Tuesday, October 20, 2015

Ber(jumpa) di Jalan Setapak

(simbol saja, sumber: https://bobchoat.files.wordpress.com)
Lama juga dia tak berkomunikasi dengan makhluk yang satu itu. Lebih dari beberapa waktu. Sejak komunikasi terakhir yang cenderung kisruh, dia memilih menjauh. Mengambil jarak pandang aman dan posisi yang lebih tinggi agar tak terseret arus utama yang tak tentu arah.

Namun hal itu belum seberapa, dibanding kejutan berikutnya. Kejutan yang membuat ia tak bisa lupa. Kejutan di siang bolong, tentang permintaan yang sejatinya tak banyak gunanya, apalagi membantu. Kejutan yang hanya menyisakan shock!

Kejutan itu memintanya segera berjarak. Tidak mengusik, apalagi mengganggu sesosok mahluk yang sejatinya tak ingin diusik. Mahluk yang jika marah bisa lebih sangar dari singa. Namun jika sedang senang hatinya, selembut domba.

Lalu, ia jelaskan secara singkat bahwa ia memang tidak sedang melakukan hal-hal diluar kepatutan. Seingatnya, semua masih dalam tahap wajar dan baik-baik saya. Tidak ada yang istimewa. Lagian ia sadar diri, siapa dia sesungguhnya. Manusia biasa, yang jauh dari sempurna.

Jika pun ada hal-hal yang dianggap keterlaluan, tak lebih dari ekspresi rasa takjub dan respect saja. Namun jika tetap tak berkenan, maka atas nama pribadi ia minta maaf. Selain itu, semua hal harus dipertanggungjawabkan dan diselesaikan secara baik.

Selanjutnya, ia membuka ruang, seandainya ada hal-hal yang ingin ditanyakan. Hal-hal yang mungkin belum begitu clear, dia siap untuk berdiskusi, namun dengan kepala dingin dan akal sehat tentunya. 

Tanpa bermiat membela diri, ia mengaku salah. Dan ia tidak berniat melakukannya lagi, meskipun melupakan itu sulit dan mengingatnya membuat semua menjadi lebih buruk. Tapi sudahlah. Harus usaha. 

Sejatinya, sempat terpikir untuk menyentuh makhluk itu, sekedar tuk pastikan bahwa ia baik-baik saja sembari meminta maaf. Namun mencari waktu yang pas sepertinya sulit. Dan jika pun dipaksakan, kesan pembenaran selalu muncul. Karenanya, ia putuskan memilih diam. Untuk saat ini. Ntah kalo nanti.

Jujur, dia akui mahluk itu emang istimewa. Sedikit berbeda dengan mahkluk pada umumnya. Bisa jadi karena matanya, atau cara mengaumnya yang agak unik. Pun, pola-pola cakarannya yang indah. Namun jika cakarnya menancap terlalu lama, dampak yang ditimbulkannya sangat berbahaya. Tetanus stadium lima. Tinggal menunggu mati.

Mahluk itu, selintas biasa saja. Namun ntah mengapa ia bisa ada disitu. Di ruang tanpa dinding dan tak berbatas waktu. Ntah, darimana ia berasal? Tak banyak yang tahu. Dan kalaupun ada, tak lebih dari info permukaan saja. Tidak terlalu dalam.

Pola gerakannya yang lincah, membuat makhluk lain yang berbeda jenis tak terasa terganggu. Bahkan tak jarang, ketika ia pergi, banyak yang kehilangan lalu bertanya, dimana ia berada. Ia hadir memang memberi warna. Tentang sebuah pesona. Tentang keindahan juga.

***
Malam itu, tanpa rekayasa, tanpa paksaan, di jalan setapak mereka berpapasan. Seperti biasa, saling bertegur sapa. Lalu saling memanggil nama, sebagai sinyal komunikasi dua arah.

Tidak ada yang istimewa. Sebelum akhirnya, si makhluk menawarkan cakaran terakhirnya. Cakaran yang akhir-akhir ini sulit tuk dibedakan, yang mana miliknya dan mana yang bukan. Kendati demikian, jika ditelusuri dengan seksama, akan terlihat pembedanya.

"ya, nanti akan ku cek', sahutnya ketika si makhluk menawarkan cakaran baru sebagai pembuka dialog.

Oh ya, sejak seminggu kemarin... ups, bukan, minggu-minggu sebelumnya lebih tepatnya, ia memang lupa tuk melirik sarangnya yang kecil dan teduh itu. Bisa jadi, karena sedang malas saja. Malas untuk mengingatnya.

Saat itu, si makhluk sepertinya mulai berubah. Ada yang berbeda. Dia tak lagi sama. Sejak... Ups. Udah ah, gak usah dijelasin disini. Takut akan menimbulkan mis-persepsi dan munculkan kegaduhan baru.

Baginya, kini si makhluk tak lagi bersinar. Kadarnya turun 5 bar dari sebelumnya. Karena itu, niat tuk berjarak semakin kuat. Dan sepertinya si makhluk memang tak ingin diganggu, apalagi digoda. Tapi apapun itu, penilaian ini sangat subjektif. Bisa jadi salah.

Namun yang pasti, berpapasan seperti malam itu terbilang langka. Bercengkrama dalam tempo yang lebih lama, sungguh anugerah tak terkira yang layak disyukuri. Dan uniknya, usai bertemu, kembali ia menemukan corak khas si makhluk yang sesungguhnya.

Ciri khas yang sulit tuk dideskripsikan dengan kata-kata. Penanda hanya bagi mereka yang paham dan mengenal dengan baik, satu dengan yang lainnya. Karakter sesungguhnya yang tak banyak orang tahu.

Dan malam itu, usai bertegursapa, mereka pun terdiam, seakan saling sadar akan kondisi yang terjadi. Kondisi yang berujung pada sengkarut rusuh. Dan atas insiden itu, sekali lagi ia meminta maaf.

Oh ya, sebelum beranjak pergi, satu yang ia ingat ketika si makhluk berujar: 
"gw jadi gak enak denganmu"

Lalu ia jawab di dalam hati:
"no problem! tapi mengapa tak kau katakan sejak awal. Hah!"

Singkatnya, dari pertemuan itu ia tahu, bahwa kondisi itu bukan salahnya, bukan pula salah si makhluk ajaib. Jadi salahnya siapa? Salahnya mereka yang keliru menangkap makna. Karena itu maafkanlah! 

-EnD-

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN