(Pelatihan Coral Finder di TNKS. foto: jacko agun) |
Dulu, hanya peneliti yang mampu mengidentifikasi jenis-jenis terumbu karang di dasar lautan. Jumlahnya pun tak banyak. Kini, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, seorang pemula sekalipun akan mampu mengidentifikasi jenis-jenis karang dengan menggunakan Coral Finder.
Data LIPI pada 2009 lalu menyebutkan, sebanyak 4% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi kritis, 46% diantaranya telah mengalami kerusakan, 33% kondisinya masih bagus dan kira-kira hanya 7 % yang kondisinya sangat bagus. Bertambahnya berbagai aktivitas manusia yarng berorientasi di daerah terumbu karang ternyata memberi dampak pada penurunan kualitas terumbu karang. Jika kegiatan yang berhubungan dengan terumbu karang tidak segera dihentikan maka persentase terumbu karang dengan kriteria kritis akan bertambah dengan cepat.
Saat ini perhatian terhadap ekosistem terumbu karang mulai banyak dilakukan. Hanya saja, jika dibandingkan dengan laju kerusakan yang terjadi, kerja-kerja cepat memang sangat dibutuhkan, agar terumbu karang sehat yang tersisi tidak semakin rusak.
Selain akibat aktivitas manusia, perubahan iklim dinilai menjadi faktor utama kerusakan karang yang menyebabkan stres, pemutihan, dan kematian karang. LIPI menyebutkan terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan permanen akibat perubahan iklim.
Selain akibat aktivitas manusia, perubahan iklim dinilai menjadi faktor utama kerusakan karang yang menyebabkan stres, pemutihan, dan kematian karang. LIPI menyebutkan terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan permanen akibat perubahan iklim.
Suhu di laut yang terus meningkat setiap tahun ditengarai mengakibatkan pemutihan massal terumbu karang. Sejak 1998, terumbu karang terus mengalami kerusakan secara permanen. Jika terserang pemutihan, maka persentase kematiannya bisa mencapai 60 sampai 90 persen.
Upaya-upaya konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang juga perlu dilakukan karena tekanan semakin besar seiring meningkatnya aktivitas pembangunan di wilayah pesisir. Belum lagi, terumbu karang berpotensi mengalami degradasi dengan berkembangnya wisata bahari.
Sementara itu, banyak yang tidak menyadari, bahwa kelangsungan hidup komunitas daerah pesisir dan usaha komersial yang mereka lakukan ternyata sangat bergantung dari kelangsungan hidup terumbu karang itu sendiri.
Mengenal Coral Finder
Berlokasi di Pulau Pramuka, belasan jurnalis yang tergabung dalam Eco Diver Journalist belajar tentang cara identifikasi terumbu karang menggunakan Coral Finder. Coral Finder merupakan alat bantu identifikasi yang dikembangkan oleh Russell Kelley dari Coral Identification Capacity Building Program (CICBP). Perangkat itu dinilai berhasil membantu identifikasi genus terumbu karang bahkan oleh pemula.
Coral Finder merupakan buku yang berisi foto-foto genera terumbu karang, dicetak pada 29 halaman berbahan dasar plastik tahan air. Buku itu dilengkapi dengan informasi tentang ciri-ciri fisik yang membedakannya dengan genera lainnya. Coral finder diklaim mampu mengidentifikasi 80 genus karang keras di Asia Pasifik.
“dengan Coral Finder kita bisa mendapatkan data genus karang secara akurat” ujar Rizya Ardiwijaya, Science Specialist TNC sekaligus pelatih penggunaan Coral Finder.
Rizya mengklaim, selama melatih penggunaan Coral Finder, para peserta yang merupakan pemula sekalipun akan mampu mengidentifikasi genera karang dengan benar.
“para pemula pasti akan bisa menentukan genus karang, asalkan mengikuti aturan yang berlaku”, ujar Rizya.
Belajar menggunakan Coral Finder akan lebih baik, jika pesertanya memiliki skil menyelam yang baik. Pasalnya, jika belum mahir, maka identifikasi akan sulit dilakukan.
“Untuk identifikasi dibutuhkan ketenangan. Sehingga jika menyelamnya belum baik, maka bukannya belajar mengidentifikasi karang, malah potensi merusak karang akibat gerakan berlebihan”, papar Rizya.
Buku Coral Finder sendiri terdiri dari beberapa bagian, yakni buku identifikasi karang sebagai alat utama mengidentifikasi dan dilengkapi dengan papan tulis (sabak) serta alat ukur dibagian atasnya. Selain itu, Coral Finder juga dilengkapi dengan Hook/ pengait yang berguna agar tidak terlepas dari tangan. Juga tak ketinggalan kaca pembesar sebagai alat bantu dalam melihat lebih jelas untuk mengukur besar koralit dari karang yang sedang kita amati.
“karena koralit (mata) karang sangat kecil, kita butuh kaca pembesar untuk melihatnya” ujar Rizya.
Penggunaan Coral Finder dilakukan dengan 3 langkah mudah. Pertama, perhatikan bentuk pertumbuhan karang tersebut (Branching, Meandering, Massive, Plates, dsb) pada kolom Key Group dalam CoralFinder.
Kedua, setelah menentukan bentuk pertumbuhannya, dipelukan pengukuran besar koralit pada karang tersebut. untuk langkah ini digunakan bantuan kaca pembesar dan penggaris/alat ukur.
“Setelah menentukan besar koralit karang yang diidentifikasi, maka akan langsung diarahkan pada halaman dimana terdapat jenis-jenis karang yang memiliki besar koralit yang diukur sebelumnya”, tutur Rizya yang juga hobi menyelam.
Ketiga, pada halaman yang sudah dirujuk, lihat dan cari gambar karang yang sesuai dengan karang yang sedang diamati. Jika terdapat kemiripan antar genus, kerucutkan pilihan menjadi 2 jenis saja.
“Untuk memilih genus yang tepat, terdapat kolom karakteristik pada tiap-tiap genus. Baca lalu pilih karang yang memiliki karakteristik yang sama dengan yang ada di Coral Finder”, ujar Rizya kemudian.
Jika sudah mampu mengidentifikasi jenis karang yang diamati, disarankan untuk membuka buku “Coral of The World” sebagai langkah verifikasi terkait jenis genus yang diamati untuk lebih meyakinkan.
“karena itu saya menyarankan dalam pengamatan karang di dalam laut, hendaknya dilengkapi dengan foto atau video, sehingga jenis karangnya teridentifikasi dengan jelas. Bila masih kurang yakin, tak ada salahnya berdiskusi dengan ahlinya”, ungkap Rizya.
Konservasi Berbasis Masyarakat.
Sinyal positif menjadi output dari konservasi berbasis masyarakat. Selain memastikan upaya perlindungan berbagai keanekaragaman hayati lebih efektif, hal itu juga terbukti mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS), Jakarta, misalnya. Masyarakat diarahkan untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekowisata seperti adopsi karang di bawah bimbingan Balai TNLKpS, unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dampaknya masyarakat memiliki alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan dan kesehatan terumbu karang bisa terjaga.
Harmoni tersebut terpantau di sela Pelatihan Identifikasi Kesehatan Terumbu Karang yang diselenggarakan Ecodiver Journalist, 23-34 Mei 2015. Mahmudin (50 tahun), salah satu tokoh masyarakat di Pulau Pramuka, menuturkan kegiatan adopsi karang bermula pada awal tahun 2000-an. Saat itu salah satu mata pencaharian masyarakat adalah mengambil terumbu karang di alam dan menjualnya kepada pengepul sebagai pelengkap akuarium.
“saat itu, petugas selalu melarang, tapi mengambil terumbu karang adalah sumber pendapatan kami ” kata May, panggilan akrab Mahmudin.
Balai TNLKpS kemudian mencoba pendekatan baru. Masyarakat dilatih untuk melakukan penangkaran karang. Mereka diperbolehkan memperdagangkan karang hasil penangkaran dengan syarat merupakan keturunan kedua (F2). Sementara indukannya dikembalikan ke lautan.
“Sejak itu, kami berhenti mengambil karang,” kata May yang bersama rekan-rekannya kini mengelola kelompok Pondok Karang.
Belakangan, pola penangkaran karang hias itu juga menarik minat wisatawan untuk terlibat. Bedanya, terumbu karang hasil penangkaran yang dilakukan wisatawan tidak dijual, tapi sepenuhnya dikembalikan ke lautan. Pola ini, kata May, mendongkrak pendapatan masyarakat. Dampaknya sekarang, masyarakat kini lebih banyak melakukan penangkaran untuk dikembalikan ke alam ketimbang untuk tujuan perdagangan.
Kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang pun makin menguat. Kini masyarakat menjalankan inisiatif perlindungan terumbu karang dengan mengelola Areal Perlindungan Laut (APL) seluas 16,5 hektare di sebelah Utara Pulau Pramuka.
Areal tersebut ditutup dari berbagai aktivitas seperti pemancingan ikan, maupun kegiatan wisata seperti snorkeling dan menyelam. Masyarakat juga memperkaya terumbu karang yang ada dengan berbaga jenis karang dari seluruh Indonesia. “Saat ini sudah ada 400 jenis karang,” kata May.
Inisiatif yang dilaksanakan sejak 2013 itu menunjukan gejala keberhasilan. Kemunculan jenis ikan yang sebelumnya sulit ditemui adalah bukti yang nyata. Menurut May, pada awal dikelola, pihaknya melepas sekitar 20 ekor ikan badut (clownfish) dari berbagai jenis di APL. Ikan yang terkenal karena berperan sebagai Nemo, dalam film animasi itu kemudian berkembang biak hingga sempat mencapai 400 ekor.
Masyarakat rela berkorban waktu dan biaya dalam mengelola APL. Sejauh ini tak ada pendapatan yang diperoleh masyarakat dari mengelola areal tersebut. Namun, mereka berencana untuk mengajukan izin pengelolaan pariwisata alam (IPPA) kepada Balai TNLKpS, tiga-empat tahun lagi setelah areal tersebut dinilai telah benar-benar pulih.
“Nanti hanya wisatawan dengan sertifikat tertentu yang sudah pasti tidak merusak karang yang boleh berkunjung ke APL,” ujar May.
Keinginan May dan rekan-rekannya mendapat dukungan. Kepala Seksi III Balai TNLKpS Untung Suripto mengungkapkan, APL berada pada zona pemanfaatan tradisional di TNLKpS yang memungkinkan untuk dikelola oleh masyarakat. “Areal tersebut bisa menjadi spot wisata premium bagi penyelam atau peminat snorkeling,” katanya.
Untung menjelaskan, kegiatan konservasi berbasis masyarakat memang menjadi agenda utama pengelolaan taman nasional satu-satunya di Ibukota Jakarta itu. Keberadaan masyarakat dan akses taman nasional yang terbuka di lautan membuat pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
Sementara itu, pakar karang The Nature Conservancy (TNC) Rizya Ardiwijaya mengakui dampak positif sinergi masyarakat di TNLKpS. Rizya bersama sejumlah wartawan sempat melakukan penyelaman di dua titik, yaitu Sea Garden dan Panggang Timur. Menurut dia, ekosistem perairannya memang menghadapi banyak persoalan.
“Namun secara umum terumbu karang di sini cukup baik, tak ditemukan adanya penyakit terutama di spot Panggang Timur,” katanya.
Kini dengan munculnya kesadaran dalam mengembangkan konservasi berbasis masyarakat, maka sebuah kawasan akan mampu menjalankan fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Akhirnya, kawasan itu akan bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata alam dan kegiatan lain yang menunjang konservasi. (Jacko Agun)
terimakasih gann infonya sangat membantu, kunjungi http://bit.ly/2QT64Kk
ReplyDelete