(Rencana Reklamasi Teluk Jakarta. Sumber: http://www.dutchwatersector.com) |
Beberapa waktu lalu seorang sahabat mengirimkan link berita tentang Kepulaun Seribu lewat Whatsapp. Link itu berkisah tentang rencana Pemerintah DKI yang ingin menyulap Kepulauan Seribu menjadi salah satu lokasi wisata andalan Jakarta.
Sebagai seorang pengunjung yang sering bolak balik ke Kepulauan Seribu, link berita itu sangat menggoda. Maklum, saya belum tahu dan belum pernah dengar seperti apa konsep yang ditawarkan oleh Pemprov DKI terkait hal itu. Sementara di sisi lain, para aktivis lingkungan telah melakukan banyak kegiatan di Kepulauan Seribu sebagai bagian dari konservasi sumberdaya alam dan peningkatan kapasitas penduduk yang selama ini terkesan agak terpinggirkan.
Sebagai seorang pengunjung yang sering bolak balik ke Kepulauan Seribu, link berita itu sangat menggoda. Maklum, saya belum tahu dan belum pernah dengar seperti apa konsep yang ditawarkan oleh Pemprov DKI terkait hal itu. Sementara di sisi lain, para aktivis lingkungan telah melakukan banyak kegiatan di Kepulauan Seribu sebagai bagian dari konservasi sumberdaya alam dan peningkatan kapasitas penduduk yang selama ini terkesan agak terpinggirkan.
Balik lagi, di link berita itu disebutkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok siap membantu pemerintah pusat agar fokus pada pembangunan destinasi wisata kepulauan. Dan Kepulauan Seribu akan disulap menjadi salah satu destinasi wisata andalan Jakarta. Mirip-mirip Maladewa.
"Destinasi wisata kita lagi kerjain, kita sudah dorong izin semua dipercepat. Supaya bisa diperbarui. Kementerian Maritim sudah minta untuk fokuskan disini. Kementerian Pariwisata sudah fokuskan Kepulauan Seribu," tutur Ahok saat berkunjung ke Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, seperti dikutip dari salah satu portal berita online.
Sebagai bentuk keseriusannya di sektor pariwisata, Ahok telah membuka ruang sebesar-besarnya bagi para investor (pengembang) untuk berlomba mempercantik Kepulauan Seribu. Soal izin pengelolaan, secepatnya akan diproses melalui Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta.
Selain itu, Ahok menjamin proses perizinan pengelolaan, asal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dimana kepulauan tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dimiliki dengan status perorangan.
Tak hanya itu, dalam waktu dekat, pemerintah pusat juga akan memperpanjang landasan pacu bandar udara di Pulau Panjang dari 800 meter menjadi 1.500 meter. Infrastruktur tersebut akan dilengkapi dengan pembangunan beberapa pelabuhan di Kepulauan Seribu.
***
Selain ingin menjadikan Kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata internasional, Pemprov DKI akan membuka peluang sebesar-besarnya bagi para pengembang untuk mereklamasi pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Bahkan, Ahok berani menjamin kelancaran para pengembang untuk memproses izin reklamasi tersebut.
"Seluruh pulau boleh direklamasi dan boleh dibangun vila, asal seluruhnya sertifikat kepemilikan Pemprov DKI," ungkap Ahok.
Jujur, saat membaca berita itu, saya sedih. Sedih, karena membayangkan masyarakat menjadi pihak yang akan dirugikan jika megaproyek itu dilaksanakan. Berkaca dari kasus-kasus yang pernah ada, ketika pengembang mengambil alih lokasi-lokasi strategis untuk dijadikan resort ataupun tempat penginapan mewah, maka secara perlahan penduduk lokal akan tersingkir. Atau, jika pun tetap bertahan, maka akan ada pemandangan yang kontradiktif di pulau yang direklamasi itu. Selanjutnya berpotensi timbul konflik horizontal.
Di sisi lain, reklamasi akan menghasilkan desain bentuk-bentuk pulau yang berbeda seperti sekarang ini. Bisa jadi akan ada kanal dalam jarak tertentu yang harus memperhatikan pipa dan kabel bawah laut.
Masih terkait reklamasi, sebelumnya terdengar kabar Pemrov DKI akan mereklamasi 17 pulau di sekitaran teluk Jakarta. Diberitakan jika proyek 17 pulau sudah mendapat izin resmi. Sayangnya, izin yang dikeluarkan Pemprov DKI itu dianggap melampaui wewenang, karena wilayah pesisir, pulau-pulau kecil di teluk Jakarta telah ditetapkan sebagai kawasan "Strategis Nasional", sehingga izin proyek harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sedangkan Ahok berkeras izin proyek reklamasi 17 pulau berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 tahun 2014, Peraturan Daerah (Perda) DKI Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang (RTRW) dan Perda DKI Jakarta nomor 6 tahun 1999 tentang RTRW Jakarta.
Selain itu, setahu saya, hingga saat ini belum ada aturan terkait zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dan untuk menyusun aturan terkait zonasi dibutuhkan beberapa tahapan, seperti mencocokkan hasil temuan lapangan dan penelitian akademis terkait pengembangan kawasan yang akan direklamasi. Singkatnya, langkah untuk melakukan reklamasi masih sangat panjang dan tidak mudah dilakukan.
***
Reklamasi 17 pulau di seputaran teluk Jakarta sejatinya telah digagas sejak 1985. Pertama kali dilakukan oleh Ancol mulai dari Pantai Mutiara. Selanjutnya pada tahun 1994, pemerintah mengeluarkan ide Waterfront City. Kawasan utara harus dikembangkan, salah satunya adalah dengan melakukan reklamasi. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 Tahun 1995 tentang pengembangan Pantai Utara Jakarta.
Diyakini reklamasi akan menghasilkan sesuatu yang baik, selama pihak pengembang harus mengikuti peraturan yang berlaku. Pasalnya, jika kondisi Jakarta terus dibiarkan seperti sekarang ini, maka lama kelamaan Jakarta akan ditinggalkan. Orang-orang akan lari ke Selatan, dan Puncak. Oleh karena itu, pembangunan di kawasan utara harus dilakukan, sekaligus menata kondisi Teluk Jakarta agar menjadi lebih baik lagi.
Harapannya, penataan di kawasan Teluk Jakarta akan memunculkan daratan yang lebih luas. Selanjutnya, dengan munculnya pantai, maka kawasan publik akan bertambah. Reklamasi pun dianggap sebagai jawaban akan beban kota Jakarta yang kian rapuh.
***
Sejauh ini, proyek rekmasi 17 pulau telah menuai kritik, mulai dari perizinan, aspek teknis, sosial, budaya, dan lingkungan. Proyek tersebut dinilai dapat merusak lingkungan dan habitat hewan laut.
Namun sebelum bicara terlalu jauh tentang reklamasi, menurut saya agak sulit diterima akal jika pengembang akan mereklamasi 17 pulau di Kepualauan Seribu. Pasalnya, reklamasi 17 pulau dan reklamasi Kepulauan Seribu merupakan dua hal yang berbeda. Menurut saya, reklamasi 17 pulau tidak dilakukan di wilayah kepulauan seribu. Kalaupun reklamasi dilakukan di Kepulauan Seribu, pastinya di pulau-pulau tertentu saja setelah melalui pertimbangan matang.
Sementara itu, kebijakan reklamasi wajib memperhatikan banyak aspek, baik secara teknis dan non teknis. Faktor teknis yang terkait fisik dan non teknis seperti dampak hidroceanografi, hidrodinamika dan sosial ekonomi jadi catatan serius yang tak boleh dianggap enteng. Oleh sebab itu, jika reklamasi tetap ingin dilakukan, Pemerintah DKI harus menyiapkan prosedur yang sangat ketat dan bertahap kepada pengembang yang melakukan reklamasi.
Di sisi lain, ada beberapa dampak yang perlu diperhatikan, yakni perubahan bentang alam dan ekosistem yang dapat berdampak pada hal-hal lain bila dilakukan secara serampangan. Contohnya adalah keberadaan hutan lindung mangrove di selatan Kepulauan Seribu yang dikhawatirkan akan mengalami kerusakan. Pasalnya, mangrove merupakan habitat bagi burung-burung air.
Diketahui burung air datang dari Australia, terbang ke sekitar Bali, lalu menuju Cirebon, dan mampir ke hutan mangrove di Kepulauan Seribu. Setelah itu burung-burung ini terbang lagi memutari Asia. Karena burung itu dilindungi undang-undang, maka habitat mangrove harus tetap ada sebagai tempat transit mereka. Dan nyatanya, hingga saat ini burung-burung air itu masih tetap ada.
***
Fakta menunjukkan, proyek reklamasi yang pernah dilakukan di teluk Jakarta telah menimbulkan dampak negatif. Salah satunya, temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta. Walhi Jakarta mencatat akibat masifnya pembangunan pulau rekayasa, sudah 4 pulau di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu, hilang.
Hilangnya 4 pulau itu sangat mengkhawatirkan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi Kepulauan Seribu dan kelangsungan nasib 26.000 masyarakat penghuninya. Karena itu, Walhi Jakarta menuntut Pemprov DKI Jakarta segera mencabut SK Gubernur Nomor 2388 tentang izin reklamasi Pulau G atau Pluit City, dan tidak melanjutkan reklamasi di Teluk Jakarta.
Sejak ground breaking dilakukan pada Oktober 2013 lalu, pembangunan tanggul A dan reklamasi Teluk Jakarta terus berjalan. Pernyataan Ahok yang mengaku menolak reklamasi ternyata tidak terbukti dengan keluar SK itu.
Sebelumnya diketahui, reklamasi Pluit City terus berlanjut. Kepastian itu didapatkan setelah Gubernur Provinsi DKI mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi Pluit City (Pulau G) yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014, tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Dengan dikeluarkannya izin tersebut, PT Muara Wisesa Samudra, entitas anak PT Agung Podomoro Land Tbk, dapat melaksanakan kegiatan reklamasi Pluit City. Adapun pelaksanaan reklamasi yang dimaksudkan dalam keputusan Gubernur DKI Jakarta terbatas pada pembangunan tanggul penahan, pengurukan material, dan pematangan lahan hasil reklamasi untuk pembentukan pulau baru.
Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membantah hilangnya pulau disebabkan oleh reklamasi. Menurutnya, 4 pulau itu hilang karena sudah lama tenggelam. Sehingga ketika air laut pasang datang, maka pulau itu akan tenggelam.
Lebih lanjut, Ahok menilai, hilangnya pulau bukan disebabkan karena pembangunan tanggul A melainkan karena reklamasi yang telah dilaksanakan bertahun-tahun. Sehingga dia memberi izin pengembang untuk melakukan reklamasi. Hal itu diyakini justru dapat mengembalikan pulau-pulau yang sudah lama hilang.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa mengoptimalkan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu tidaklah strategis untuk pengembangan pembangunan DKI Jakarta. Pasalnya, pengoptimalan itu tidak terlalu efektif untuk dijadikan tempat tinggal jika penghuninya bekerja di Jakarta.
Selain itu, pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu juga tidak terlalu luas. Sementara jika dilakukan reklamasi 17 pulau, setidaknya hanya akan menghasilkan 5.000 ha tanah daratan baru. Sementara pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu hanya cocok untuk dijadikan pengembangan tempat wisata. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment