Saturday, July 18, 2015

Ketika ia berbicara kepadaku...

(source: https://communicationvisually.files.wordpress.com/2011/09/self-portrait-with-pencil2.jpg)

...
Malam menjelang subuh, ketika ia  sibuk berselancar di dunia maya. Itu pun dengan kuota internet yang cenderung mbyar pet. Pertanda, harus bijak  memilih laman yang akan dikunjungi. Dari begitu banyak situs, hanya satu yang menarik hatinya. Itupun bukan situs berita, media sosial apalagi situs porno. Tidak. Kali ini pilihannya jatuh pada sebuah blog.

Sebuah blog yang begitu sederhana. Saat membaca sekilas, terkesan jika postingan-postingan itu berawal dari ide dan pola pikir yang begitu matang. Hanya sayang, ternyata cukup lama penulisnya  tidak lagi menorehkan uneg-unegnya di blog itu. Kayaknya lebih dari 6 bulan, atau jangan-jangan lebih. Tapi sudahlah, hal itu gak terlalu penting.

Oh ya, satu yang menarik, bahasa yang digunakan sang penulis begitu renyah. Gampang dicerna. Tak berbelit-belit dan lugas. Ia lantas berpikiran, setiap  pembaca blog itu pasti akan memiliki penilaian serupa.

Jika diperhatikan, tulisan-tulisannya tak lebih dari pengalaman sehari-hari. Ada suka, duka, juga pemberontakan. Dan untuk yang terakhir itu, ia lebih tertarik. Maklum, tipikalnya memang seorang rebel.

Kendati demikian, ia tetap tertarik untuk membaca penggalan-penggalan kisah lainnya. Lalu ia pun tersenyum simpul, membayangkan  kondisi sebenarnya di dunia nyata. Maklum dari sekian tulisan, ada banyak cerita lucu-lucu. Mungkin terkesan konyol.

"Pastinya mahkluk yang satu ini cukup cerdas", gumamnya.

Singkat cerita, kurang lebih sejam ia habiskan untuk melahap satu persatu postingan yang ada. Dan, dari semua itu, ia pun meng-hilight satu kalimat menarik. Kalimat itu bercerita tentang cita-cita menjadi penulis.

"sepertinya dia memang berbakat. sangat berbakat", ujarnya di dalam hati.

"semoga ia berhasil mewujudkannnya". 

Tetiba, ia kembali teringat dengan sebuah blog berlebel sepatumerah.blogspot.com. 5-6 tahun lalu, blog itu begitu nge-hit dan memiliki  banyak penggemar. Bahkan kabarnya, ada bagian dari tulisan itu yang menjadi inspirasi sebuah film layar lebar. Saat itu, ia sempat kepikiran, tuh penulis apa gak punya kerjaan lain? Abis, hampir tiap hari selalu ada postingan baru. Namun satu yang pasti, postingan-postingan di blog itu luar biasa. Inspiring!

Kembali ke blog sederhana itu, ia pun harus mengakhiri penjelajahannya, seiring indikator battere laptop yang terus menyusut. Dari blog itu, ia belajar banyak. Salah satunya untuk tetap berlatih menulis. Karena menulis, berbicara tentang keabadian. Sampai-sampai opa Pram (alm) menyebut, betapa malangnya mereka yang tidak bisa menulis, karena mereka akan dilupakan sejarah.

Finally, beruntung boleh melirik blog sederhana itu. Membacanya ibarat menanti datangnya petang. Menanti tuk kembali berkreatifitas, kembali mengejar mimpi yang sempat tertunda.

Namun kini, petang lebih banyak berbicara tentang pergulatan hidup. Itu artinya, ia harus bersiap, untuk sebuah rutinitas yang menjemukan.




Note: 
cerita ini ia kisahkan, ketika kami bertemu di sebuah tempat yang bukan rahasia, ketika banyak yang berlalu lalang dan ketika banyak pelanggan mulai berebut bangku favorit mereka.



2 comments:

  1. Petang tetaplah petang. Jangan identikkan dengan rutinitas yang menjemukan (meski mungkin bagi sebagian orang iya). Petang selalu dirindukan pagi agar bisa bertemu malam.

    ReplyDelete
  2. Petang memang tuk kembali, bukannya pergi lalu pulang pagi.

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN