Bagi mereka yang pernah
mendatangi wilayah kepala burung Papua, pastinya setuju jika provinsi terbaru
papua itu dinobatkan sebagai kawasan
konservasi yang harus dilindungi dan dilestarikan. Bayangin aja, di wilayah
perairan laut Papua Barat yang juga dikenal dengan Bentang Laut Kepala Burung
(BLKB) merupakan pusat keanekaragaman hayati laut, yang juga merupakan jantung segitiga karang dunia.
Data
terakhir yang dimiliki oleh Provinsi Papua Barat menyebut Bentang Laut
Kepala Burung (BLKB) memiliki keragaman karang tertinggi di dunia, dengan lebih
dari 1720 spesies ikan karang dan 600 karang scleractinia (sekitar 75% dari
total yang ada dunia).
Di
BLKB juga terdapat habitat penting spesies laut yang terancam punah,
termasuk penyu dan cetacea. Potensi daratan di Papua Barat juga tidak kalah
menarik. Hutan yang masih alami menjadi tempat tinggal 657 burung, 191 jenis
mamalia darat, 130 jenis katak, dan 151 jenis ikan air tawar.
Sebagai wilayah yang dianugerahi sumberdaya alam yang melimpah, Papua Barat tidak menginginkan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah lain di Indonesia terjadi di surga Papua. Praktik pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara bijak, hati-hati, tidak eksploitaf dan harus dapat memberikan keadilan sosial dan lingkungan secara terus menerus.
Sebagai wilayah yang dianugerahi sumberdaya alam yang melimpah, Papua Barat tidak menginginkan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah lain di Indonesia terjadi di surga Papua. Praktik pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara bijak, hati-hati, tidak eksploitaf dan harus dapat memberikan keadilan sosial dan lingkungan secara terus menerus.
Pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab dalam
mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan lestari. Itu sebabnya ide deklarasi provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi menjadi penting dilakukan. Hal itu menjadi dasar untuk pengembangan kebijakan pembangunan secara bijaksana dan
berkelanjutan.
Sementara itu, kunjungan wisatawan terbanyak di Provinsi Papua Barat adalah ke kawasan perairan Raja Ampat. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat
mencatat, sejak tahun 2007 hingga 2013, terjadi peningkatan jumlah wisatawan
asing sekitar 1.000 hingga 1.500 orang. Sedangkan pada tahun 2014, jumlah
wisatawan asing meningkat hingga lebih dari 2000 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, total wisatawan lokal maupun asing telah mencapai 14.000 orang pada tahun 2014. Sebanyak 90 persen diantaranya merupakan wisatawan asing. Kebanyakan berasal dari Amerika, namun pada tahun 2014 jumlah wisatawan Tiongkok dan Rusia juga mengalami peningkatkan.
Raja Ampat sendiri ramai dikunjungi wisatawan mulai bulan Oktober hingga April, dan puncaknya pada Desember hingga Januari. Sementara low seasons berlangsung antara Mei hingga Agustus.
Untuk memasuki Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat, setiap wisatawan dikenakan Tarif Layanan Pemeliharaan Jasa Lingkungan (TLPJL) sebesar Rp.500 ribu untuk wisatawan lokal, dan Rp.1 juta untuk wisatawan asing.
Wisatawan kemudian akan memperoleh kartu tanda masuk yang berlaku selama setahun. Kartu tersebut dapat diperoleh di Kantor Pusat Informasi Konservasi dan Pariwisata Raja Ampat di Sorong dan ibu kota Raja Ampat Waisai.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat terkuak ketika seorang penyelam berkebangsan Belanda, Max Ammer mengunjungi kawasan itu di tahun 90-an. Saat itu, Max berniat menyelam untuk mencari kapal dan pesawat yang karam pada masa Perang Dunia II.
Penelusurannya itu sangat berkesan, sehingga pada tahun 1998 ia mengajak Gerry Allen, seorang ahli ikan (Ichthyologist) asal Australia. Mereka lalu mengadakan survei identifikasi biota laut. Gerry Allen sangat terkejut ketika menemukan sumberdaya laut yang beragam dalam jumlah yang sangat besar di kawasan itu.
Gerry Allen kemudian menghubungi Conservation International (CI) untuk mengadakan survei kekayaan bawah laut lebih detil di perairan Raja Ampat pada tahun 2001 dan 2002. Hasil survei mereka membuktikan bahwa perairan Raja Ampat merupakan kawasan terumbu karang yang paling kaya dengan kekayaan biota laut terbesar di dunia.
Beruntung
Beberapa tahun lalu, saya beruntung bisa menyambangi kawasan Papua Barat untuk melihat dari dekat keindahan bawah lautnya yang mempesona dan kesohor hingga mancanegara. Yup, apa lagi kalo bukan Raja Ampat.
Dalam 1 dekade terakhir, keindahan bawah laut Raja Ampat telah diakui internasional sebagai salah satu dari 10 situs penyelaman terbaik di dunia. Dengan total luas wilayah perairan dan darat yang mencapai 40.000 km2, sebanyak 80%nya merupakan perairan. Dari kawasan perairan itu, riset LIPI menemukan sedikitnya ada 1500 spesies ikan, 537 spesies koral, dan 699 hewan tak bertulang belakang.
Data-data itu ternyata tidak hanya sebatas deretan angka, ketika saya masuk lebih dalam ke perairan hangat Raja Ampat. Pasalnya, begitu menyelam, saya menyaksikan aneka jenis terumbu karang. Berjenis-jenis ikan juga tak kalah heboh bersileweran, seakan mengajak tuk berdansa.
Saat itu, menginap diatas kapal atau dikenal dengan istilah LOB (Live a Board) menjadi pilihan pas untuk menikmati keindahan Raja Ampat. Maklum, dengan luas 40.000 km2, tentunya sulit menjelajahinya dalam waktu singkat, apalagi ratusan pulau karang mengelilingi kawasan itu.
Dengan LOB saya bisa berkunjung ke banyak spot penyelaman terbaik di Raja Ampat. Dari beberapa lokasi, yang paling saya ingat adalah Mioskon, Blue Magic, Sarden Reef, Arborek Jety dan Hidden Bay. Saya mengingatnya, karena lokasi menyelam itu memiliki karakter yang berbeda-beda.
Di Mioskon, yang saya ingat adalah lokasi menyelam yang dekat dengan pulau Mioskon. Di tempat itu, saya menyaksikan aneka jenis ikan ditingkahi berjenis-jenis koral, baik yang hard coral maupun soft coral. Bagi pemula, spot Mioskon layak untuk diselami, karena lautnya relatif tenang tanpa arus.
Sementara di Blue Magic, saya harus berjuang untuk bisa memotong arus. Dari beberapa teman yang turun menyelam, hanya sedikit yang berhasil melaluinya. Sementara sisanya ikut terseret arus yang menghantarkan mereka ke permukaan. Arusnya sendiri mulai berasa di kedalaman 15 meter. Di tempat itu, tak banyak yang bisa dilakukan, selain nge-hook sambil menikmati berjenis-jenis ikan berjuang melawan arus.
Sarden Reef, merupakan spot menyelam yang paling berkesan bagi saya. Pasalnya, dari sekian banyak penyelam saat itu, hanya 4 orang (baca; termasuk saya) yang berhasil melaluinya. Perjuangan yang tak kenal lelah membuat saya berhasil memotong arus sebelum akhirnya tiba di lokasi luas yang kaya dengan aneka jenis biota laut. Saat itu, di kedalaman 27 meter, arus yang kencang benar-benar sirna, berganti dengan schooling aneka jenis ikan. Salah satunya adalah Baracuda.
Oh ya, saat itu, saya juga menemukan penyelam asing yang sedang sibuk mengabadikan biota laut dalam ukuran kecil (micro) menggunakan kamera video di kedalaman 29 meter. Saya gak tahu, dari mana mereka masuk. Feeling saya, mereka masuk lewat jalur belakang, yang tidak begitu ber-arus. Maklum membawa masuk kamera segede gambreng tentunya menyulitkan, ketika harus berjuang melawan arus yang sangat kencang.
Lokasi lain yang tak kalah seru adalah Arborek Jety. Di lokasi itu, kami melakukan penyelaman pada malam hari (night dive). Pengalaman yang menarik adalah ketika bertemu Wobbegong (hiu pipih berjanggut). Wobbegong merupakan hiu dengan nama ilmiah Orectolobus leptolineatus. Dengan motif totol-totol cokelat dan badan yang pipih, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dasar lautan.
Sementara itu, total wisatawan lokal maupun asing telah mencapai 14.000 orang pada tahun 2014. Sebanyak 90 persen diantaranya merupakan wisatawan asing. Kebanyakan berasal dari Amerika, namun pada tahun 2014 jumlah wisatawan Tiongkok dan Rusia juga mengalami peningkatkan.
Raja Ampat sendiri ramai dikunjungi wisatawan mulai bulan Oktober hingga April, dan puncaknya pada Desember hingga Januari. Sementara low seasons berlangsung antara Mei hingga Agustus.
Untuk memasuki Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat, setiap wisatawan dikenakan Tarif Layanan Pemeliharaan Jasa Lingkungan (TLPJL) sebesar Rp.500 ribu untuk wisatawan lokal, dan Rp.1 juta untuk wisatawan asing.
Wisatawan kemudian akan memperoleh kartu tanda masuk yang berlaku selama setahun. Kartu tersebut dapat diperoleh di Kantor Pusat Informasi Konservasi dan Pariwisata Raja Ampat di Sorong dan ibu kota Raja Ampat Waisai.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat terkuak ketika seorang penyelam berkebangsan Belanda, Max Ammer mengunjungi kawasan itu di tahun 90-an. Saat itu, Max berniat menyelam untuk mencari kapal dan pesawat yang karam pada masa Perang Dunia II.
Penelusurannya itu sangat berkesan, sehingga pada tahun 1998 ia mengajak Gerry Allen, seorang ahli ikan (Ichthyologist) asal Australia. Mereka lalu mengadakan survei identifikasi biota laut. Gerry Allen sangat terkejut ketika menemukan sumberdaya laut yang beragam dalam jumlah yang sangat besar di kawasan itu.
Gerry Allen kemudian menghubungi Conservation International (CI) untuk mengadakan survei kekayaan bawah laut lebih detil di perairan Raja Ampat pada tahun 2001 dan 2002. Hasil survei mereka membuktikan bahwa perairan Raja Ampat merupakan kawasan terumbu karang yang paling kaya dengan kekayaan biota laut terbesar di dunia.
Beruntung
Beberapa tahun lalu, saya beruntung bisa menyambangi kawasan Papua Barat untuk melihat dari dekat keindahan bawah lautnya yang mempesona dan kesohor hingga mancanegara. Yup, apa lagi kalo bukan Raja Ampat.
Dalam 1 dekade terakhir, keindahan bawah laut Raja Ampat telah diakui internasional sebagai salah satu dari 10 situs penyelaman terbaik di dunia. Dengan total luas wilayah perairan dan darat yang mencapai 40.000 km2, sebanyak 80%nya merupakan perairan. Dari kawasan perairan itu, riset LIPI menemukan sedikitnya ada 1500 spesies ikan, 537 spesies koral, dan 699 hewan tak bertulang belakang.
Data-data itu ternyata tidak hanya sebatas deretan angka, ketika saya masuk lebih dalam ke perairan hangat Raja Ampat. Pasalnya, begitu menyelam, saya menyaksikan aneka jenis terumbu karang. Berjenis-jenis ikan juga tak kalah heboh bersileweran, seakan mengajak tuk berdansa.
Saat itu, menginap diatas kapal atau dikenal dengan istilah LOB (Live a Board) menjadi pilihan pas untuk menikmati keindahan Raja Ampat. Maklum, dengan luas 40.000 km2, tentunya sulit menjelajahinya dalam waktu singkat, apalagi ratusan pulau karang mengelilingi kawasan itu.
Dengan LOB saya bisa berkunjung ke banyak spot penyelaman terbaik di Raja Ampat. Dari beberapa lokasi, yang paling saya ingat adalah Mioskon, Blue Magic, Sarden Reef, Arborek Jety dan Hidden Bay. Saya mengingatnya, karena lokasi menyelam itu memiliki karakter yang berbeda-beda.
Di Mioskon, yang saya ingat adalah lokasi menyelam yang dekat dengan pulau Mioskon. Di tempat itu, saya menyaksikan aneka jenis ikan ditingkahi berjenis-jenis koral, baik yang hard coral maupun soft coral. Bagi pemula, spot Mioskon layak untuk diselami, karena lautnya relatif tenang tanpa arus.
Sementara di Blue Magic, saya harus berjuang untuk bisa memotong arus. Dari beberapa teman yang turun menyelam, hanya sedikit yang berhasil melaluinya. Sementara sisanya ikut terseret arus yang menghantarkan mereka ke permukaan. Arusnya sendiri mulai berasa di kedalaman 15 meter. Di tempat itu, tak banyak yang bisa dilakukan, selain nge-hook sambil menikmati berjenis-jenis ikan berjuang melawan arus.
Sarden Reef, merupakan spot menyelam yang paling berkesan bagi saya. Pasalnya, dari sekian banyak penyelam saat itu, hanya 4 orang (baca; termasuk saya) yang berhasil melaluinya. Perjuangan yang tak kenal lelah membuat saya berhasil memotong arus sebelum akhirnya tiba di lokasi luas yang kaya dengan aneka jenis biota laut. Saat itu, di kedalaman 27 meter, arus yang kencang benar-benar sirna, berganti dengan schooling aneka jenis ikan. Salah satunya adalah Baracuda.
Oh ya, saat itu, saya juga menemukan penyelam asing yang sedang sibuk mengabadikan biota laut dalam ukuran kecil (micro) menggunakan kamera video di kedalaman 29 meter. Saya gak tahu, dari mana mereka masuk. Feeling saya, mereka masuk lewat jalur belakang, yang tidak begitu ber-arus. Maklum membawa masuk kamera segede gambreng tentunya menyulitkan, ketika harus berjuang melawan arus yang sangat kencang.
Lokasi lain yang tak kalah seru adalah Arborek Jety. Di lokasi itu, kami melakukan penyelaman pada malam hari (night dive). Pengalaman yang menarik adalah ketika bertemu Wobbegong (hiu pipih berjanggut). Wobbegong merupakan hiu dengan nama ilmiah Orectolobus leptolineatus. Dengan motif totol-totol cokelat dan badan yang pipih, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dasar lautan.
Wabegong
sendiri merupakan ciri khas Raja Ampat. Bagi mereka yang pernah melihat
wobbegong, berarti telah sah berkunjung di Raja Ampat. Uniknya, berbeda dengan
hiu yang lain, Wabegong tidak gampang terusik dengan kehadiran penyelam. Ia
akan tetap berada di dasar sembari menunggu mangsa yang lewat.
Oh ya, hal unik lain yang saya saksikan saat itu adalah bertemu hiu berjalan dengan ukuran kecil. Hiu berjalan terkenal jinak. Cara pernapasannya pun berbeda. Golongan hiu ini hanya memakan udang, kepiting, dan hewan-hewan kecil lainnya.
Hingga kini, baru ada sembilan spesies hiu berjalan yang ditemukan. Enam dari sembilan spesies tersebut ditemukan di wilayah Indonesia, sementara tiga lainnya tersebar terbatas di wilayah Papua Niugini dan utara Australia.
Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah Hemiscyllum ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H freycineti), Australia pada 1843 (H trispeculare), dan Papua Nugini pada 1967 (H hallstromi dan H strahani).
Hiu berjalan yang berhabitat di laut dangkal merupakan hiu yang lebih modern dari hiu perenang yang hidup di laut dalam. Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal. Dahulu, ilmuwan menyebutnya sebagai hiu tokek, karena caranya berjalan mirip tokek.
Provinsi Konservasi
Baru-baru ini, dalam acara perayaan ulang tahun Provinsi Papua Barat ke-16 di Manokwari, pemerintah setempat sepakat mendeklarasikan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi. Peresmian itu sebagai upaya memastikan keberlanjutan kegiatan konservasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung Papua senantiasa terpelihara.
Deklarasi Provinsi Konservasi itu ditandatangani oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi serta para bupati dan walikota di wilayah Provinsi Papua Barat. Provinsi Konservasi merupakan inisiatif dari gubernur Papua Barat untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, yang menjadi modal dasar pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi menjadikannya sebagai provinsi konservasi pertama di Indonesia bahkan di dunia. Bentuk dari perwujudan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi sedang disusun dalam bentuk regulasi pemerintah setempat. Implementasinya sedang disiapkan oleh Pokja Provinsi Konservasi.
Pembentukan Pokja Provinsi Konservasi didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Papua Barat No.522.5/123/6/2015 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Provinsi Konservasi Papua Barat. Adapun anggota dari kelompok kerja terdiri dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, Majelis Rakyat Papua Barat, DPRD Provinsi Papua Barat, Universitas Negeri Papua, dan LSM (Conservation International, The Nature Conservancy, World Wildlife Fund).
“Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi menjadi momentum untuk selalu menjaga dan mengelola sumberdaya alam Papua Barat secara bijak dan berkelanjutan, sehingga senantiasa terpelihara demi kehidupan saat ini maupun generasi akan datang,” ujar Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O. Atururi, seperti dalam rilis yang saya terima.
Harapannya, Provinsi Papua Barat dapat berkembang dan mampu meningkatkan pemerataan pembangunan serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Provinsi Papua Barat juga tidak boleh kehilangan jati diri, dan tidak boleh kehilangan budaya. Pun termasuk tidak boleh kehilangan keindahan alam yang melegenda harus terus dijaga dan dilestarikan. (jacko agun)
Oh ya, hal unik lain yang saya saksikan saat itu adalah bertemu hiu berjalan dengan ukuran kecil. Hiu berjalan terkenal jinak. Cara pernapasannya pun berbeda. Golongan hiu ini hanya memakan udang, kepiting, dan hewan-hewan kecil lainnya.
Hingga kini, baru ada sembilan spesies hiu berjalan yang ditemukan. Enam dari sembilan spesies tersebut ditemukan di wilayah Indonesia, sementara tiga lainnya tersebar terbatas di wilayah Papua Niugini dan utara Australia.
Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah Hemiscyllum ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H freycineti), Australia pada 1843 (H trispeculare), dan Papua Nugini pada 1967 (H hallstromi dan H strahani).
Hiu berjalan yang berhabitat di laut dangkal merupakan hiu yang lebih modern dari hiu perenang yang hidup di laut dalam. Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal. Dahulu, ilmuwan menyebutnya sebagai hiu tokek, karena caranya berjalan mirip tokek.
Provinsi Konservasi
Baru-baru ini, dalam acara perayaan ulang tahun Provinsi Papua Barat ke-16 di Manokwari, pemerintah setempat sepakat mendeklarasikan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi. Peresmian itu sebagai upaya memastikan keberlanjutan kegiatan konservasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung Papua senantiasa terpelihara.
Deklarasi Provinsi Konservasi itu ditandatangani oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi serta para bupati dan walikota di wilayah Provinsi Papua Barat. Provinsi Konservasi merupakan inisiatif dari gubernur Papua Barat untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, yang menjadi modal dasar pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi menjadikannya sebagai provinsi konservasi pertama di Indonesia bahkan di dunia. Bentuk dari perwujudan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi sedang disusun dalam bentuk regulasi pemerintah setempat. Implementasinya sedang disiapkan oleh Pokja Provinsi Konservasi.
Pembentukan Pokja Provinsi Konservasi didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Papua Barat No.522.5/123/6/2015 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Provinsi Konservasi Papua Barat. Adapun anggota dari kelompok kerja terdiri dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, Majelis Rakyat Papua Barat, DPRD Provinsi Papua Barat, Universitas Negeri Papua, dan LSM (Conservation International, The Nature Conservancy, World Wildlife Fund).
“Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai provinsi konservasi menjadi momentum untuk selalu menjaga dan mengelola sumberdaya alam Papua Barat secara bijak dan berkelanjutan, sehingga senantiasa terpelihara demi kehidupan saat ini maupun generasi akan datang,” ujar Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O. Atururi, seperti dalam rilis yang saya terima.
Harapannya, Provinsi Papua Barat dapat berkembang dan mampu meningkatkan pemerataan pembangunan serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Provinsi Papua Barat juga tidak boleh kehilangan jati diri, dan tidak boleh kehilangan budaya. Pun termasuk tidak boleh kehilangan keindahan alam yang melegenda harus terus dijaga dan dilestarikan. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment