Sunday, August 23, 2015

Memandang Kemiskinan Dari Teori Marx

(source: http://www.normalityfactor.com)


Meski telah merdeka selama 70 tahun, kemiskinan masih menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh emerging country seperti Indonesia. Ketika banyak ahli ekonomi yang menyebut Indonesia sebagai kekuatan baru di Asia, namun kenyataannya tidak semudah itu.

Kemiskinan telah begitu nyata. Faktanya dapat dilihat di sekeliling kita. Secara sederhana ditemukan, bahwa dari 10 orang yang kita temui, baik di jalanan, pasar atau tempat-tempat umum, maka setengah diantaranya merupakan golongan ekonomi lemah. Itu artinya, perbaikan kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan belum terwujud.

Fakta itu seakan membenarkan survei yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang menyebutkan, jumlah orang miskin di Indonesia menembus angka 27,73 juta jiwa pada tahun 2014. Dari jumlah itu, sekitar 10,36 juta jiwa di wilayah perkotaan dan 17,37 juta jiwa ada di pedesaan. Bahkan, tahun ini, angka kemiskinan diprediksi naik mencapai 30,25 juta jiwa alias 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Sementara itu, indeks gini rasio telah mencapai 0,42. Artinya, jurang ketimpangan orang kaya dan miskin makin lebar. Ironisnya, kemiskinan sebagai masalah utama bangsa tetap belum tuntas meskipun beragam langkah telah ditawarkan pemerintah.

Belum lagi, kondisi itu didukung oleh perlambatan ekonomi nasional, anjloknya harga komoditas, tingginya harga kebutuhan bahan pokok, anjloknya rupiah mendekati Rp 14.000 per dollar AS hingga Indeks Harga Saham Gabungan yang menyentuh level 4.400-an.

Kondisi itu menunjukkan telah tercipta jurang yang sangat lebar, antara si kaya, --yang kebanyakan adalah pemilik modal-- dan si miskin, --yang kebanyakan kaum buruh--. Benarkah gap kemiskinan tercipta semata-mata akibat pertarungan kelas yang tidak seimbang, ataukah karena faktor lain? 

Menurut saya, tak ada salahnya kita belajar dari teori yang pernah ada. Sebuah teori “Kelas” tentang perjuangan tanpa akhir, yang dipopulerkan oleh Karl Max, inisiator gerakan Sosialisme.

Karl Marx, yang lahir pada 5 Mei 1818 di kota Trier, --biasa disebut dengan Traves--, sebuah kawasan di Rheiland, Jerman mengawali teorinya setelah melihat adanya kepentingan yang muncul dari hubungan penindasan dan dominasi dalam produksi. 

Sebelumnya, Marx yang sempat belajar di Universitas Bonn, lalu berlanjut ke Universitas Berlin mulai berkenalan dengan filsafat Hegel, sebagai dasar dari teori kelas. Saat itu Marx terlibat dalam aktivitas intelektual dengan kelompok filosof sayap-kiri yang dikenal sebagai “Hegelian muda,” yakni kelompok diskusi yang membahas filsafat Hegel. 

Secara objektif, setiap orang memiliki suatu kepentingan agar dirinya tidak ditindas atau didominasi oleh siapapun juga. Bagi kebanyakan dari mereka, kepentingan itu hanya dapat diwujudkan melalui tindakan kolektif. Peningkatan standar kehidupan melalui pekerjaan yang lebih layak merupakan pilihan bagi beberapa orang, namun tidak bagi sebagian besar anggota masyarakat. Pasalnya, peningkatan standar kehidupan membutuhkan faktor lain, yakni keterlibatan pemerintah.

Teori Kelas 
Teori kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx didasarkan pada anggapannya bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Sejatinya, garis besar pemikiran Karl Marx mengenai teori kelas dibagi kedalam tiga bagian pokok yaitu: konsep kelas, kesadaran kelas, dan perjuangan kelas. 

