Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi di Papua. Kali ini menimpa jurnalis tabloidjubi.com dan Koran Jubi di Jayapura, Abraham You yang akrab dipanggil Abeth You.
Menyikapi aksi itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, mengutuk keras sikap arogan polisi terhadap jurnalis. Kejadian itu bukan yang pertama dan kasus kekerasan terhadap terhadap jurnalis selalu berulang karena negara melalui aparat penegak hukum, terutama kepolisian, terus melakukan praktik impunitas yang membuat para pelaku tidak tersentuh hukum.
Saat kejadian, Abeth dicekik dan dipaksa naik ke truk polisi (Dalmas) karena memotret penganiayaan yang dilakukan anggota Polres Kota Jayapura terhadap aksi rohaniawan Katolik yang berdemonstrasi menuntut pengungkapan kasus “Paniai Berdarah” yang menewaskan 4 siswa di lapangan karel Gobay, Enarotali akhir Desember 2014. Aksi demonstrasi para rohaniawan itu dilakukan pada hari Kamis (8/10/2015).
Saat itu, kamera Abeth dirampas dan ia dipaksa menghapus semua file foto yang ada. Anggota polisi juga sempat mencekik lehernya dan menodongkan senjata, meski Abeth telah menunjukkan kartu persnya.
“Dari arah belakang truk, saya lihat beberapa frater menggunakan jubah coklat ikut diangkut ke dalam truk. Leher mereka dicekik. Saya dengan cepat mengambil beberapa foto kejadian itu. Tiba-tiba dari depan muncul 3 anggota polisi dengan laras panjang menodongkan senjata ke dada saya, dan satu orang lagi mencekik leher saya. Mereka membentak lalu meminta menghapus seluruh isi foto tadi,” papar Abeth.
Atas insiden itu, AJI Kota Jayapura menyesalkan tindakan aparat penegak hukum, dimana seharusnya polisi memahami dan menghargai profesi jurnalis. Apalagi dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh undang-undang.
Tindakan polisi itu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pers, khususnya Pasal 4 ayat 3 yang dengan jelas menyebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Lalu di pasal 8 ayat 1 mengatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Merujuk pada UU Pokok Pers itu, Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura mendesak polri menindak anggotanya yang melakukan penganiayaan terhadap Alberth You. AJI Kota Jayapura juga meminta Polri menjamin tidak akan ada lagi kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, terutama di Papua yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Terakhir, AJI Kota Jayapura menuntut Polri menegakkan keadilan dengan pengusutan tuntas peristiwa kekerasan terhadap Alberth You secara terbuka.
Polri Musuh Bersama Pers 2015
Aksi kekerasan yang dialami Alberth You semakin menegaskan bahwa Polri merupakan musuh utama pers. Dan tak salah jika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadikan polisi sebagai musuh utama terhadap kebebasan pers pada tahun ini.
Pernyataan sikap AJI itu dibacakan saat peringatan hari kemerdekaan pers sedunia 2015 yang digelar di Taman Menteng, Jakarta pusat, beberapa waktu lalu. Peringatan hari pers sedunia sendiri jatuh setiap 3 Mei.
Riset AJI menunjukkan bahwa dari 37 kasus kekerasan atas jurnalis sejak 3 Mei 2014 hingga 3 Mei 2015, pelaku kekerasan terbanyak adalah aparat kepolisian. Jumlahnya 11 kasus.
Selama ini sudah tak terhitung berapa banyak upaya yang dilakukan AJI untuk mendorong agar kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis segera diungkap. Namun sayang, tak ada satu pun pelaku kekerasan dari pihak kepolisian yang berhasil diadili dalam rentang waktu tersebut.
Ketika diwawancara, ketua umum AJI, Suwarjono mengatakan, dirinya khawatir apabila pelaku kekerasan dari pihak kepolisian tidak pernah diadili, akan memberi kesempatan kepada kelompok masyarakat lain, yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media, mengikuti apa yang dilakukan polisi.
"Dan semua kasus kekerasan atas jurnalis yang dilakukan polisi tidak pernah diselesaikan sampai ke jalur hukum. Karena itu kami khawatir jika ada yang mengikuti pola itu, karena mereka merasa tidak ada hambatan bila melakukan kekerasan," ujar Ketua umum AJI, Suwarjono pada saat peringatan Hari Pers se-Dunia beberapa waktu lalu.
Selain untuk polisi, musuh kebebasan pers juga diberikan kepada orang tak dikenal (6 kasus), satuan pengamanan atau keamanan (4 kasus), massa (4 kasus), dan orang dari berbagai macam profesi.
"Tapi polisi yang paling istimewa. Sebab, sejak penghargaan ini digelar tahun 2007, polisi menerima penghargaan serupa sebanyak empat kali, yakni pada 2010, 2012, 2013, dan 2015," pungkas Suwarjono.
Tak hanya itu, AJI juga mencatat, sejak 1992 hingga sekarang, setidaknya ada 1.123 jurnalis terbunuh dalam melakukan aktivitas kewartawanan di seluruh dunia. 19 di antaranya terjadi 2015 ini.
Sementara itu, sejak 1996 sampai 2010, terdapat 8 kasus kematian pers yang tidak pernah diusut hingga tuntas. Misalnya kasus Udin (wartawan Bernas tewas 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregar (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006).Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).
Dengan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknum polri, ditambah lagi lambatnya penanganan kasus, menunjukkan bahwa polisi telah gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Lalu, haruskah polri tinggal diam? Semoga saja tidak.
No comments:
Post a Comment