmasi langsung, pasti saya akan jelaskan”, ungkapnya.
Di dalam jawabannya, Roy juga mengatakan ada perbedaan antara apa yang ia ucapkan dengan apa yang wartawan tulis. Ini terjadi karena pemilihan ‘angle dan quote’ serta keterbatasan halaman, ketika harus menuliskan semua komentarnya. Hal ini terjadi, lebih karena ingin terlihat menarik untuk dibaca oleh khalayak. Akibatnya, ia menganggap wartawan telah memelintir omongannya.
Roy tetap bersikeras, karena menurutnya ia memiliki bukti keras yang bisa digunakan sebagai pegangan, bahwa apa yang ia katakan adalah benar. “saya masih simpan bukti rekamannya, kok!”, ujarnya bersemangat. Namun sayang, dalam kesempatan ini, ia tidak menunjukkan bukti rekaman suara tersebut, selain tentu karena tak ada peserta yang menanyakannya.
Lebih jauh, Roy menganggap bahwa itu adalah hak wartawan untuk menulis sesuai dengan keinginan mereka. Dengan begitu ia menganggap akan lebih demokratis. Padahal, jika Roy keberatan dengan pemberitaan media massa, ia berhak melakukan protes. Itulah gunanya, hak jawab. Namun, lagi-lagi, Roy tidak menggunakan hak tersebut.
Mengenai pemelintiran berita yang dituduhkannya, tentunya agak sukar diterima, ketika hampir semua media memuat komentarnya yang mengatakan blogger sama dengan hacker. Apakah, memang ada skenario media untuk menjatuhkan Roy dengan komentar-komentarnya. Rasanya, terlalu jauh.
Klarifikasi urung dilakukan
Dari semua sesi pada acara hari itu (jumat, 11 April 2008), statement yang paling ditunggu-tunggu adalah klarifikasi atau penarikan kembali ucapan Roy Suryo yang mengatakan bahwa blogger sama dengan hacker.
Tetapi, ketika pertanyaan itu dilayangkan langsung oleh Riyogarta sendiri, Roy Suryo yang terlihat menguasaai keadaan, tetap memilih berdealektika dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan seperti itu.
Itu yang membuat Riyo –-panggilan Riyogarta-- yang sehari-harinya bertugas sebagai seorang Independent IT Consultan, merasa tidak puas dengan kemajuan yang dicapai pada hari itu.
“saya betul-betul gak puas, harusnya ia mengklarifikasi omongannya itu” ungkap Riyo ketika saya mewawancarainya.
Menurut Riyo, harusnya Roy tidak bisa menyamaratakan antara hacker dengan blogger. Jika blogger adalah orang-orang yang memilih blog sebagai media komunikasinya, berbeda dengan hacker, yang masuk tanpa permisi ke sistem pertahanan sebuah situs yang terhubung secara online. Jika ia (baca: hacker) melakukan perubahan pada sistem tersebut, baik dengan mencuri, merusak ataupun merubah sesuatu yang telah tersusun rapi, maka gelarnya berubah menjadi “Cracker”. Cracker ini lah yang sempat meresahkan ketika defacing terjadi pada beberapa situs penting tersebut.
Walau begitu, tak tertutup kemungkinan, mereka-mereka yang berlaku sebagai hacker ataupun cracker, mungkin saja memiliki blog pribadi, yang biasa disebut ‘weblog’. Namun, pemilik blog yang dikenal sebagai blogger, belum tentu semuanya hacker. Apalagi banyak blog yang bisa digunakan, disediakan gratis oleh provider di internet, seperti; Blogger, Friendster, Multiply, Wordpress dan lain sebagainya. Sedangkan menjadi seorang hacker, tentunya dibutuhkan keahlian lebih tinggi, ketimbang menjadi blogger, yang syaratnya hanya dengan mengisi form register.
Itu sebabnya, Riyo ingin klarifikasi di forum ini. “ ... ya jelas ada keinginan, karena itu benar-benar generalisasi. Coba kalo omongannya lebih halus, dengan menyebut oknum, mungkin itu lebih bisa diterima dan tidak akan bermasalah seperti ini”, imbuhnya kemudian.
Pemberian Blog Gratis
Dialog terbuka yang sempat molor dari waktu yang ditentukan panitia, ternyata selalu membuka ruang bertanya perihal jarangnya kita menemui tulisan-tulisan Roy Suryo di dunia maya. Kemampuan Roy berkomunikasi secara lisan, dianggap jadi pembenaran, mengapa ia jarang menuangkan ide-idenya lewat tulisan. Padahal, lewat tulisan, kita bisa memahami ide-ide penulisnya.
Pertanyaan ini mengemuka, sehubungan dengan komentarnya yang banyak di kutip media massa. Ada penanya yang mengatakan, bukankah seorang pakar akan semakin diakui kepakarannya, jika ia menuangkan ide-ide cemerlangnya dalam bentuk tulisan.
Namun dalam hal ini, Roy punya pendapat lain. Menurutnya, ada bermacam cara yang bisa digunakan dalam berkomunikasi. Tidak selalu dengan menggunakan blog atau sejenis itu. Walau tidak menyebutkan secara rinci media komunikasi tersebut, tapi ia tetap tak bisa menunjukkan salah satu karya tulisannya yang bisa diakses orang banyak. Lagi-lagi, ia memilih tersenyum simpul.
Karena itu, dalam kesempatan istimewa ini, Riyogarta melakukan kejutan, yakni dengan memberi sebuah domain blog gratis yang bisa di akses Roy Suryo secara cuma-cuma. Riyo berharap dengan pemberiannya tersebut, Roy Suryo mau menuangkan ide-idenya lewat tulisan di blog gratis tersebut. “dari situ nanti, kita akan baca tulisan-tulisannya” ungkap riyo, sebelum pemberian dilakukan.
Pemberian ini tentu saja di sambut dengan tepuk tangan yang meriah oleh semua peserta dialog. Selanjutnya, Abimanyu yang kebetulan sebagai moderator, mempersilahkan Roy Suryo untuk maju, menerima pemberian tersebut. Kesempatan ini pun dimanfaatkan para juru foto untuk mendokumentasikannya.
Adapun pemberian blog gratis tersebut beralamat di http://roy.suryo.info. Meski demikian terlihat tidak adanya keinginan untuk nge-blog dari Roy Suryo. Karena menurutnya, ini adalah soal pilihan. Roy memilih untuk tidak ngeblog dan memiliki cara berkomunikasi sesuai dengan caranya sendiri. Selain itu, dia juga sempat mengklaim bahwa domain roysuryo.info itu miliknya, tapi belakangan diketahui, ternyata domain tersebut sedang tidak aktif, alias tidak beraktifitas.
Tak Bertitik Temu
Secara keseluruhan, acara pada hari itu tetap saja tak bertitik temua antara kedua belah pihak yang berseteru. Riyogarta yang mengharapkan adanya klarifikasi pada momen ini, tak mendapat apa yang diinginkan. Sementara, Roy Suryo lebih bersifat defense dengan semua pertanyaan yang diajukan padanya.
Pada kesempatan ini, Roy malah mengajak semua rekan-rekan blogger agar bertindak dan berlaku sebagai blogger positif, yang bisa memberi arti bagi bangsa ini. Menurutnya, sudah saatnya komunitas blogger melakukan tindakan nyata yang lebih bermanfaat, ketimbang hanya ngobrol di dunia maya ataupun bertemu alias kopi darat diantara sesama komunitas.
Dia bahkan menambahkan, jika saja komunitas blogger bisa membantu masyarakat, seperti yang dilakukan komunitas motor gede ataupun klub mobil, dengan aksi-aksi sosialnya, tentu sangat bermanfaat.
Hanya saja, pelebelan yang diberikannya, membuat sebagian kalangan blogger menjadi resah. Sebab, pembagian antara blogger negatif dan positif, belum pernah ada dan tak dikenal sebelumnya. Belum lagi, pernyataannya di media massa yang menyatakan bahwa perbuatan hacking itu dilakukan oleh blogger negatif, membuat banyak kalangan menganggap kegiatan membuat dan mengisi blog adalah kegiatan yang negatif.
Bahkan di awal sesi tanya jawab, salah seorang penanya yang kebetulan seorang dosen kriminolog, menanyakan keabsahan komentar tersebut. Menurutnya, akibat pemberitaan itu, banyak kalangan yang menganggap bahwa memiliki blog adalah perbuatan negatif. Ini pula yang membuat banyak orang (non blogger) enggan nge-blog karena stigma negatif yang mengikutinya.
Kendati masing masing pihak berpegang pada pendapatnya, Abimanyu –-sang moderator-- ternyata tak kurang akal untuk menyimpulkan dialog pada hari itu. Menurut catatannya, ada beberapa poin penting yang bisa diambil sebagai pelajaran penting. Salah satunya, mengenai pilihan dalam berkomunikasi. Era keterbukaan seperti sekarang ini, membuat orang bebas memilih cara berkomunikasi yang cocok dengan dirinya. Bisa jadi, dimasa depan akan muncul media komunikasi baru
Selain itu, untuk kedepannya para blogger harus bertanggungjawab dengan memberi batasan, perihal hal-hal yang layak dipublikasi dan mana yang tidak. Ini menjadi perlu agar tidak terjadi stigma blogger negatif tadi. Sebab, nge-blog merupakan kebebasan berekspresi, namun, bukan berarti bebas berbuat seenaknya.
Walau tak bertitik temu, yang penting digarisbawahi adalah rasa toleransi dan rasa saling menghargai begitu nyata di forum ini. Prediksi awal, yang mengatakan bahwa kegiatan ini menjadi ajang pembantaian, ternyata tak terbukti. Kedua belah pihak tetap menghargai pendapat masing-masing dalam rasa persaudaraan. Setidaknya ini bisa disaksikan saat acara selesai, ketika sesi foto bersama, sholat jumat bersama hingga makan siang bersama di ruang rektorat. Mungkin inilah indahnya demokrasi. Berbeda pendapat tapi saling menghargai.
(photo courtasy by: Oji-oji)
Saturday, March 29, 2008
Hak Pekerja (Pers) untuk Berserikat
Pentingnya pembentukan Serikat Pekerja (Pers) di kalangan buruh/karyawan (pers) seringkali datang terlambat. Adanya larangan berserikat, ketidaktahuan dan ketidakpedulian buruh/karyawan (pers) menjadi alasan, mengapa pendirian serikat pekerja seakan berada di titik nol.
Bagi ribuan karyawan di perusahaan media tempatku bergabung, mungkin hanya segelintir orang saja yang punya kepedulian terhadap pembentukan serikat pekerja. Selebihnya lebih memilih diam atau pura-pura tutup kuping dengan aneka permasalahan yang kerap mendera. Padahal, jika mereka sadar, pembentukan serikat pekerja (pers) dapat menyelesaikan kendala yang acap timbul antara buruh/karyawan (pers) dengan manajemen perusahaan.
Anehnya, adanya larangan berserikat yang dikeluarkan oleh pihak manajemen --secara tulisan maupun lisan-- dengan ancaman PHK dan sebagainya, turut andil memaksa para buruh/ karyawan lebih memilih jalur aman, ketimbang bersatu dengan berserikat dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul. Jamak terjadi, setiap ada permasalahan, buruh/karyawan menjadi pihak yang dirugikan. Pasalnya, bargaining –-posisi tawar-- yang dimilikinya sangat lemah. Paling-paling ia akan memilih cara ‘mengundurkan diri’ dengan tidak mendapat kompensasi apapun, akibat ketidaktahuan dan takut berselisih dengan perusahaan. Padahal ada aturan --dalam bentuk UU-- yang berpihak pada buruh/pekerja (pers).
Sejatinya, serikat pekerja ataupun serikat buruh adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk pekerja/buruh. Pemakaian istilah buruh/karyawan, mengacu pada setiap orang yang bekerja pada orang lain untuk memperoleh upah atau bentuk penghasilan yang lain.
Dari kasus-kasus selama ini, harus diakui bahwa serikat pekerja (pers) masih belum populer di kalangan buruh/ karyawan (pers). Banyaknya buruh/karyawan yang belum sepaham turut andil menjadi penghalang bagi karyawan itu sendiri. Sebagai cotoh, hingga kini, perdebatan perihal pekerjaan wartawan itu buruh atau bukan, masih menyisakan tanya. Ada pihak yang beranggapan, bahwa wartawan itu adalah seorang profesional yang berbeda dengan pekerja pabrik. Padahal jika mengacu pada istilah buruh/ karyawan yang memperoleh upah dari orang lain, pekerjaan wartawan tentunya masuk dalam kategori buruh. Akibatnya, jika banyak wartawan/ jurnalis tidak menyadari dan tidak mengakui dirinya sebagai buruh, maka hak dirinya ketika terjadi PHK atau hak normatif lainnya, mau tidak mau harus direlakan hilang. Padahal jika mengacu pada undang-undang, ada banyak hal yang diatur, sehingga buruh tidak merugi.
Alasan jurnalis sebagai profesional mungkin bisa diterima, jika ada undang-undang khusus yang mengatur pekerja pers melalui standar-standar tertentu, baik skill maupun pengupahan yang diatur dalam aturan tersendiri. Sedangkan saat ini, belum ada legimitasi untuk standar wartawan sebagai profesional seperti layaknya dokter, lawyer ataupun pilot. Oleh karena itu, mau tidak mau, wartawan juga buruh. Buruh/ karyawan di berbagai sektor termasuk pekerja media mempunyai hak yang sama, baik sebagai pekerja ataupun sebagai anggota serikat pekerja, sebagaimana diatur dalam UU no.13/2003 tentang ketenagakerjaan maupun UU no. 21/2000 tentang Serikat Pekerja. Khusus untuk serikat pekerja harus dipahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya, terutama bagi mereka yang menjadi jurnalis sekaligus sebagai pengurus serikat pekerja.
Dasar Hukum, Sifat dan Tujuan Serikat Pekerja (Pers)
Pendirian serikat pekerja memiliki dasar hukum yang tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 45, dimana serikat pekerja harus bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Hal ini telah diatur dengan jelas pada UU no.21/2000 tentang Serikat Pekerja. Sedang fungsi serikat pekerja (pers) mencakup pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), penyelesaian perselisihan industrial, mewakili pekerja di dewan atau lembaga yang terkait dengan urusan perburuhan, serta membela hak dan kepentingan anggota.
Undang-undang ini mengatur tentang tingkatan organisasi serikat, yakni; serikat pekerja buruh (pers); federasi serikat; konfederasi serikat. Pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat. Sebagaimana diatur, serikat pekerja harus memiliki anggota minimal 10 orang (pasal 5 UU. No. 21/ 2000)
Pengaturan serikat harus meliputi berbagai ketentuan, antara lain: nama dan simbol; dasar hukum dan tujuan; tanggal pembentukan; alamat sekretariat; keanggotaan dan administrasi; sumber pendanaan dan pertanggungjawaban; serta ketentuan tentang perubahan peraturan ini.
Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja (Pers)
Secara umum Serikat Pekerja adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk pekerja di dalam dan di luar perusahaan, milik negara atau pribadi, yang bersifat tidak terikat, terbuka, independen dan demokratis serta dapat dipertanggungjawabkan untuk memperjuangkan, membela dan melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, maupun untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Berdasarkan bentuknya, serikat pekerja terdiri dari 2, yakni: serikat di dalam perusahaan, didirikan oleh pekerja satu perusahaan atau lebih. Sedangkan serikat di luar perusahaan, dibentuk oleh pekerja yang tidak dipekerjakan di dalam perusahaan. Istilah tidak dipekerjakan di dalam perusahaan mengacu pada pekerja mandiri, misalnya pengemudi angkutan minibus, mikrolet, bajaj atau angkutan lainnya.
Hak dan kewajiban serikat pekerja yang sudah memiliki nomor pendaftaran berhak melakukan perundingan PKB dengan pihak manajemen, mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial di dewan dan lembaga perburuhan dan mengadakan kegiatan perburuhan selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum (pasal 21).
Serikat pekerja wajib melindungi anggota dari pelanggaran terhadap hak-haknya, meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarga, serta menjalankan tugas sesuai peraturan. Ia dapat bergabung dan/atau bekerjasama dengan serikat buruh internasional dan organisasi internasional lainnya, selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum nasional.
Serikat Pekerja Mewakili Kepentingan Pengusaha
Pekerja yang mewakili kepentingan pengusaha tidak dapat menjadi bagian dari pengurus serikat, sebab akan menimbulkan konflik kepentingan. Posisi serikat dan pengusaha dalam merundingkan PKB adalah berbeda. Contoh pekerja yang mewakili pengusaha adalah direktur atau menejer bagian personalia atau akuntan. Hal ini berlaku di semua serikat pekerja termasuk pekerja pers guna menghindari kepentingan yang merugikan pihak lain/ pekerja.
Bagi pengusaha juga harus memahami kewajiban mereka untuk tidak ikut campur dalam pembentukan atau pengoperasian serikat, ataupun melakukan tindakan deskriminisi terhadap anggota dan pengurus serikat.
Dalam aplikasinya, seringkali terjadi modus penghambatan pekerja pers dalam berserikat, dengan cara PHK, skorsing sementara, menurunkan peringkat atau pemindahan, gaji tidak dibayar atau dikurangi, atau tindakan intimidasi dalam bentuk apapun.
Selain itu, kerap terjadi adanya penyusup dari pihak manajemen di tubuh serikat pekerja. Hal ini terjadi karena kurang selektifnya pengurus dalam melakukan screening terhadap orang-orang yang ingin bergabung dengan serikat pekerja. Akibatnya, mereka akan memata-matai dan menggembosi serikat pekerja itu sendiri. Untuk itu, perlu kewaspadaan.
Sedangkan legitimasi organisasi ditentukan oleh anggotanya, bukan campur tangan pengusaha. Dengan demikian, tidak diperlukan dokumen legitimasi dari badan pendaftaran ataupun surat pengesahan perusahaan. Nomor pendaftaran dari Disnaker diberikan hanya sebagai basis data untuk penghitungan jumlah organisasi serikat pekerja.
Karena pembagian waktu antara kegiatan serikat pekerja dengan waktu bekerja seringkali bertabrakan, sebaiknya harus dibuat kesepakatan kerja bersama untuk melangsungkan kegiatan tersebut. Tujuannya, untuk menghindari perbedaan penafsiran antara pekerja dengan pengusaha tentang kegiatan yang diijinkan selama jam kerja, sehingga perselisihan dapat dicegah.
Fungsi Serikat Pekerja Pers
Setelah semua yang berhubungan dengan serikat pekerja, khususnya pekerja pers diketahui, menjadi penting menyimak fungsi utamanya, sebagai berikut:
1. Menyusun PKB atau dokumen penyelesaian perselisihan.
2. Mewakili pekerja dalam forum kerjasama ketenagakerjaan manapun.
3. Menjadi fasilitator hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan adil.
4. Sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasi dalam membela hak dan kepentingan anggotanya.
5. Melakukan perencanaan, pelaksana dan bertanggungjawab selam berlangsungnya pemogokan, sesuai ketentuan hukum.
6. Mewakili pekerja dalam membela hak kepentingan bersama dalam perusahaan.
Selain itu, fungsi dan pembelaan di depan pengadilan secara tegas diatur dalam UU no.2/2004 tentang PPHI (pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial), pasal 87, berbunyi: “ Serikat Pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya”. Untuk mempersiapkan menjadi kuasa hukum anggotanya, khusus bagi pengurus serikat pekerja pers sedini mungkin mempersiapkan teknik pendampingan di pengadilan dan dikembangkan pada anggotanya agar bisa mendampingi dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, ketika kita sebagai buruh/ pekerja (pers) telah mengetahui hak dan kewajiban beserta manfaat pendirian serikat pekerja, tak ada salahnya segera membentuk organisasi serikat pekerja di lingkungan kerja masing-masing. Jika masih ragu, meminta bimbingan dari serikat pekerja yang lebih mapan menjadi salah satu cara ampuh untuk mengejar ketertinggalan. Pasalnya, hanya buruh yang mengerti permasalahan dan kebutuhan kaum buruh, bukan orang lain, apalagi pengusaha.
Thursday, March 06, 2008
Bertindak dalam Ketidakadilan dan Mengucap Syukur
Jumat malam lalu(28-02-08), saya mengalami hal yang sedikit berbeda, setidaknya menurut pengamatanku selama ini. Pengalaman yang membuatku tak kan bisa lupa hingga tua nanti. Peristiwa ini bermula pada tanggal 27 Februari lalu, ketika untuk kesekian kalinya, kantor memberikan surat keterangan perihal kenaikan gaji karyawannya.
Tak berbeda dengan rakan-rekan lain, saya pun menunggu dalam antrian panjang, demi mendapatkan selembar kertas yang kata(nya) rahasia, berisi keterangan besaran gaji untuk setahun ke depan. Rasanya cukup lama juga saya antri di lorong yang menghubungkan antara pintu masuk dengan ruangan Kadiv (kepala divisi) yang letaknya berseberangan dengan meja sekret, tempat pembagian surat tadi berada.
Momen-momen seperti ini emang terbilang langka, apalagi antriannya terlihat panjang. Ntah mengapa, tiba-tiba saja terbersit asa mendokumentasikan kejadian tersebut dengan kamera HP beresolusi 2 MP yang senantiasa terselip di saku. Akhirnya dengan sedikit kerja keras, jadilah beberapa momen ajaib itu terjepret sempurna. Rencananya, Ntar, jika ada waktu, foto-foto itu akan ku publish lewat blog, biar semua orang bisa melihat keriuhan yang terjadi.
Puas dengan acara jepret-jepret, kembali aku masuk ke barisan. Kali ini, antriannya tak seramai 10 menit lalu. Ternyata telah banyak teman-teman yang mendapatkan surat ajaib itu. Sedetik berlalu, aku pun berhasil mendapatkannya.
Tanpa pikir panjang, secepat kilat ku sobek amplop pembungkusnya. Namun sebelumnya, aku lihat sekeliling, takut jika ada yang melihat aksi nekat ini. Pasalnya, aku membukanya di hadapan teman-teman yang masih antri.
Dari celah lipatan itu dapat kulihat dengan jelas angkanya. Sebuah angka yang membuat aku terperanjat. Bukan karena nilainya yang besar, tetapi karena besarannya yang jauh dari harapan. Tapi apapun itu aku harus bersyukur, setidaknya itu pesan orangtuaku dulu.
Dua Hal Berbeda
Sejurus berlalu, aku masih bingung dengan kenaikan gaji kali ini. Apalagi, saat bertemu “anto”, teman sekantor yang masuknya setelah aku. Dari ungkapannya tergambar jelas ketidakpuasan.
“masa aku cuma naiknya sedikit, sih?” kilahnya
“...tapi, masih masih diatas ****, kan? Tanyaku.
“ya, sih! Tapi kenaikannya gak signifikan” jawabnya menimpali.
Puas ngobrol dengan anto, aku pun bergegas ke kantin -–LG--. Sepertinya, di sana lah unek-unek ini akan ditumpahkan. Apalagi di salah satu meja telah hadir beberapa orang rekan yang kebanyakan anak-anak baru (baca: batch VII). Budi –-teman se program-- yang rencananya ingin ngobrol juga, ternyata tak juga nongol. Akhirnya aku pun bergabung dengan mereka.
Beberapa saat kemudian, setelah memesan menu makan malam, Budi akhirnya tiba dengan wajah yang lebih cerah.
“gimana bud? Kayaknya ceria banget!” tanyaku.
“ya... lumayanlah, ada kenaikan!” sahutnya
“Kalo lu sendiri, gimana?” tanyanya
“wah.., kayaknya jauh dari harapan, nih!” jawabku dalam hembusan nafas panjang.
“emang kenapa?” tanyanya lagi.
“masa aku dapatnya segini,” tandasku sembari menunjukkan surat yang kata(nya) bersifat rahasia itu.
“Kok bisa segitu, ya? Padahal elu kan lebih senior dari gua! Masa besarannya sama dengan gua, sih? Gua pikir elu dapatnya segini (sembari menunjukkan simbol angka dengan jemarinya)?” sahutnya dengan ekpresi bingung.
“nah.., itu dia yang aku tanyakan. Apa gua terlalu tolol, ya?” ungkapku
Dari pembicaraan itu, terlihat bagaimana budi pun merasa aneh dengan kenaikan gajiku. Apalagi ketika kami tahu, kenaikan itu tak beda jauh dengan karyawan yang baru bergabung setahun – dua tahun di perusahaan ini. Paling-paling bedanya hanya seratus hingga dua ratus ribu rupiah saja. “dasar edan!” pikirku.
Dari peristiwa ini ada dua pelajaran penting yang mesti digarisbawahi. Pertama, tentu saja mengucap syukur. Mengucap syukur, merupakan ungkapan kata yang telah kuketahui sejak kecil. Dalam semua keadaan, agama menganjurkan kita mengucap syukur. Kata-kata itu ibarat kompas yang membuat kita kembali berpijak di tempat yang sebenarnya, saat melakukan orientasi agar tak hilang arah. Kata-kata itu juga telah menjadi semacam penentu, dalam menentukan jarak pandang yang lebih aman, sehingga semuanya terlihat lebih jelas. Kata-kata itu pun memampukan kita melihat ke atas atau ke bawah, sejauh mata sanggup memandang.
Namun, kesadaran akan adanya ketidakberesan, membuatku mempertanyakan kondisi yang terjadi. Apakah cukup hanya dengan mengucap syukur?
Sepertinya pertanyaan itu terdengar klise. Bahkan banyak orang akan menilaiku berlebihan jika melakukan protes. Sedikitnya mereka akan berkata: “Sudahlah buat apa di pertanyakan lagi! Toh, kamu juga sudah mendapat kenaikan. Bayangkan kalo kamu tidak naik gaji sama sekali, seperti yang dialami seorang teman”.
Ungkapan itu tentu saja benar! Tapi, apakah pantas jika saya mendapatkan kenaikan yang relatif kecil jika di banding dengan rekan-rekan yang lama bekerjanya sama dengan saya, bahkan jauh di bawah. Apalagi, ketika mereka tahu tahu kenaikan saya sangat tidak signifikan. “kok bisa gitu, ya?” ujar mereka.
Melihat ketidakadilan ini, hanya tersisa satu cara, yakni mempertanyakan langsung ke pimpinan. Apalagi pimpinan membuka pintu jika ada teman-teman yang merasa keberatan. Dan.. inilah cara saya untuk melawan, menuntut hak yang sepatutnya.
Mengucap syukur dan menuntut keadilan, tentunya dua hal yang berlainan. Selintas terlihat sama, namun maknanya jauh berbeda. Karena itulah aku akan tetap berjuang, nenuntut keadilan. Walau pada akhirnya harus kalah, setidaknya aku sudah melawan, sekuat-kuatnya, se hormat-hormatnya.
Datangnya Jawaban
Esoknya, masih dalam antrian, aku pun harus menunggu untuk bisa mengutarakan maksud hati pada sang pimpinan. Pasalnya, dalam urusan protes pun masih banyak teman-teman yang merasa tidak puas, berbuntut pada antrian panjang. Kalo gak salah aku mendapat nomor urut delapan dalam sesi kedua antrian malam itu.
Cukup lama juga aku menanti, sebelum di bolehkan masuk. Untaian kata yang telah kupersiapkan sejak tadi sepertinya raib ntah kemana. Bisa jadi, karena rasa jenuh akibat menunggu dan mencoba merapalkan dalam hati, kalimat-kalimat apa yang harus ku pilih, saat bertatapan nanti.
Akhirnya, waktu itu pun tiba. Dengan terbata-bata dan penuh kehati-hatian, aku mulai menceritakan maksud kedatanganku. Sebenarnya poin intinya hanya dua, yakni, mengapa kenaikan gajiku jauh dari harapan padahal penilaianku sangat baik, dan mengapa kisaran gaji antara junior dan senior yang di beritahukan tempo hari tak sesuai kenyataan.
Namun, sebelum memulainya, aku menggunakan metode kuno yang sanggup mendekatkan jarak, demikian menurut analisaku. Metode yang membuat lawan bicara akan simpati, bukannya defense or nyerang balik dengan omongan kita. Jika banyak teman-teman sebelum aku menggunakan cara yang relatif frontal dan terkesan keras, aku malah memilih menggunakan kelemahlembutan.
“Mas, aku ingin cerita, bahwa sebenarnya aku hanya seorang diri di belantara Jakarta ini. Tak punya sanak saudara sama sekali!” ujarku sebagai pembuka pembicaraan kami malam itu.
“Tapi, aku masih punya satu orang saudara yang kuanggap orang tua, mas, yaitu mas sendiri!” lanjutku.
Melihat itu, wajahnya langsung berubah. Ada ekspresi kesedihan disana. Bibir dan matanya yang tadi terlihat keras, tiba-tiba mendadak layu. “Aku juga mengalami hal yang sama dulu. Gak punya siapa-siapa.” Jawabnya. “Aku pun mengerti perasaanmu! Lagian kamu sudah aku anggap anak, seperti rekan-rekanmu yang lain. Semua kalian anak-anakku.” Ungkapnya kemudian dalam desahan nafas yang terasa berat.
Mendapat jawaban itu, aku gak bisa berbuat banyak. Hanya pasrah saja. Hingga akhirnya keluar dari ruangan yang baru kuinjak untuk pertama kalinya dalam dekapan sang pimpinan, aku bisa bernafas lega.
Bukan lega, karena adanya perubahan dalam besaran gaji, tapi lega karena berhasil mengeluarkan unek-unek yang mengganjal sejak kemarin malam. Walau tak merubah keadaan, sepertinya penjelasan tadi membuat aku mengerti beban yang dialaminya. Menurutnya, 80% anggaran perusahaan tersedot untuk menaikkan gaji anak-anak baru yang jauh dari standar. Bisa jadi aku hanya korban dari dampak tersebut. Selain itu, dengan jujur ia pun mengakui, bahwa kisaran angka yang sempat di setujui dalam raker tahunan tempo lalu belum bisa dilaksanakan, karena besarnya nilai yang harus dikeluarkan untuk menaikkan gaji anak-anak baru itu. “Mungkin tahun depan,” kilahnya.
Malam itu, aku hanya bisa tersenyum dalam diam! Semoga hanya aku yang mengalami kesialan seperti ini. Apakah ini konsekwensi yang harus kujalani karena sikap kritisku selama ini? Ah..., sungguh aku gak tahu! Yang pasti aku harus tegar!
Sedetik kemudian, aku harus berkutat dengan loading alat yang akan kami gunakan untuk kerja besok. Malam ini kami harus menuju Bandung.
Kejadian Unik
Pada pukul 11 siang, saat sedang bekerja di sudut kota Bandung, sebuah panggilan masuk menggugah akal sehatku. Ternyata diujung sana, sang pimpinan mengundangku bertemu 4 mata, jika pekerjaan kelar. “ada apa lagi, nih?” gumanku
lirih. Bisa jadi karena akses pembicaraan kemarin malam. Sesuai arahannya, begitu sampai di kantor, saya harus menemuinya di ruangannya.
Hingga akhirnya, kegiatan bekerja seharian itu kelar, aku masih bertanya-tanya. “jangan-jangan, ada apa-apa, neh!”
Tapi, teman-teman menanggapinya dengan pikiran lain. “Udah datang aja, mana tahu gaji lu berubah!” demikian ungkap mereka.
Akhirnya aku dan teman-teman kembali lagi ke Jakarta saat malam makin larut. Ternyata sang pimpinan masih setia menunggu di ruangannya. Saat itu ia sedang menonton tivi, ketika ku ketuk pintunya yang sedikit terbuka.
“maaf mas, aku baru kembali dari Bandung” ujarku.
“gimana pekerjaanmu, lancar?” tanyanya.
Demikanlah pertanyaan basa-basi itu, menjadi pembuka perbincangan kami yang kedua kalinya. Dia akhirnya tahu dan gak menyangka sama sekali, bahwa saya belum pulang ke rumah karena harus berangkat ke Bandung untuk bekerja. “Berarti kamu belum pulang? Pasti tidurmu juga gak cukup, ya? Tanyanya kembali. “ya begitu lah, mas!” Jawabku.
Kini, lagi-lagi ia merasa sedih dengah keberadaankua. Dari raut wajahnya yang kian bersimpati, seakan ia berkata: “Gila, udah gaji kecil, kerjaaanya juga gak tanggung-tanggung! Udah itu harus ninggalin anak-istri, lagi!”
Puas bertukar pikiran, ia pun berdiri sembari mengeluarkan selembar amplop. Melihat itu, aku gugup dan ikut berdiri.
“ini buat cucuku,” katanya.
Ternyata ia sedih bukan karena diriku yang seorang diri, tapi karena kedua anakku yang harus bertahan hidup di ganasnya Jakarta dengan gaji papanya yang jauh dari standard.
“ah... ngak mas! Aku masih sanggup, kok” seruku menimpali.
“jangan...jangan..., kamu harus terima!” pintanya
“ini untuk kedua cucuku! Terima lah! Kalau kamu tidak terima berarti kamu menghina saya” ungkapnya lagi.
Sesaat kemudian aku hanya terdiam, gak bisa berbuat apa-apa. “kok bisa sejauh ini” tanyaku membathin.
Kalau sudah begini, tak ada cara lain selain menerima pemberian itu. Pemberian pertama dari seorang atasan terhadap bawahan sepertiku. Pemberian tulus seorang atasan yang awalnya sempat ku tolak karena takut akan disalahartikan, telah menjadi penyambung tali silahturahmi kami. Pemberian itu pun akan tetap kuingat sepanjang umurku.
Jujur, aku gak ingin menerima pemberian ini, karena akan berdampak buruk pada independensiku. Aku yang terkenal radikal dan cenderung kiri, merasa lebih senang dikenal miskin ketimbang menerima uang yang bukan hakku. Aku takut, kedekatan ini akan membuatku kompromi dengan mereka-mereka yang dulunya sempat ku cap oportunis sejati dan tak punya hati.
Haruskah aku berubah karena itu? Jawabnya, tidak! Bagiku idealisme tetaplah sebuah idealisme yang harus di junjung tinggi. Bukan berarti ketika dekat dengannya, aku tak bisa kritis lagi. Tidak, tidak seperti itu. Aku akan terus teriak saat melihat ketidakadilan, even itu dialami oleh orang lain. Karena itulah jati diriku yang sebenarnya. Pasalnya, ketika kita meninggalkannya, berarti kita sudah mendustai kata hati. Terserah apakah mereka (baca: teman-teman) akan melakukannya atau tidak? Aku tetap tak bergeming untuk teriak.
Hanya saja, dari pertemuan singkat itu, ada pelajaran penting yang menarik untuk di simak. Pelajaran yang sanggup menggugah hati seorang pimpinan, ketika tahu anak buahnya menerima ketidakadilan. Siapa yang menyangka, kalau sang pimpinan mengerti kesulitanku. Rasanya tak ada yang tahu! Sepertinya tak gampang mendapatkan pimpinan seperti dia. Semoga ia dikaruniai kesehatan dan umur panjang. Amin!
Thursday, February 07, 2008
Tahun Baru Imlek Setara Dengan Thanksgiving Day
Tak banyak orang yang tahu, kalau Tahun Baru Imlek bukan merupakan hari raya agama, seperti Idul Fitri ataupun Natal. Perayaan yang setiap tahunnya diperingati oleh semua etnis Tionghoa di seluruh dunia, tak lebih dari sekedar perayaan ucapan syukur, seperti Thanksgiving Day di Amerika.
Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya Tionghoa tradisional, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender Tionghoa, jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin (Latin: solstitium => bahasa Inggris: solstice). Namun, jika ada bulan kabisat kesebelas atau kedua belas menuju tahun baru, tahun baru Imlek akan jatuh pada bulan ketiga setelah hari terpendek. Hari raya ini juga dikenal sebagai 春節 Chun1jie2 (Festival Musim Semi), 農曆新年 Nong2li4 Xin1nián (Tahun Baru), atau 過年 Guo4nián.
Imlek dirayakan di seluruh dunia, termasuk di Pecinan di berbagai negara, dan merupakan hari raya terpenting bagi bangsa Tionghoa, dan banyak bangsa Asia Timur seperti bangsa Korea dan Vietnam (Tết) yang memiliki hari raya yang jatuh pada hari yang sama. Sekitar masa tahun baru orang-orang memberi selamat satu sama lain dengan kalimat: Aksara Tionghoa Sederhana: 恭喜发财 - Aksara Tionghoa Tradisional: 恭喜發財 = "selamat dan semoga banyak rejeki", dibaca: "Gōngxǐ fācái" (bahasa Mandarin), "Kung hei fat choi" (bahasa Kantonis), "Kiong hi huat cai" (bahasa Hokkien).
Tahun Baru Imlek di Indonesia
Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Alm. Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur) dan Hari Raya Imlek.
Oleh sebab itu, pada Hari Raya Imlek anggota keluarga akan mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) le- luhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan ling- wei leluhur untuk bersem- bahyang.
Di Jakarta terdapat banyak Rumah Abu tempat penitipan abu leluhur yang dikremasi atau lingwei dari leluhur yang sudah dimakamkan. Pemujaan terhadap leluhur merupakan salah satu bagian penting dari kebudayaan etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa yang percaya bahwa alam semesta adalah Chi (energi).
Ketika manusia meninggal dunia maka jasadnya turun ke bumi, sedangkan rohnya hidup terus di langit sebagai Chi. Hal ini memungkinkan orang yang masih hidup untuk berhubungan dengan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia melalui pemujaan, ritual, dan upacara.
Angpao
Angpao (Hanzi: 紅包, hanyu pinyin: hong bao) adalah bingkisan dalam amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek.
Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.
Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Namun angpao sebenarnya bukan hanya monopoli perayaan tahun baru Imlek semata karena angpao melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik, sehingga angpao juga ada di dalam beberapa perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain yang bersifat suka cita.
Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak2 menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.
Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.
Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.
Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.
Imlek Bukan Hari Raya Agama
Saat ini masyarakat keturunan Tionghoa merayakan Hari Raya Imlek. Imlek adalah hari raya tahun baru berdasarkan penanggalan Imlek yang dirayakan setiap tanggal 1 bulan pertama kalender Imlek. Maka perayaan Imlek disebut Sin Cia (tahun baru).
Kalender Imlek adalah penanggalan yang menganut perhitungan berdasarkan peredaran bulan (lunar calendar). Tidak seperti kalender masehi (kalender Gregorian) yang berdasarkan peredaran matahari (solar calendar).
Perayaan Imlek juga disebut Chun Cie (pesta musim semi). Hal itu erat kaitannya dengan keadaan musim di Tiongkok, di mana penduduk mengalami perubahan dari musim dingin yang suram dan dingin menjadi musim semi yang cerah dan sejuk, serta penuh dengan kehidupan baru dari flora dan fauna. Maka kedatangan musim semi sangat disyukuri dan dirasakan patut dirayakan dengan penuh sukacita.
Pada Hari Raya Imlek, wihara dan kelenteng penuh sesak oleh orang-orang yang datang untuk sembahyang. Oleh sebab itu, banyak orang yang bukan etnis Tionghoa dan bukan beragama Buddha mengira Imlek adalah hari raya agama Buddha sebab wihara adalah tempat beribadat umat Buddha.
Imlek bukan hari raya agama Buddha. Hari raya agama Buddha adalah Tri Suci Waisak yang memperingati tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir Pangeran Sidharta Gautama, hari Pangeran Sidharta Gautama menjadi Buddha dengan dicapainya penerangan sempurna, dan hari wafatnya Sang Buddha dan masuk Pari Nirwana.
Imlek juga bukan hari raya agama Konghucu. Hari raya agama Konghucu adalah hari lahir Nabi Konghucu, hari wafatnya Nabi Konghucu dan Hari Genta Rohani (Hari Nabi Konghucu meninggalkan jabatan pemerintah dan mengembara ke dalam dunia spiritual).
Hari Raya Imlek adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa, yang dirayakan dari tanggal satu bulan satu Imlek sampai dengan tanggal 15 bulan satu Imlek (Cap Go Me), selama 15 hari.
Etnis Tionghoa merayakan Imlek di wihara dan kelenteng bukan hanya menyembah Buddha, tetapi juga untuk menyembah dewa-dewa dan orang suci untuk menyatakan rasa syukur, berterima kasih, serta memohon perlindungan dan kebaikan bagi keluarganya di tahun-tahun yang akan datang.
Sejak ribuan tahun lalu, di negeri Tiongkok banyak orang sekaligus menganut tiga agama, Buddha, Tao, dan Konghucu, sehingga dapat disebut sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma. Ciri agama orang Tionghoa sampai sekarang masih banyak yang bercorak agama majemuk. Dalam hal kepercayaan, orang Tionghoa umumnya tidak mutlak percaya pada satu agama, melainkan mengambil unsur-unsur tertentu dari berbagai agama masing-masing. Banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang juga menyembah dewa-dewa majemuk.
Prof Kong Yuanzhi, Guru Besar Bahasa dan Kebudayaan Indonesia, Fakultas Studi Ketimuran (Oriental Studies), Universitas Peking, dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia, menyatakan, di Jakarta selama 1650 - 1975, berturut-turut telah dibangun 72 wihara dan kelenteng. Dewa-dewa dan orang suci yang dipajang di dalam 72 wihara dan kelenteng itu seluruhnya berjumlah 115 macam.
Jadi, di wihara atau kelenteng tidak hanya ada patung Buddha, tetapi juga banyak patung lainnya. Antara lain, Kwan Im, Kwan Kong, Konghucu, Toa Pekong, Dewi Langit, Dewi Samudra, Dewa Tanah, dan Delapan Dewa.
Sebagai contoh, di Wihara Dharma Bakti (Kelenteng Kim Tek Yan) yang dibangun sekitar 1650 di Jalan Toa Se Bio, Glodok, Jakarta, dipajang patung-patung: Bodhisatwa Kwan Im, Bodhisatwa Ksitigarbha, Zhao Gongming, Kwan Kong, Dewa Tanah, Dewi Tian Hou, dan lain-lain.
Setara dengan Thanksgiving Day
Perayaan Imlek mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan yang sudah diterima pada tahun yang baru lalu dan permohonan berkat dan pertolongan baik dari Thian (Tuhan), dewa-dewa, maupun leluhur pada tahun yang akan datang.
Di Amerika Serikat diselenggarakan pesta rakyat "Thanksgiving Day" yang dirayakan pada hari Kamis kedua bulan November. "Thanksgiving Day" bermula dari tradisi pesta panen masyarakat pertanian yang sudah dirayakan sejak masa kejayaan Yunani dan Romawi. "Thanksgiving' dirayakan sebagai tanda terima kasih pada Tuhan atas keberhasilan panen pada musim itu.
Di Amerika Serikat sejak 1863, "Thanksgiving Day" ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional. "Thanksgiving Day" menjadi pesta rakyat yang tidak terkait dengan suatu agama, sehingga segenap warga negara Amerika Serikat merayakannya dengan sepenuh hati.
Seperti halnya "Thanksgiving Day" Imlek juga bukan hari raya keagamaan. Imlek adalah pesta rakyat yang dirayakan secara tradisional oleh etnis Tionghoa dari segala macam agama di seluruh dunia. Dan mereka merayakannya dengan penuh suka cita dan mengucap syukur sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Tuesday, January 15, 2008
Mengunjungi Kahyangan di Tanah Jawa
Mengunjungi situs-situs bersejarah, tentunya mengasyikkan. Apalagi jika lokasinya berada di dataran tinggi yang merupakan sisa gunung berapi masa lalu. Masyarakat sekitar pun menyebutnya sebagai kahyangan, tempat berkumpulnya para dewa.
Kali ini saya mencoba menyambangi, suatu kawasan yang berada di Kabupaten Banjarnegara, berjarak 26 KM dari ibukota Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Secara keseluruhan, kawasan ini mencakup 5 kabupaten, yakni; Batang, Kendal, Temanggung, Wonosobo dan Banjarnegra dengan areal 619,846 hektar. Sungguh luas, bukan?
Sekeliling sangat gelap, sewaktu kami memulainya hari itu. Jam merujuk pukul 02.00 WIB dini hari. Dengan berat hati, terpaksa saya harus bangun dari tidur yang singkat, jika tak ingin terlambat tiba disana. Kalau di hitung-hitung, paling-paling 2 jam mata ini sempat terpenjam.
Menggunakan kendaraan roda empat bertenaga 1300cc, kami pun beranjak meninggalkan kota bersejarah Jogyakarta melewati Magelang menuju Kabupaten Banjarnegara, tempat kawasan itu berada. Saat itu, hanya kegelapan yang bisa dinikmati. Hingga tak terasa, kami pun tiba di lokasi yang bernama “Menara Pandang” pada ketinggian 1700 mdpl. Menara ini disebut demikian, karena (kabarnya) dari tempat ini kita bisa menyaksikan matahari terbit di balik Gunung Sinduro yang menglilingi kawasan ini pada pukul 6 pagi.
Berhubung saat itu masuk musim penghujan, rencana menikmati sunrise harus direlakan dengan perasaan kecewa. Pasalnya, matahari yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Hanya mega-mega bewarna keemasan berbaur dengan awan yang memancar di ufuk timur. Sampai akhirnya, secara perlahan sekeliling mulai terang, pertanda kami harus melanjutkan perjalanan.
Secara geografis, kawasan ini terletak antara 7º,20' Lintang Selatan hingga 109º,92' Bujur Timur yang menurut pembacaan Google Earth berada pada Latitude: -7,20 dan Longitude: +109,92, dengan ketinggian 2.000-an m. Dari beberapa literatur yang saya baca, ketinggian tempat ini memiliki banyak versi. Mulai dari 2.093 hingga 2.565 m dari permukaan laut. Ntah lah, mana yang betul. Pasalnya, saat kesana, saya tidak bisa mengukurnya, karena ketiadaan alat (baca: altimeter).
Tentu anda sudah tak sabar ingin mengetahui apa nama kawasan tersebut, bukan? Bagi anda yang pernah kesana, ataupun berasal dari kawasan ini, namanya tentu sudah tak asing lagi. Yup.. anda benar. Dataran Tinggi Dieng-lah namanya, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Dieng Plateau.
Dengan suhu rata-rata 13ºC-17ºC di siang hari dan 10ºC di malam hari, menjadikan kawasan ini berhawa sejuk dan sangat cocok ditanami aneka jenis tanaman. Namun, di waktu-waktu tertentu, seperti Juli – Agustus, kita perlu waspada, karena suhunya bisa mencapai 0ºC. Suhu ekstrim ini sangat di khawatirkan masyarakat, sebab bisa membuat kerusakan pada tanaman pertanian. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai bun upas, artinya embun racun.
Berdasarkan etimologinya, Dieng berasal dari bahasa Indonesia Purba (sebelum bahasa Kawi) atau mungkin bahasa Sunda Kuna (baca; bukan bahasa Sansekerta); “Di” dan “Hyang” yang berarti Kediaman Para Dewa (kahyangan).
Dari kawasan ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu merupakan sungai yang mengalir di Jawa Tengah bagian Selatan, bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut dengan Tuk Bimo Lukar (Mata-air Bimo Lukar). Tuk Bimo Lukar selain sebagai mata air Sungai Serayu, konon juga dipercayai dapat membuat awet muda.
Menikmati Pesona Candi Arjuna
Dahulunya dataran tinggi Dieng tempat pemujaan dan asrama pendidikan Hindu tertua di Indonesia. Sebagai buktinya, bangunan suci tersebut masih bisa kita temui sampai sekarang. Sedikitnya, dapat kita saksikan 8 buah candi dengan lokasi yang tak terlalu jauh.
Pada kesempatan ini, hanya kawasan Candi Arjuna yang bisa kami nikmati dari dekat. Pasalnya, waktu yang tersedia dengan lokasi wilayah yang sangat luas membuat kami harus memilih. Sejatinya, di kawasan ini terdapat beberapa kompleks candi, seperti Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Dwarawati dan Candi Parikesit.
Dieng merupakan tempat suci yang memiliki kekuatan magis, karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur. Di tempat ini pula terdapat beberapa komplek candi yang diperkirakan di bangun pada masa Dinasty Sanjaya, abad ke 8, awal peradaban Hindu, dengan peninggalan beberapa arca, seperti Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lain.
Gugusan Candi Arjuna konon untuk memuja Dewa Syiwa. Kawasan candi ini terdiri dari dua deret. Deret sebelah timur terdiri dari empat candi yang menghadap ke barat; candi Arjuna, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra. Deret sebelah barat menghadap ke timur yaitu candi Semar yang berhadapan dengan candi Arjuna.
Penamaan candi-candi itu dipercaya baru dimulai pada abad ke-19 berkaitan dengan cerita wayang Purwa dalam lakon Mahabharata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya relief-relief pada dindingnya. Penamaan candi juga tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan diberikan setelah bangunan candi ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa tokoh yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, karena informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak menyebutkan siapa tokoh yang membangun.
Dari prasasti batu hanya ditemukan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi. Informasi ini digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat ini digunakan selama 4 abad. Dari sisi arsitekturnya, candi-candi ini agak berbeda dengan candi kebanyakan di Pulau Jawa. Candi-candi tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi batu Andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja yang berada di Selatan komplek Candi Dieng.
Sejarah Geologi
Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit.
Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan sebuah komplek gunung berapi. Sebuah kumpulan komplek gunung berapi yg luas dan mempunyai kemiripan hubungan gunung mayor dan minor dengan gabungan aliran lava dan batuan piroklastik (Francis, 1994). Komplek Dieng berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) dan memanjang dari arah barat daya - tenggara.
Struktur yg luas ini mungkin gabungan kaldera dengan peninggalan dua atau lebih stratovolkano. Bagaimana pun, tidak ada deposit yang besar dari gabungan pembentukan kaldera yang teridentifikasi. Sebuah kaldera tersebut usianya lebih dari 16.000 tahun. Sketsa peta Dieng Plateau dan kaldera sempat dibuat oleh Newhall dan Dzurisin (1988) yang dimodifikasi dari Delarue (1980).
Dieng yang berasal dari gunung api tua mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang amblas muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.
Beberapa aktivitasnya masih menimbulkan karakteristik yang khas. Seperti magma yang timbul tidak terlalu kuat, layaknya gunung merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi lebih karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka.
Sehingga jika ada yang mengatakan tempat ini merupakan bekas danau besar yang dikelilingi oleh gunung-gunung, sepertinya agak susah diterima akal. Akan lebih tepat, jika dikatakan kawasan ini merupakan bekas kawah akibat letusan gunung purba yang lama kelamaan digenangi air. Kawasan tergenang ini pula yang menyebabkan timbulnya telaga tadi.
Kawah aktif
Selain candi, Dieng juga menyimpan banyak kawah yang masih aktif mengeluarkan asap putih tebal. Beberapa di antaranya dinamai sesuai legenda Mahabarata, seperti Kawah Candradimuka dan Sumur Jalatundha. Candradimuka adalah nama kawah tempat menempa bayi Tetuko yang kelak menjadi ksatria gagah berani Gatotkaca.
Salah satu kawah di Dieng, yakni Kawah Sinila, sempat terkenal pada akhir 1970–an lalu karena mengeluarkan gas beracun yang menewaskan ratusan penduduk di sekitarnya. Kini, uap panas yang keluar dari kawah–kawah aktif tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin pada pembangkit listrik energi panas bumi yang mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 60 MW (2001).
Salah satu kawah yang dibuka sebagai objek wisata untuk umum adalah Kawah Sikidang. Kawah yang dari jauh sudah terlihat mengepulkan asap putih tebal tersebut, setelah didekati ternyata berbentuk kolam seluas sekitar 100 meter persegi yang berisi cairan kental abu–abu gelap yang mendidih bergumpal–gumpal.
Kawah ini pun sering berpindah-pindah letaknya, seiring dengan perbedaan tekanan di bawahnya. Jika pada tahun lalu, kawah aktifnya berjarak tidak terlalu jauh dari pintu masuk, kini lokasinya agak jauh ke tengah. Suara menggelegak dan desis uap air yang terbentuk dari kawah berwarna coklat kehitaman itu menimbulkan nuansa mistis yang khas.
Untuk mencapainya, kita harus hati-hati karena di sekitarnya banyak tumpukan lumpur kelabu yang berbau menyengat. Lumpur yang tampaknya padat dan sudah mengering tersebut sebenarnya adalah lumpur basah yang lembek dan sangat panas. Jika tidak waspada, kaki kita bisa terperosok ke dalamnya.
Indahnya Telaga Warna
Saat berkunjung ke kawasan ini, yang jangan dilewatkan adalah menikmati telaga alamnya, seperti telaga Merdada, Sumurup, Pengilon dan Telaga Warna. Dua telaga terakhir merupakan tempat menarik dan paling sering dikunjungi wisatawan, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari jalan raya.
Cukup dengan membayar Rp. 3000/ orang kita sudah bisa memasuki kawasan Telaga Warna. Telaga ini menjadi lokasi favorit pengunjung, karena keasrian dan akses jalannya. Berbeda dengan telaga di tempat lain, di tempat ini pengunjung dimanjakan dengan jalan betonnya yang tertata rapi. Sehingga pengunjung akan melenggang dengan aman, tanpa harus takut terpeleset akibat licinnya jalan. Selain itu, di beberapa titik disediakan lokasi peristirahatan berupa bangku beton, tempat pengunjung melepas lelah sembari menikmati indahnya telaga.
Di telaga Warna ini kita juga bisa melihat 3 warna telag, yakni; biru, hijau dan cokelat untuk waktu-waktu tertentu. Sedangkan di musim penghujan seperti sekarang ini, warna telaga lebih di dominasi warna hijau.
Telaga Warna merupakan danau di dalam kawah dengan relief yang rendah dengan luas 20 Ha. Kedalamannya antara 10 – 20 m. Gelembung gas sering tampak di permukaan telaga dan udaranya menjadi berbau belerang. Gelembung ini terjadi akibat aktivitas vulkanologi jauh di dalam bumi, yang di dominasi oleh gas seperti, belerang.
Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah serta situs-situs purbakala berupa candi, terasa pas mengidentikkannya sebagai khayangan di Bumi Jawa. Sebuah tempat yang sangat sayang tuk lewatkan begitu saja. Setidaknya, menikmati kesan magis yang masih tersisa.
Tuesday, January 01, 2008
Tarif SMS di Indonesia Masih Mahal
Siapa yang menyangka, kalo tarif SMS di Indonesia masih terbilang mahal, jika di banding dengan tarif sejenis di negara-negara lain di ASEAN. Kejadian ini ditengarai sebagai ulah perusahaan asal Singapura –Temasek Holding- dalam melakukan monopoli penentuan tarif per SMS.
Kejadian ini terungkap, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan perusahaan asal Singapura; Temasek Holding, bersalah karena melakukan kepemilkan silang di dua perusahaan telekomunikasi terbesar yang beroperasi di Indonesia; Indosat dan Telkomsel. Hal ini dianggap bersalah, karena secara sadar perusahaan tersebut telah menetapkan tarif per SMS yang relatif mahal.
Kecurangan mulai tercium, saat Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Singapore Telecomunications (Sing-Tel) memiliki sebagian besar saham perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia (baca; Indosat dan Telkomsel). Ternyata kedua perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan Temasek Holding, sebuah perusahaan raksasa yang berbasis di Singapura.
Dengan kepemilikan silang Temasek, terjadi price leadership. Telkomsel yang saat ini sebagai pemimpin pasar karena jangkauannya yang luas, bisa menetapkan tarif seluler seenaknya. Jika di biarkan hal ini bisa berakibat pada kerugian konsumen (consumer loss).
Padahal jika kita mengacu pada perhitungan KPPU saja, selama tahun 2003 – 2006 diperkirakan konsumen mengalami kerugian mencapai Rp. 30,8 triliun. Kerugian ini terjadi akibat biaya yang dikeluarkan untuk belanja sektor komunikasi.
Ikhwal masalah
Di tahun 2001 lalu, pemerintah melakukan tukar guling antara Telkom dengan Indosat. Alternatif ini di pilih sebagai solusi untuk meningkatkan valuasi (baca; nilai tambah) perusahaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri telekomunikasi di Indonesia.
Sayangnya, hal ini tidak berjalan seperti yang di rencanakan. Akibat terpuruknya nilai tukar rupiah dan keterbatasan dana di APBN untuk bidang ini, pemerintah akhirnya menjual beberapa aset (baca: BUMN) yang dianggap merugi, akibat kredit macat.
Akhirnya, banyak BUMN yang sebenarnya memiliki arti penting bagi bangsa ini, harus di relakan berpindah tangan ke tempat lain, hanya demi dalih pengelolaan yang profesional dan pemasukan bagi kas negara yang rencananya mencapai 6,5 triliun/ tahun kala itu.
Padahal dalam UUD 1945 disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Jika dilihat dari prakteknya, jelas telah terjadi kesalahan prosedur yang di sengaja. Ini yang mengakibatkan bangsa ini semakin merugi
Jaringan yang Meresahkan
Ketika komunikasi telah menjadi kebutuhan, maka segala cara dilakukan manusia guna memenuhi kebutuhan tersebut. Sama halnya ketika industri telekomunikasi mulai merasuki sendi-sendi kehidupan. Hadirnya beberapa operator dengan tarif SMS yang relatif tinggi, tak membuat masyarakat jera. Berapa pun tarif yang di tawarkan, pasti akan habis di lahap konsumen.
Sehingga jangan heran, jika bisnis ini menjadi mesin pencetak uang bagi para pemain di industri ini. Lebih jauh, para pemain tadi akhirnya membuat jaringan yang kuat untuk bersepakat dalam menentukan tarif per SMS yang harus di bayar konsumen.
Dugaan inilah yang menguatkan kecurigaan KPPU, ketika tarif SMS yang dikeluarkan oleh delapan perusahaan seluler di Indonesia (Indosat, Telkomsel, XL, Bakrie Telecom, Mobile-8, Telkom, Smart Telecom, Hutchison) relatif sama.
Ternyata, tarif SMS di Indonesia terbilang mahal jika dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN yang lain. Padahal batasan yang ditetapkan Badab Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hanya berkisar antara Rp. 73 – Rp. 75 per SMS.
Saat ini, tarif SMS untuk pascabayar adalah Rp. 250 dan pra bayar Rp. 350. Lagi-lagi, pendapatan atas SMS ini menjadi milik operator pengirim.
Rakyat dirugikan
Jika sudah begini, operator mengambil margin keuntungan yang sangat tinggi mencapai 200% -300%. Lebih kecil dari biaya produksi yang dikeluarkan. Keuntungan mereka bertambah besar jika SMS di kirimkan ke pelanggan lain dalam operator yang sama, mengingat pengiriman SMS sesama operator jauh lebih murah, karena menggunakan jaringan sendiri. Berbeda halnya jika mengirim ke oprator yang berlainan. Dengan begitu, biaya produksi benar-benar minim.
Secara sederhana bisa dianalogikan seperti ini; misalkan dalam sehari SMS yang di kirim dari operator seperti Telkomsel mencapai 230 juta SMS per harinya. Tinggal di kalikan dengan tarif SMS (misal: Rp. 350). Sedikitnya, pendapatan mencapai Rp. 80 miliar masuk ke rekening Telkomsel per harinya. Coba bandingkan jika dikalikan dalan setahun. Pendapatan bisa merujuk angka Rp. 29 triliun. Sebuah angka yang fantastik, bukan?
Itu baru Telkomsel. Bagaimana dengan operator lain? Tentu mencapai hasil yang besar juga. Jika saja market share operator terbesar tanah air sekitar 53%, maka pendapatan SMS yang dapat di kumpulkan seluruh operator dalam setahun bisa mencapai Rp. 50 triliun.
Sehingga jangan heran, ketika operator tak akan rela melepas keuntungan yang begitu gampang mereka raih, di porak-poranda oleh kebijakan pemerintah yang dianggap menghambat. Apalagi kebanyakan dari mereka sudah merintis usaha ini sejak tahun 1999.
Ada dugaan, para operator ini tidak jujur dalam menyampaikan data komponen dan biaya produksi kepada BRTI -notabene perpanjangan tangan pemerintah- sebagai upaya penyusunan tarif dasar SMS.
Jika sudah begini, hanya campur tangan pemerintah yang sanggup untuk meredakannya. BRTI sebagai satu-satunya regulator telekomunikasi di Indonesia, hendaknya mampu menyusun dan mengawasi batasan harga yang telah ditetapkan. Jangan sampai terjadi penetapan sepihak dilakukan oleh operator-operator tersebut.
Cara ini dianggap mampu melindungi kepentingan publik dari praktek-praktek yang merugikan masyarakat demi memperkaya segelintir orang, apalagi memperkaya negara lain.(berbagai sumber)
Subscribe to:
Posts (Atom)