Setiap tahun AJI selalu turun ke jalan untuk memperjuangkan kesejahteraan jurnalis (foto: jacko agun) |
Sikap berseberangan itu membuatnya dimusuhi oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), satu-satunya organisasi wartawan pada saat itu. Maklum, PWI merupakan organisasi yang jadi binaannya pemerintah. Semua gerakan insan pers selalu berada dalam koordinasi PWI. Sehingga, sudah menjadi rahasia umum, betapa PWI tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, tapi lebih sebagai perpanjangan tangan penguasa.
Kejadian itu pun berawal dari pembredelan 3 media besar saat itu, yakni:Detik, Editor dan Tempo pada 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang cenderung kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah yang memang tidak suka akhirnya mencabut ijin penerbitannya,sehingga ketiga media itu berhenti beroperasi.
Tindakan represif itu memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota. Para pemikir yang kebanyakan wartawan itu, mulai mencari cara untuk membendung upaya kesewenang-wenangan pemerintah.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis dan beberapa kolega berkumpul di Sirnagalih, Bogor, pada 7 Agustus 1994. Pada hari itu mereka bersepakat untuk menandatangani Deklarasi Sirnagalih, sebuah deklarasi untuk menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Independen).
Demikianlah akhirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai bentuk perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru. AJI juga lahir untuk menentang dominasi tunggal PWI sebagai satu-satunya organisasi pers.
Pada masa Orde Baru, AJI sempat dikategorikan ke dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, AJI pun melakukan kegiatannya secara sembunyi-sembunyi. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis melalui gerakan klaindestain. Dan untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup. Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.
Selain demonstrasi dan mengecam tindakan represif terhadap media, organisasi yang dibidani oleh individu dan aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta ini juga menerbitkan majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen.
Gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara, Maret 1995. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.
Selain itu, para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang geraknya. Pejabat Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan wartawannya yang kebetulan jadi anggota AJI di medianya.
Konsistensi dalam memperjuangkan misi inilah yang menempatkan AJI berada dalam barisan kelompok yang mendorong demokratisasi dan menentang otoritarianisme. Inilah yang membuahkan pengakuan dari elemen gerakan pro demokrasi di Indonesia, sehingga AJI dikenal sebagai pembela kebebasan pers dan berekspresi.
Pengakuan tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari manca negara. Diantaranya dari International Federation of Journalist (IFJ), Article XIX dan International Freedom Expression Exchange (IFEX). Ketiga organisasi internasional tersebut kemudian menjadi mitra kerja AJI. Selain itu banyak organisasi-organisasi asing, khususnya NGO internasional, yang mendukung aktivitas AJI. Termasuk badan-badan PBB yang berkantor di Indonesia.
AJI kemudian diterima secara resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 18 Oktober 1995. Aktivis lembaga ini juga mendapat beberapa penghargaan dari dunia internasional. Di antaranya dari Committee to Protect Journalist (CPJ), The Freedom Forum (AS), International Press Institute (IPI-Wina) dan The Global Network of Editors and Media Executive (Zurich).
Setelah Soeharto jatuh, pers mulai menikmati kebebasan. Jumlah penerbitan meningkat. Setelah reformasi, tercatat ada 1.398 penerbitan baru. Namun, hingga tahun 2000, hanya 487 penerbitan saja yang terbit. Penutupan media ini meninggalkan masalah perburuhan. AJI melakukan advokasi dan pembelaan atas beberapa pekerja pers yang banyak di-PHK saat itu.
Selain bergugurannya media, fenomena yang masih cukup menonjol adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis. Berdasarkan catatan AJI, setelah reformasi, kekerasan memang cenderung meningkat. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus. Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000. Setelah itu, kuantitasnya cenderung menurun: sebanyak 95 kasus (2001), 70 kasus (2002) dan 59 kasus (2003).
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap wartawan juga masih mendominasi. Berdasarkan data AJI pada 2012, ditemukan sebanyak 56 perkara kekerasan terhadap jurnalis di 24 provinsi, termasuk di antaranya dilakukan oleh kalangan legislator, kemudian juga aparat hukum (TNI dan Polri) serta mahasiswa.
Sementara itu, untuk kurun Januari hingga Mei 2013 telah terjadi 14 kasus tindak kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah itu juga termasuk kekerasan terhadap seorang jurnalis televisi yang dilakukan sejumlah mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa terkait Tragedi Mei 1998 di depan Istana Kepresidenan pada beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, jika melihat perkembangannya setahun kedepan, terutama menjelang pemilu 2014, besar kemungkinan kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi. Belum lagi, berapa kasus kekerasan terhadap jurnalis, hanya sedikit yang ditindak secara tegas oleh Kepolisian. Beberapa wartawan bahkan tewas dalam tugas dan sejumlah lainnya juga mendapat perlakuan kekerasan saat karya jurnalistiknya dimuat dan disiarkan ke masyarakat.
Pada saat yang sama, juga mulai marak fenomena gugatan terhadap media. Beberapa media mulai digugat ke pengadilan -- pidana maupun perdata-- seperti; Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo dan Majalah Trust. Atas kasus-kasus tersebut, AJI turut memberikan advokasi.
Selain itu, AJI juga berperan dalam membuat program Maluku Media Center. Selain sebagai safety office bagi jurnalis di daerah bergolak tersebut, program itu juga untuk kampanye penerapan jurnalisme damai. Sebab, berdasarkan sejumlah pengamat dan analis, peran media cukup menonjol dalam konflik bernuansa agama tersebut. Hingga kini, program tersebut masih berjalan.
Tak hanya itu, dari tahun ke tahun, kebebasan pers di Indonesia juga cenderung lebih jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar dan Brunei Darusalam. Untuk Myanmar, misalnya. Kini negara komunis itu sedang mempelajari substansi Undang-undang Pers milik Indonesia.
Sedangkan di Brunei Darussalam, masyarakat negara itu hanya menikmati karya jurnalistik yang sudah dikemas oleh perspektif pemerintah. Maklum, kebanyakan beritanya berporos hanya dikalangan istana saja. Sehingg tak heran jika berita pagi merupakan kabar dari istana, lalu berita siangnya tentang keluarga istana, sementara berita sore mengenai kerabat istana.
Tantangan Kedepan
Setelah rejim Orde Baru tumbang oleh “Revolusi Mei 1998”, kini Indonesia mulai memasuki era keterbukaan. Rakyat Indonesia, termasuk jurnalis, juga mulai menikmati kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi. Departemen Penerangan, yang dulu dikenal sebagai lembaga pengontrol media, dibubarkan. Undang-Undang Pers pun diperbaiki sehingga menghapus ketentuan-ketentuan yang menghalangi kebebasan pers.
AJI, yang dulu menjadi organisasi terlarang, kini mendapat keleluasaan bergerak. Jurnalis yang tadinya enggan berhubungan dengan AJI, atau hanya bisa bersimpati, mulai berani bergabung secara terang-terangan. Jumlah anggotanya pun bertambah. Perkembangan jumlah anggota akibat perubahan sistem politik ini, tentu saja, juga mengubah pola kerja organisasi AJI.
Kini, AJI tak bisa lagi sekedar mengandalkan idealisme dan semangat para aktivisnya untuk menjalankan visi dan misi organisasi. Pada akhirnya, organisasi ini mulai digarap secara profesional. Bukan hanya karena jumlah anggotanya yang semakin banyak, namun tantangan dan masalah yang dihadapi semakin berat dan kompleks.
Sejak berdirinya, AJI mempunyai komitmen untuk memperjuangkan hak-hak publik atas informasi dan kebebasan pers. Untuk yang pertama, AJI memposisikan dirinya sebagai bagian dari publik yang berjuang mendapatkan segala macam informasi yang menyangkut kepentingan publik.
Mengenai fungsi sebagai organisasi pers dan jurnalis, AJI juga gigih memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers. Muara dari dua komitmen ini adalah terpenuhinya kebutuhan publik akan informasi yang obyektif.
Untuk menjaga kebebasan pers, AJI berupaya menciptakan iklim pers yang sehat. Suatu keadaan yang ditandai dengan sikap jurnalis yang profesional, patuh kepada etika dan –jangan lupa-- mendapatkan kesejahteraan yang layak. Ketiga soal ini saling terkait. Profesionalisme –plus kepatuhan pada etika-- tidak mungkin bisa berkembang tanpa diimbangi oleh kesejahteraan yang memadai. Menurut AJI, kesejahteraan jurnalis yang memadai ikut mempengaruhi jurnalis untuk bekerja profesional, patuh pada etika dan bersikap independen.
Program kerja yang dijalankan AJI untuk membangun komitmen tersebut, antara lain dengan sosialisasi nilai-nilai ideal jurnalisme dan penyadaran atas hak-hak ekonomi pekerja pers. Sosialisasi dilakukan antara lain dengan pelatihan jurnalistik, diskusi, seminar serta penerbitan hasil-hasil pengkajian dan penelitian soal pers. Sedang program pembelaan terhadap hak-hak pekerja pers, antara lain dilakukan lewat advokasi, bantuan hukum dan bantuan kemanusiaan untuk mereka yang mengalami represi, baik oleh perusahaan pers, institusi negara, maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Karena itu, AJI membuka diri bagi setiap jurnalis Indonesia yang secara sukarela berminat menjadi anggota. Syarat terpenting adalah menyatakan bersedia menaati Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Kode Etik AJI. Bagi yang berminat, bisa menghubungi sekretariat AJI Indonsia, AJI kota atau AJI perwakilan luar negeri.
No comments:
Post a Comment