(Ilustrasi, source: eeshape.com) |
.....
Sudah lama juga saya tidak menulis di blog ini. Kalaupun harus menulis, hal itu tak lebih dari tuntutan skenario. Ya, kurang lebih begitu bahasa kerennya. Sebuah keadaan yang memang mengharuskan saya untuk menulis.
Namun ntah mengapa, akhir-akhir ini keinginan untuk menulis datang kembali. Inspirasi itu bisa berasal dari menyimak keadaan atau melihat blog orang lain serta membaca tulisan-tulisan orang lain.
Oh ya, sejak pindah desk akhir Juli kemarin, waktu untuk menulis sepertinya semakin besar. Maklum, sebelumnya saya disibukkan dengan pekerjaan kantor yang menguras pikiran. Salah satunya adalah riset. Meski terbilang sepele, kegiatan riset membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Karena itu, boro-boro nulis, istirahat aja kadang kurang.
Belum lagi, kemarin itu, saya juga dibebani urusan remeh temeh, seperti urusan antar jemput anak sekolah. Sebuah kegiatan rutin yang membuat waktu bergerak cepat dan hanya menyisakan ketergesa-gesaan. Pasalnya, begitu sampai di rumah, tak lama kemudian harus bergegas menuju kantor.
Tak hanya itu, sekira 2 bulan lalu, saya juga harus bertanggungjawab untuk mengisi sebuah laman/web organisasi nirlaba yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Menjadi admin, istilahnya.
Di situs itu, saya harus mengupdate minimal satu tulisan setiap hari. Kegiatan itu pun jadi bagian untuk menambah penghasilan. Ya, hitung-hitung bekerja 'part time'. Maklum, di jaman edan seperti sekarang ini, dimana harga-harga semakin mahal, menambah penghasilan dengan kerja sampingan jadi solusi menarik.
Karena itu, bisa dibayangkan betapa sedikitnya waktu yang saya miliki setiap hari. Mulai dari urusan kantor, antar jemput anak sekolah, hingga side job. Itu sebabnya blog saya terlantar, tak terawat sama sekali.
Lalu, saya jadi teringat sebuah buku tua, yang telah lama saya baca. Buku itu adalah karya seorang budayawan cum sastrawan besar yang cukup dikagumi pada jamannya. Pramudya Ananta Toor nama pengarangnya.
Secara detilnya saya sudah lupa. Tapi kurang lebih dia berkata begini: betapa malangnya orang yang tak pernah menulis, karena ia akan dilupakan sejarah. Pasalnya, menulis adalah proses membangun prasasti. Prasasti yang merupakan bentuk nyata dari sebuah sejarah. Bukti tak terbantahkan akan lahirnya sebuah peristiwa. Peristiwa yang berasal dari aktualisasi ide dan gagasan.
Itulah sebabnya mengapa menulis tak lain dari berbagi ide, gagasan dan pemikiran yang dituangkan agar orang lain memahami atau bahkan beradu argumentasi tentang sesuatu hal.
Menulis juga merupakan bentuk aktualisasi diri. Sebuah perwujudan akan eksistensi diri yang sesungguhnya. Bentuk deklarasi diri dalam menciptakan warna/ciri khas yang mudah-mudahan berbeda dengan yang lain.
Betapa kadangkala kita sering terkagum-kagum dengan sebuah tulisan yang muncul dari sebuah perenungan panjang. Hasilnya, rasa takjub dan hormat yang luar biasa bagi penulisnya.
Karena itu, ada yang bilang, menjadi penulis ibarat menaikkan harkat dan martabat diri kita. Buktinya, banyak penulis, baik penyair ataupun sastrawan menjadi terkenal akibat buah pikirnya.
Akan tetapi banyak yang tidak menyadari proses di balik semua itu. Sebuah jalan panjang nan berliku yang harus dilalui. Tentu saja, karena kebanyakan pembaca memang berorientasi output. Output atau hasil yang bisa dinikmati saat bersantai di rumah, menunggu busway, atau ketika tidak ada kerjaan di kantor.
Saya juga jadi ingat saat memulainya dulu. Semua saya lakukan secara otodidak. Artinya tidak melalui pendidikan formal apalagi ikut pelatihan. Hanya modal nekad dan tak ingin dilupakan sejarah.
Bermula dari banyak membaca karya orang lain, saya jadi makin paham menulis yang benar itu seperti apa. "Ya..., semua itu berawal dari mengamati", demikian seorang seniorku pernah berkata.
Dan, benar saja, melalui proses mengamati itu saya jadi tahu banyak hal. Saya juga bisa membedakan gaya-gaya penulisan tiap-tiap media.
Kendati demikian, menulis tidak segampang kelihatannya. Dibutuhkan effort yang besar. Pun perlu kerja keras untuk tidak gampang menyerah. Persis seperti yang saya alami dulu. Bayangin aja, ketika akan menulis, apa yang saya tulis, selalu kalah cepat dengan apa yang saya pikiran. Selalu terlambat. Jari-jari saya tak mampu mengimbangi kemampuan otak yang berlari lebih cepat untuk menterjemahkannya menjadi susunan bahasa yang indah dan bisa diterima akal.
Beruntung, lambat laun, setelah melalui proses panjang perubahan pun terjadi. Menulis jadi semakin mudah. Syaratnya, tetap fokus dan susun kata menjadi kalimat sederhana. Lalu usahakan setiap paragraf berisi satu pokok pikiran.
Singkatnya, dengan semua pengalaman itu, saya semakin paham bahwa menulis itu ibarat naik sepeda. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin banyak yang dilihat. Makin banyak pula pengetahuan yang bisa didapatkan.
Karena itulah, bagi mereka yang akan memulai menulis atau mungkin sedang menulis, mencoba hal-hal baru dan jangan gampang menyerah jadi jurus jitu. untuk memperkaya diri sendiri menuju kesempurnaan.
Sama seperti ketika saya memulainya puluhan tahun silam, saya yakin semua orang pasti bisa melakukannya. Karena itu tetaplah mencoba dan jangan takut gagal. Karena kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Demikian petuah bijak yang jadi semacam cambuk bagi mereka-mereka yang terus belajar.
--end--'
No comments:
Post a Comment