Sejak awal, Marx memang tidak pernah mendefinisikan konsep kelasnya. Kita hanya mengerti maksud Marx, mengenai konsep kelasnya dengan cara mencermati kelompok-kelompok yang seringkali dia rujuk sebagai kelas. Kelas sosial yang dimaksud sama sekali tidak dibedakan berdasarkan pendapatan yang mereka hasilkan, juga tidak berdasarkan atas pekerjaan, melainkan berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Dari kriteria tersebut, maka muncullah dua kelas yang paling berpengaruh, yaitu kaum kapitalis dan kaum buruh.

Selanjutnya, karena berbagai kepentingan, maka konflik kelas pun terjadi, tepatnya ketika sebuah masyarakat secara sistematis terlibat dalam konflik kepentingan yaitu antara orang atau kelompok-kelompok yang berada dalam strata yang berbeda struktur sosialnya dan lebih khusus lagi dalam kaitannya dengan struktur produksi.

Kesadaran Kelas
Sejatinya teori kelas Karl Marx diawali dari seperangkat kepentingan yang didefinisikan muncul dari hubungan penindasan dan dominasi dalam produksi. Secara obyektif, setiap orang menginginkan agar dirinya tidak ditindas atau didominasi oleh siapapun, hanya dapat diwujudkan melalui tindakan kolektif. 

Menurut Marx, riwayat dari setiap anggota masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Tesis itu merupakan kalimat pembuka dari Manifesto Komunis yang dikarangnya bersama Engels dalam Des Capital yang terbit pada 1867. 

Menurut Marx, pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Dengan kata lain, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian masyarakat dalam kelas sehingga dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai.

Selanjutnya, Marx menyebut ada 2 kelas yang paling berpengaruh, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal dan kaum buruh. Yang pertama memiliki sarana-sarana kerja, sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas ini saling berhadapan. Keduanya saling membutuhkan, buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik modal membuka tempat kerja baginya. Majikan hanya beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimiliki apabila ada buruh yang mengerjakannya. 

Tetapi saling ketergantungan itu tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja, atau sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh pemilik modal. Sebaliknya, meskipun si pemilik tidak mempunyai pendapatan jika pabriknya tidak berjalan, tetapi mereka masih bisa bertahan lebih lama. Mereka dapat hidup dari keuntungan yang dikumpulkannya selama pabriknya beroperasi atau jika terdesak mereka dapat menjual pabriknya. Oleh karena itu, kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas pemilik modal. Itu artinya, pemilik modal memiliki kuasa yang lebih besar.

Dengan demikian, pemilik modal adalah kelas yang kuat dan para pekerja merupakan kelas yang lemah. Pemilik modal dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja, dan bukan sebaliknya. Pada gilirannya, keuntungan diperoleh, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara yang tidak lazim, yaitu exploitasi.

Perjuangan Kelas
Konsep mengenai pertentangan kelas merupakan pokok yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang timpang dalam masyarakat, namun tidak ada sangkut-pautnya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing pihak. Adanya kepemilikan terhadap alat-alat produksi yang sifatnya individual mengandaikan nasib orang banyak dapat ditentukan oleh kelompok kecil. Jadi, pertentangan-pertentangan kelas yang berlangsung sejak dahulu hingga kini mengarah pada pertentangan kaya (borjuis) terhadap kelas buruh (proletar).

Kelas borjuis berhasil memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik. Dengan kekuasaan ini mereka mengubah hubungan manusia menjadi transaksi komersial yaitu menempatkan tenaga buruh tidak lebih dari barang dagangan. Keadaan terakhir ini dalam perkembangannya mengarah pada proses dehumanisasi kelas pekerja. Hal itu menyebabkan dendam dan sakit hati kelas buruh sehingga membentuk ikatan-ikatan dalam organisasi dengan tujuan membela diri untuk mempertahankan upah pekerja hingga mendirikan koperasi.

Dengan demikian, tampak hubungan kerja dalam sistem produksi kapitalis, tidak stabil. Kepentingan dua belah pihak tidak dapat disesuaikan. Kalaupun untuk sementara sistem kapitalis terlihat stabil, hal itu terjadi karena ada pihak yang berkuasa sedangkan pihak lain dikuasai. 

Marx melihat ada tuntutan kuat agar kelas proletar tetap bertahan, caranya dengan melakukan perjuangan kelas ketimbang bekerjasama diantara kelas yang ada. Namun perjuangan itu sendiri selalu dihadapkan dengan pengalaman manusia yang dieksploitasi, ditindas, oleh mereka yang berkuasa. Kondisi itu kemudian melahirkan pemberontakan atau revolusi. Itu sebabnya Marx yakin bahwa konflik tidak akan terjadi, kecuali kelas buruh melawan atau menentang kaum kapitalis.

Pertanyaan Kritis
Dari semua penjelasan tentang Marxisme, banyak yang beranggapan teori kelas di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak keliru. Tentu saja, karena ternyata banyak dugaan Marx yang terbukti meleset. Misalnya, Marx meramalkan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis, kaum buruh akan semakin melarat seiring waktu. Faktanya, ramalan ini tak pernah terbukti. 

Marx juga memperhitungkan bahwa kaum menengah akan melebur dan sebagian besar diantaranya akan bergabung ke dalam golongan proletar, dan hanya sedikit yang mampu bangkit untuk bisa masuk ke kelas kapitalis. Dugaan itu tak pernah terbukti. 

Marx juga tampaknya percaya, meningkatnya mekanisasi akan mengurangi keuntungan kaum kapitalis, kepercayaan yang bukan saja salah, tapi sekaligus aneh. Tentu saja, karena dengan mekanisasi pertumbuhan bisa dikejar. Tapi, terlepas apakah teori ekonominya benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh Marx. 

Selain itu, sungguh berlebihan mengelompokkan seluruh pekerja di sebuah perusahaan, mulai dari direktur utama sampai buruh berada di dalam kelas yang sama. Pasalnya, pemberi dan penerima perintah menjadi kriteria pembeda kelas dalam hirarki perusahaan. 

Lalu, betulkah bahwa perubahan sosial hanya mungkin terjadi melalui revolusi? Padahal dalam kenyataannya, kemajuan kelas buruh justru berhasil diperjuangkan tanpa revolusi. Dan hal itu sudah dipraktekkan di banyak negara.

Akan tetapi, arti penting kehadiran seorang filsuf bukan terletak pada kebenaran teorinya, tapi terletak pada masalah, apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi, Karl Marx memiliki arti penting yang luar biasa. Pola pikirnya telah membauat banyak orang terhenyak. Sebut saja, Lenin, pendiri negara komunis Rusia. Ia mengaku, tidak sekedar menganggap dirinya mengikuti ajaran-ajaran Marx, tapi ia betul-betul membaca, menghayati, dan melaksanakan ide Marx. Dia yakin betul teori Marx sangat sesuai dengan kondisi Rusia saat itu.

Begitu juga dengan Mao Tse Tung dan pemuka Komunis lain. Mereka telah menjadikan teori Marx sebagai acuan dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Masyarakat yang tidak membedakan antara si kaya dan si miskin. Masyarakat tanpa kesenjangan sosial.

Oleh sebab itu, tak ada yang salah dengan teori Karl Marx. Menurut saya, teori Marx sangat relevan, jika didasari atas dominasi yang begitu kuat oleh pemilik modal terhadap kaum proletar. Dan, bukankah hal itu yang sedang terjadi sekarang ini? Bedanya, pemilik modal saat ini, tidak saja perorangan, namun berubah bentuk menjadi koorporasi yang melakukan eksploitasi terus menerus, yang menjadikan masyarakat miskin sebagai korban. Korban yang tidak bisa berbuat banyak, kecuali menerima begitu saja.

Oleh sebab itu, meski tidak persis sama seperti pada abad ke XIX, pertentangan kelas masih eksis hingga sekarang. Hanya berubah bentuk. Pertentangan kelas yang beberapa sisi hipotesisnya memiliki banyak kelemahan. (Jacko Agun)

1 comment:



  1. Thank infonya. Oiya ngomongin kemiskinan, ternyata ada loh sejumlah miliarder di dunia ini yang kerap menghambur-hamburkan uang dan berujung pada kebangkrutan. Siapa saja mereka? Cek di sini ya: Miris, 5 miliarder ini akhirnya jatuh miskin

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN