Sunday, July 04, 2010
LSF Salahi Aturan Pelarangan Balibo
Keterangan saksi ahli yang dihadirkan di persidangan Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (1/7/2010) semakin menegaskan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF).
Aktris Ratna Sarumpaet, yang hadir sebagai saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI menilai langkah Lembaga Sensor Film (LSF) melarang film Balibo akhir tahun lalu merupakan perbuatan melanggar hukum. Menurutnya, Undang-Undang Perfilman hanya mengatur sensor beberapa bagian tertentu dalam film yang dianggap menyimpang.
“ dalam Undang-Undang Perfilman yang baru, yang bisa di sensor cuma sebagian, bukan seluruhnya”, ujar Ratna Sarumpaet seperti di kutip dari Tempo Interaktif.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Guruh Jaya Saputra dengan Hakim Anggota, Sri Setowati dan Irman Baika digelar di PTUN mendengar keterangan saksi ahli terkait pelarangan Film Balibo di Indonesia.
Film ini dinilai kontroversi hingga akhirnya LSF mengeluarkan instruksi pelarangan pemutarannya di Indonesia. Pasalnya film ini di khwatirkan akan mengganggu hubungan dua negara, antara Indonesia dan Australia. Namun, hingga kini, hal tersebut belum terbukti. Karena itulah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggugat LSF terkait pelarangan tersebut ke meja hijau PTUN.
Film Balibo bercerita tentang tragedi penembakan lima jurnalis Australia oleh tentara Indonesia yang ingin membuktikan adaya upaya pendudukan Bumi Lorosae oleh tentara Indonesia pada tahun 1975. Namun naas, saat sedang melakukan peliputan, kelimanya tewas, setelah lokasi persembunyian mereka diserbu oleh peluru panas petugas.
Sementara menurut versi resmi pemerintah Republik Indonesia, kelima jurnalis tersebut tewas saat terjadi baku tembak antara tentara pretilin dengan tentara Indonesia di Balibo, sebuah kawasan di utara Timor Timur.
Film tersebut sedianya diputar di ajang Jakarta Internasional Film Festival pada Desember 2009, namun urung terlaksana karena adanya larangan tersebut. Meski demikian, bagi kalangan tertentu, seperti wartawan dan aktivis, keberadaan film tersebut masih bisa dinikmati di beberapa tempat di Jakarta. AJI merupakan institusi yang turut aktif menyebarluaskan tentang pentingnya film ini bagi jurnalis. Tentu saja, karena film ini bercerita tentang jurnalis.
“kita merasa film ini perlu di tonton oleh Jurnalis, agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Safety journalis harusnya menjadi prioritas”, ujar Iman D. Nugroho anggota AJI Jakarta yang menjadi panitia aksi nonton bareng Balibo, beberapa waktu lalu.
Aksi pelarangan yang membabi buta tersebut ternyata tidak sesuai aturan. Ratna menilai LSF telah bertindak gegabah, karena tidak berdialog dengan pembuat film terlebih dahulu. Menurutnya, LSF tidak meminta pendapat pembuat film, malah melarangya secara utuh. “hal ini sangat fatal”, ujar perempuan yang juga aktivis hak azasi manusia itu.
Sementara itu, mantan wakil ketua Dewan Pers periode lalu, Sabam Leo Batubara mengungkapkan bahwa pelarangan film tersebut, telah menempatkan LSF lebih tinggi ketimbang undang-undang. Dalam pasal 28F UUD 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin hak warga Negara memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Warga juga berhak memiiki, menyimpan dan mengolah serta menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
"Kalau film itu cabul, mendorong terorisme, perjudian, boleh di sensor. Di jaman orde baru, wartawan tidak boleh ke Timor Timur dan tulis apapun yang dikatakan pemerintah atau tentara. Tapi di era reformasi, kita tahu banyak informasi masa orde baru tidak benar”, ujarnya sebagai saksi ahli di persidangan.
Lebih jauh, Leo menambahkan, bahwa sekarang ini ada versi lain tentang peristiwa itu, seharusnya masyarakat berhak tahu. “sekarang rakyat kita sudah cerdas, sudah mampu memilih presiden sendiri, apalagi jika hanya memilih film yang akan di tonton” lanjutnya.
Leo berpendapat, sebagai produk seni, pembuat film sah-sah saja menghakimi atau berpihak. Jika ada pihak yang tidak setuju, bisa melakukan diskusi dalam forum publik atau klarifikasi di media massa. Pun, tidak salah jika membuat film tandingan. Leo setuju jika pemerintah wajib melindungi rakyat. Namun, rakyat berhak untuk mendapat informasi.
Mantan angota Komando Pasukan Khusus, Kol. Purn. Gatot Purwanto, yang hadir sebagai saksi fakta di persidangan mengungkapkan peristiwa sebenarnya yang terjadi di Balibo. Menurutnya, kejadian di Balibo tidak persis seperti yang tampak dalam film. “wajar saja jika di dramatir, namanya juga film, supaya terlihat menarik” ujarnya beberapa waktu lalu, usai acara menonton bareng film Balibo.
Gatot yang saat itu bergabung dalam penyerbuan kota Balibo bersama dengan satuan-satuan lain, baru mengetahui ada lima jurnalis asing yang tewas, usai melakukan pembersihan. Saat itu Gatot masih berpangkat Letnan Satu.
“ada lima orang kulit putih yang meninggal. Kamera pun ditemukan tak jauh dari jasad mereka. Kami duga mereka adalah wartawan”, paparnya. “Berbeda dengan di film, kelima jurnalis tersebut tewas akibat tertembak, bukan ditangkap lalu ditembak dalam keadaan hidup apalagi di bakar”, tandasnya. (jacko agun)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment