(Rob Hall di puncak Everest di tahun 1990. Foto;www. theaustralian.com.au) |
“You my friends are
following in the very footsteps of history, something beyond the power of words
to describe. Human beings simply aren’t built to function at the cruising
altitude of a 747. Our bodies will be literally dying. Everest is another beast
altogether.”
―Rob Hall
Rob
Hall kini tenang disana. Ia telah lelap ditemani salju abadi Chomolungma
(bahasa Tibet; Ibu Alam Semesta) dibalut badai khas puncak yang membekukan
tulang.
Ia
pergi dalam diam, ketika melakukan pendakian terakhirnya ke Sagarmatha (baca; Everest
dalam bahasa Nepal), tepatnya di saat musim pendakian paling kelam terjadi di
tahun 1996. Saat itu belasan pendaki meninggal, usai berhasil menggapai puncak
sejati Everest.
Rob Hall, pendaki asal Selandia Baru yang merupakan pimpinan ekspedisi Everest 1996 meninggalkan seorang istri yang cantik, ketika berangkat memandu
dan mengantarkan wisatawan (baca: non pendaki) ke puncak Everest. Saat itu ia dan beberapa temannya, seperti Scott Fischer sedang getol mempopulerkan kegiatan komersialisasi pendakian gunung es.
Sejak tahun 90-an, kegiatan komersialiasi pendakian mulai marak dilakukan. Bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman mendaki gunung, namun berniat ke puncak Everest, akan dipandu secara profesional. Syaratnya, satu, mereka memiliki fisik yang prima dan mampu membayar sejumlah uang. Jika tak salah, sekitar U$S 65.000 per orang saat itu. Jumlah yang sangat besar, pastinya.
Sejak tahun 90-an, kegiatan komersialiasi pendakian mulai marak dilakukan. Bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman mendaki gunung, namun berniat ke puncak Everest, akan dipandu secara profesional. Syaratnya, satu, mereka memiliki fisik yang prima dan mampu membayar sejumlah uang. Jika tak salah, sekitar U$S 65.000 per orang saat itu. Jumlah yang sangat besar, pastinya.
Komersialisasi
pendakian juga yang membuat Rob Hall rela meninggalkan istrinya yang sedang
hamil besar, dan memutuskan terbang ke Kathmandu, Nepal. Tahun-tahun itu,
komersialisasi pendakian telah menjadi mata pencaharian yang menggiurkan bagi pendaki-pendaki
profesional, seperti Rob yang telah beberapa kali menjejak puncak tertinggi di
dunia itu. Dan, Nepal telah menjadi rumah keduanya.
Meski
terkesan sederhana, upaya menghantarkan para penikmat minat khusus (baca: non
pendaki) tidaklah mudah. Dibutuhkan kemampuan skil mendaki yang mumpuni dan kekuatan fisik yang prima. Selain itu. semua aturan ketat ketika mendaki
di ketinggian 8000 meter harus dipatuhi. Pasalnya, jika tidak ikut aturan,
maut menanti dan mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya.
Di
mulai dari base camp yang bisa ditempuh selama 9 – 10 hari perjalanan dari
Lukla, --titik awal perjalanan--, menjadi latihan awal bagi setiap pendaki yang
berniat ke Everest. Medan yang naik turun, melintasi beberapa desa dan kuil
suci telah memberikan pengalaman yang menakjubkan. Yup, selama perjalanan,
mereka akan menikmati seperti apa negari diatas angin (baca: Nepal) yang sesungguhnya.
Begitu
tiba di base camp, setiap orang akan dibriefing dan akan dikelompokkan
berdasarkan kategori tertentu. Selanjutnya pertemuan rutin digelar di
tenda base camp, (baca: tenda besar yang dibuat di bagian tengah) untuk
menyusun ulang perencanaan pendakian secara detil.
Di
base camp, setiap pendaki harus mematuhi aturan yang dibuat oleh seorang manager
base camp. Manager yang akan memonitor setiap pergerakan tim dan merinci setiap hal
yang dibutuhkan. Manager juga yang bertanggungjawab terhadap menu harian dan
aktivitas di sekitar base camp. Termasuk mencatat data cuaca dan melaporkan pergerakan tim menuju puncak.
---
Puluhan
tahun telah berlalu, sejak malapetaka Everest 1996 terjadi. Peristiwa itu masih
menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban. Pun tak terkecuali dengan janda
Rob Hall, Jan Arnold.
Ketika
ada tawaran dari pemerintah Nepal untuk mencari jenazah suaminya di tahun 2010 lalu, Jan tak ingin
mengambil risiko. Ia pun merelakan Rob tidur dengan tenang di Everest.
Menurut
Jan, membawa turun jenazah Rob yang telah beku selama 19 tahun merupakan perjuangan
berat yang sangat berisiko, meskipun sebuah tim Sherpa berpengalaman menyanggupinya. Maklum,
saat itu memang bertepatan dengan upaya bersih-bersih Everest yang telah dipenuhi sampah. Dalam kegiatan itu, selain menurunkan sampah pendaki, para sherpa juga akan menurunkan
setiap jenazah yang ditemukan di sepanjang jalur.
“Mengambil
dan menurunkan mayat dari keinggian di atas 8000 m hampir tidak mungkin", ujar
Jan Arnold kepada BBC World Service.
Ekspedisi
membersihkan sampah itu diberangkatkan dari ibukota Nepal, Kathmandu dan dilepas oleh Kementerian Pariwisata Nepal. Diperkirakan tim tiba di rute South Col Everest pada ketinggian 8000m (26,200ft) pada 1 Mei 2010.
Jan
Arnold, yang sedang hamil tua saat suaminya meninggal, meyakini jika Rob tidur tenang di rute South Col, pada ketinggian 8,700 mdpl. Sayangnya, sejak dinyatakan meninggal, jasadnya tidak berhasil ditemukan. Diduga Rob jatuh ke
jurang sedalam 3,800m di lokasi “the Kangshung Face”, yang masuk wilayah Tibet.
"Jujur, Rob
tidak memiliki keinginan dimakamkan di Everest. Namun, jauh
dari itu, Rob tidak ingin orang mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk membawa
jenazahnya turun ke base camp," ujar Jan Arnold.
Selain
itu, menemukan tubuh Rob Hall di kawasan puncak Everest merupakan pencarian
yang sulit. Mirip mencari jarum ditumpukan jerami.
“Saya
pikir sulit melakukannya dan kemungkinannya tipis dan cenderung tidak mungkin”, tegas Jan.
Lebih
jauh, Jan menilai Rob tidak merasa lebih layak jika dibandingkan dengan upaya memindahkan
jasadnya. Itu sebabnya, akan lebih baik jika jenazah Rob tetap disana. Selain
itu, keluarga juga tak memiliki hasrat jika ada makam Rob Hall di kawasan Everest. Pasalnya yang terpenting adalah,
jangan sampai ada orang bertaruh nyawa, hanya untuk membawa jasad Rob turun.
Selanjutnya,
jika memang ada yang melakukan itu, keluarga akan menyambutnya dan akan sangat berterima kasih lalu melakukan acara perpisahan.
"Saya
tidak pernah berpikir hal itu mungkin terjadi, dan saya tidak ingin orang
mempertaruhkan hidup mereka, karena terlalu sulit membawa Rob
turun dari atas sana," pungkas Jan.
---
Pendaki Everest sebanyak 7 kali, Namgyal Sherpa, pemimpin ekspedisi
bersih-bersih gunung Everest menegaskan, mereka akan membawa turun jenazah Rob
Hall jika keluarganya setuju dan jika tidak ada risiko yang terlalu berat yang harus mereka
tanggung.
Hingga
saat ini, tidak ada yang tahu pasti dimana jasad Rob Hall berada. Jika
pun harus mencari, dibutuhkan informasi yang memadai dan energi ekstra.
"Kami
tidak yakin dimana tubuh Rob Hall berada. Pertama, kami harus pergi untuk
melihat dilokasi yang dicurigai. Sejauh ini, kami masih menyelidiki. Kami
mendengar bahwa mungkin jenazahnya ada di dekat puncak, tapi kami tidak tahu
pasti, "ungkap Namgyal kepada BBC.
Sementara
itu, jika nantinya, tubuh Rob Hall jatuh ke wilayah Tibet, maka tim tidak
memiliki izin untuk pergi ke sana. Itu sebabnya, mereka tidak akan dapat
mengambilnya. Itu artinya, mereka harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Dan
jika pun akan dilakukan, maka tahun depan merupakan waktu yang pas.
"Jika
Rob jatuh ke jurang yang dalam, terlalu berisiko dan tak ada yang bisa
membawanya kembali. Namun jika kami menemukan mayat di sepanjang jalur, tim
akan melihat apakah bisa membawanya turun, namun tetap dengan izin keluarga",
pungkas Namgyal.
Ekspedisi
tim Sherpa di tahun 2010 itu bertujuan membersihkan sampah dan puing-puing dari
gunung untuk melestarikan kawasan Everest dan membuat gunung kembali bersih
seperti sedia kala. Saat itu, upaya bersih-bersih gunung merupakan yang
pertama kali dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan ratusan pendaki.
Dalam
melakukan aksinya, para sherpa bekerja diketinggian 8,000m yang dikenal sebagai
“Death Zone” atau zona kematian, karena medan yang begitu ekstrem dan udara yang
sangat tipis.
Secara
umum, dalam aksi bersih gunung saat itu, mereka berharap mampu membawa kembali
mayat setidaknya dua pendaki legendaris, yakni Scott Fischer, pendaki asal AS yang
meninggal di tahun 1996, dan pendaki Swiss, Gianni Goltz yang meninggal pada
tahun 2008. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment