Friday, August 21, 2015

Yang Tersisa...

(source: http://www.videojug.com)
...

"Kamu jemput aku 30 menit lagi ya!", pinta seorang perempuan di sebarang sana 
"Ya... Tunggu disitu!", jawabnya.

Mendapat panggilan seperti itu, membuatnya tak bisa berbuat banyak. Maklum, membahagiakan wanita pujaan jadi keinginan terbesarnya. Pun, ia tak ingin mengecewakannya. Tentu saja, karena dia sangat mengasihi perempuan yang dikenalnya lebih dari 5 tahun lalu itu, lebih dari siapapun. Dan, perempuan itu jadi satu-satunya tempat berkeluh kesah, untuk semua perjalanan panjang yang telah dilalui. Pasalnya, di ibukota ini ia memang sendiri.

Ketika pesan singkat muncul, kerjaan di kantor memang telah selesai, setidaknya sejak 15 menit lalu. Sambil membunuh waktu, dia lalu tertarik membaca artikel  yang linknya dikirim lewat imel. Artikel itu berkisah tentang Jimmy Chin, seorang fotografer cum videografer National Geographic (NG) yang baru saja menyelesaikan pendakiannya ke Meru, puncak tertinggi di India Utara. Lewat beberapa foto dan video yang bisa diakses di web tersebut, ia mengetahui bahwa petualangan Jimmy kali ini cukup menantang.

Jujur, dia merupakan penggemar Jimmy, sejak namanya tercatat sebagai pewarta foto di majalah legendaris "National Geographic". Baginya, nama itu setara dengan Steve McCurry, fotografer NG yang terkenal lewat foto "Afgan Girl", ataupun John Stanmeyer, fotografer TIME yang memiliki kepekaan tinggi ketika menghasilkan foto-foto essay. Bahkan untuk sekaliber James Nachtwey, yang terkenal lewat film dokumenter "War Photographer", nama Jimmy layak untuk disandingkan.

Dari sekian banyak fotografer yang di 'hire' oleh National Geographic, Jimmy Chin memang berbeda. Selain memiliki kemampuan teknis foto yang mempuni, kegemarannya beraktivitas di alam bebas, jadi nilai lebih. Maklum, setiap penugasan yang dilaluinya tidaklah mudah. Selalu membutuhkan kekuatan fisik dan kematangan emosional. 

Sebelumnya, ia mengenal Jimmy lewat karya fotonya yang menakjubkan. Foto-foto petualangan, seperti pemanjatan tebing batu, pendakian gunung es, hingga perjalanan ke daerah-daerah ‘remote area’, sebagian besar dihasilkan oleh fotografer muda, berbakat dan berbahaya itu.

Dan, tak heran jika Jimmy Chin hadir sebagai new legend di majalah National Geographic". Seorang fotografer outdoor yang cukup disegani.

---
Sejak meninggalkan kantor di bilangan Tugu Tani, Jakarta Pusat, mobil tua, --Ford mustang-- yang digunakannya segera melaju di jalan-jalan ibukota yang kian tak ramah. Meski oldschool, Mustang besutan Shelby America yang populer di tahun 1965 hingga 1970an itu masih terlihat gagah ketika beradu dengan mobil-mobil keluaran terbaru.

Sekeliling telah gelap. Hanya menyisakan pancaran lampu jalan yang beradu dengan pendaran sinar kendaraan yang berlalu lalang. Sementara itu, para pejalan kaki masih bersileweran di sepanjang trotoar yang beberapa sisinya telah beralih fungsi menjadi lahan parkir ataupun tempat pedagang asongan.

Namun, bukan Jakarta namanya, jika tidak macet. Padahal Suunto D4i yang dikenakannya telah merujuk angka 20.15 WIB. Di waktu-waktu seperti itu, ia berharap jalanan lebih lengang. Namun apa daya, sejak keluar dari kantor, kemacetan panjang telah terjadi, mulai dari ruas jalan Menteng Raya menuju Cut Meutia.

"Oh, no... Perkiraanku meleset, ternyata!", gumamnya kesal.

Kini si Masteng berada dalam antrian panjang. Sementara di kanan kirinya, puluhan pengendara motor, bergerak liar, seakan tak sabar menanti lampu berubah hijau. Ya, itulah kondisi jalanan ibukota. Kendaraan roda dua telah menjadi raja. Di kemacetan, jika tersisa ruang, mereka akan memanfaatkannya sebisa mungkin. Sementara bagi mobil, ya, nanti dulu. Kudu setia menanti sesuai antrean.

Lepas dari Cut Meutia, ia menuju jalan HOS. Cokroaminoto, sebelum kemudian berbelok ke jalan HR. Rasuna Said. Beruntung, di Rasuna Said kemacetan agak berkurang. Namun jumlah kendaraan masih tetap banyak. Hanya saja, antrean panjang tidak seperti sebelumnya.

Mendekati gedung KPK, ia menerima pesan singkat berikutnya.

"Dimana? Kok lama?"
"Aku udah bosan, nih"

Dia kemudian menjawab; "Sabar, kena macet!"

Ia tak bisa menjelaskan lebih detil, karena mengemudi sembari mengetik membutuhkan skil tingkat dewa. Dan, keahliannya belum sampai kesitu.

Begitulah akhirnya, ketika, secara bertahap, ia berhasil keluar dari kemacetan panjang dan melenggang kearah Mampang. Dari Mampang, perjalanan menuju Kemang, tidak begitu jauh.

---
Malam itu, suasana di Cafe Patheya, yang berlokasi di kawasan Kemang, milik seorang artis masih ramai pengunjung. Padahal waktu telah merujuk pukul 21.05 WIB. Berbeda dengan kafe pada umumnya yang kebanyakan pengunjungnya adalah ABG, di tempat itu, sebagian besar tamu merupakan pekerja kera putih yang sengaja membunuh waktu, sembari menunggu kemacetan berkurang. 

Di cafe yang buka sejak pagi itu, pengunjung akan dimanjakan dengan beragam jenis makanan/minuman yang khas. Dari pengalaman mencoba, makanan di Patheya terbilang enak. Yang gak enak cuma harganya. Tak heran, jika kebanyakan pengunjung adalah kaum berpunya. Dan, jika pun tidak, mereka harus menabung dulu, untuk bisa menikmati suasana di cafe yang sejuk itu.

Jika di hari biasa, tamunya adalah para pekerja, maka di akhir pekan, kebanyakan pengunjung merupakan keluarga atau para pasangan muda yang ingin memadu kasih sembari menikmati aneka jenis panganan ditemani alunan live musik.

Begitu sampai, ia segera memarkir mobil di tempat yang disediakan. Sejurus, kembali ia mengecek ponsel. Siapa tahu ada pesan lanjutan. Dan betul, begitu dibuka, ada pesan yang masuk.

“Aku masih di dalam, di tempat biasa. Masuklah!”

Dari parkiran, ia bergegas menuju lokasi favorit mereka. Sebuah meja kecil di pojokan dekat tangga, yang memisahkan ruangan utama dengan ruangan lainnya. Dan, disana perempuan cantik itu setia menanti.

Wajahnya yang indah, masih tetap sama. Auranya tak berubah. Hanya saja, sepertinya ia mulai bosan. Kelihatan dari gestur dan posisi duduknya yang selalu berubah-ubah. Bisa jadi, dia mulai ‘mati gaya’!

“Kok lama?”, tanya perempuan itu
“Ya, jalanan rame bangat. Macet”, jawabnya.
“Aku udah nunggu disini lebih dari sejam, tauk. Dari mulai rame, sampe sepi begini”, paparnya.
“Maafkan aku, sayang!”, ujarnya memelas dengan raut muka penuh penyesalan.

Malam itu, merupakan pertemuan mereka yang keempat di cafe itu. Tiga pertemuan sebelumnya terjadi sebulan lalu. Tempat itu menjadi lokasi pilihan, atas rekomendasi seorang sahabat.

Namun, tempat yang indah bukan alasan utama. Selain cozy, cafe itu terbilang dekat dengan kost perempuannya. Jadinya, kalo pulang kemalaman, ia tak begitu jauh. 

“Gimana pekerjaan kamu hari ini?”, tanyanya
“Biasa. Lancar. Tapi rapat hari ini betul-betul menyiksa, buat aku begitu capek”, ujar perempuan itu.
“Kok bisa?”, kembali ia bertanya.
“Abis, aku harus siapin banyak presentasi. Dan gilanya, bosku minta di last minute
“Ya udah, kalo gitu, sekarang udah agak enakan, kan?”
“Ya, tapi capeknya masih berasa. Trus, kamu datangnya telat pula”

Dan, seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan di tempat itu tak berlangsung lama. Begitu selesai bersantap, mereka pun beranjak. Tak lupa, ia menitipkan tip buat pelayan diatas meja itu. Dan, sebentar lagi cafe pun tutup.

---
Dari Patheya, mereka bergeser ke sebuah lokasi di bilangan Kalibata, tepatnya di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Disana, sebuah angkringan, milik seorang teman lama masih buka. Ya, di angkringan itu, mereka menghabiskan waktu lebih lama. Setidaknya, hingga rasa rindu yang meluap-luap itu selesai untuk diekspresikan.

Angkringan, jauh lebih sederhana ketimbang cafe mewah. Harga aneka panganan yang ditawarkan pun terbilang terjangkau. Tak heran jika pengunjung datang silih berganti. Selain itu, angkringan yang dulu identik dengan tongkrongan mahasiswa dan masyarakat umum, kini faktanya jauh berbeda. Pengunjungnya tak hanya datang dengan motor saja, namun tak sedikit dengan mobil mewah.

Dan seperti biasa, sehabis memesan makanan, mereka menuju meja kecil di sisi kanan angkringan yang kebetulan kosong. Tempat itu, jadi lokasi pilihan, karena dari situ mereka bisa memandang lepas. Jangkauan pandangan pun lebih luas. Beruntung, mereka berhasil mendapatkannya, karena sebelumnya, meja itu selalu rame diburu.

Pilihan ke Angkringan, sebenarnya bukan tanpa alasan. Baginya, angkringan merupakan cerminan ekonomi rakyat yang sesungguhnya. Jauh lebih menarik ketimbang cafe-cafe mewah, milik kapitalis, yang tujuan utamanya hanya meraup untung. Di tengah kondisi pelemahan ekonomi global seperti saat ini, penguatan ekonomi masyarakat jadi salah satu solusi terbaik. Pasalnya, pengalaman krisis tahun 2008 membuktikan, hanya kemandirian ekonomi masyarakat yang membuat Indonesia bisa selamat.

Selain itu, pola pikirnya yang sosialis, membuatnya tak betah berlama-lama jika harus bersinggungan dengan produk-produk kapitalis. Baginya, kapitalis telah merusak sendi-sendi ekonomi masyarakat. Kapitalis juga telah memberangus kemampuan survive golongan ekonomi lemah. Sehingga jangan heran, kapitalis dengan segala sumberdayanya akan mematikan sistem perekonomian masyarakat.

Itu sebabnya, mengapa ia tak pernah belanja di mal, ataupun makan di restoran ternama, jika bukan karena sebuah keterpaksaan. Baginya, akan lebih bermakna, jika ia menghabiskan uangnya di toko kelontong milik masyarakat ataupun berbelanja di pasar-pasar tradisional.

Selain itu, proses komunikasi yang tercipta sungguh berbeda. Berbelanja di pasar tradisional, memunculkan interaksi yang agak unik. Sebuah pola komunikasi yang timbal balik. Sehingga jangan heran, jika banyak pembeli yang mengenal baik siapa saja pembelinya. Atau, jangan kaget, ketika banyak penjual yang memberi harga khusus kepada pembeli langganan. Bahkan, tak jarang diantara mereka akan saling mengundang, ketika hendak mengadakan sebuah hajatan. Sebuah pola komunikasi yang sederhana. Tanpa pura-pura.

---
Lima menit kemudian, makanan yang mereka pesan tersaji di depan mata. Nasi kucing, ayam bakar, sate usus, plus gorengan ditemani teh manis hangat siap untuk disantap. Berbeda dengan di Patheya, di angkringan itu, dia makan dengan lahap. Sementara perempuannya hanya menatap dengan perasaan takjub.

“Kamu gak mau nyoba?”
“Gak... Aku udah kenyang”
“Tapi, aku suka kalo liat kamu lagi makan. Geragas!” 
“Abis, memang begini dari sononya”
“Maaf ya...”
“ya, gak apa-apa. Aku tetap suka, kok”
“Sama, aku juga tetap sayang kamu”

Di sela-sela acara makan, tetiba dua orang pengamen muncul lengkap dengan gitar tua dan kerincingan. Sebelum lebih jauh mengganggu malam yang indah itu, segera disodorkannya duit dua ribu rupiah kepada mereka. Akhirnya, pengamen itu berlalu, persis ketika ia mulai tarik suara.

“Sayang, ada yang ingin aku katakan padamu”, ujar perempuan itu dengan suara terbata-bata.
“Ada apa, kok kayaknya berat bangat”
“Aku... Aku...”, ujarnya dengan mata berkaca-kaca
“Ya, kamu kenapa? Dipecat? Ada yang jahatin kamu? Atau...?”

Perempuan itu lalu menyodorkan sebuah benda kecil, berbahan plastik, yang di bagian tengahnya terdapat 2 garis kecil

“Aku hamil, sayang”

Sekeliling berubah sepi. Dingin!
*Membeku

--end--





No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN