Thursday, October 08, 2015

Rob Hall, Penjaga Chomolungma


(Rob Hall di puncak Everest di tahun 1990. Foto;www. theaustralian.com.au)
“You my friends are following in the very footsteps of history, something beyond the power of words to describe. Human beings simply aren’t built to function at the cruising altitude of a 747. Our bodies will be literally dying. Everest is another beast altogether.”
―Rob Hall

Rob Hall kini tenang disana. Ia telah lelap ditemani salju abadi Chomolungma (bahasa Tibet; Ibu Alam Semesta) dibalut badai khas puncak yang membekukan tulang.

Ia pergi dalam diam, ketika melakukan pendakian terakhirnya ke Sagarmatha (baca; Everest dalam bahasa Nepal), tepatnya di saat musim pendakian paling kelam terjadi di tahun 1996. Saat itu belasan pendaki meninggal, usai berhasil menggapai puncak sejati Everest.

Rob Hall, pendaki asal Selandia Baru yang merupakan pimpinan ekspedisi Everest 1996 meninggalkan seorang istri yang cantik, ketika berangkat memandu dan mengantarkan wisatawan (baca: non pendaki) ke puncak Everest. Saat itu ia dan beberapa temannya, seperti Scott Fischer sedang getol mempopulerkan kegiatan komersialisasi pendakian gunung es.

Sejak tahun 90-an, kegiatan komersialiasi pendakian mulai marak dilakukan. Bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman mendaki gunung, namun berniat ke puncak Everest, akan dipandu secara profesional. Syaratnya, satu, mereka memiliki fisik yang prima dan mampu membayar sejumlah uang. Jika tak salah, sekitar U$S 65.000 per orang saat itu. Jumlah yang sangat besar, pastinya.

Komersialisasi pendakian juga yang membuat Rob Hall rela meninggalkan istrinya yang sedang hamil besar, dan memutuskan terbang ke Kathmandu, Nepal. Tahun-tahun itu, komersialisasi pendakian telah menjadi mata pencaharian yang menggiurkan bagi pendaki-pendaki profesional, seperti Rob yang telah beberapa kali menjejak puncak tertinggi di dunia itu. Dan, Nepal telah menjadi rumah keduanya.

Meski terkesan sederhana, upaya menghantarkan para penikmat minat khusus (baca: non pendaki) tidaklah mudah. Dibutuhkan kemampuan skil mendaki yang mumpuni dan kekuatan fisik yang prima. Selain itu. semua aturan ketat ketika mendaki di ketinggian 8000 meter harus dipatuhi. Pasalnya, jika tidak ikut aturan, maut menanti dan mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya.

Di mulai dari base camp yang bisa ditempuh selama 9 – 10 hari perjalanan dari Lukla, --titik awal perjalanan--, menjadi latihan awal bagi setiap pendaki yang berniat ke Everest. Medan yang naik turun, melintasi beberapa desa dan kuil suci telah memberikan pengalaman yang menakjubkan. Yup, selama perjalanan, mereka akan menikmati seperti apa negari diatas angin (baca: Nepal) yang sesungguhnya.

Begitu tiba di base camp, setiap orang akan dibriefing dan akan dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Selanjutnya pertemuan rutin digelar di tenda base camp, (baca: tenda besar yang dibuat di bagian tengah) untuk menyusun ulang perencanaan pendakian secara detil.

Di base camp, setiap pendaki harus mematuhi aturan yang dibuat oleh seorang manager base camp. Manager yang akan memonitor setiap pergerakan tim dan merinci setiap hal yang dibutuhkan. Manager juga yang bertanggungjawab terhadap menu harian dan aktivitas di sekitar base camp. Termasuk mencatat data cuaca dan melaporkan pergerakan tim menuju puncak.

---
Puluhan tahun telah berlalu, sejak malapetaka Everest 1996 terjadi. Peristiwa itu masih menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban. Pun tak terkecuali dengan janda Rob Hall, Jan Arnold.

Ketika ada tawaran dari pemerintah Nepal untuk mencari jenazah suaminya di tahun 2010 lalu, Jan tak ingin mengambil risiko. Ia pun merelakan Rob tidur dengan tenang di Everest.

Menurut Jan, membawa turun jenazah Rob yang telah beku selama 19 tahun merupakan perjuangan berat yang sangat berisiko, meskipun sebuah tim Sherpa berpengalaman menyanggupinya. Maklum, saat itu memang bertepatan dengan upaya bersih-bersih Everest  yang telah dipenuhi sampah. Dalam kegiatan itu, selain menurunkan sampah pendaki, para sherpa juga akan menurunkan setiap jenazah yang ditemukan di sepanjang jalur.

“Mengambil dan menurunkan mayat dari keinggian di atas 8000 m hampir tidak mungkin", ujar Jan Arnold kepada BBC World Service.

Ekspedisi membersihkan sampah itu diberangkatkan dari ibukota Nepal, Kathmandu dan dilepas oleh Kementerian Pariwisata Nepal. Diperkirakan tim tiba di rute South Col Everest pada ketinggian 8000m (26,200ft) pada 1 Mei 2010.

Jan Arnold, yang sedang hamil tua saat suaminya meninggal, meyakini jika Rob tidur tenang di rute South Col, pada ketinggian 8,700 mdpl. Sayangnya, sejak dinyatakan meninggal, jasadnya tidak berhasil ditemukan. Diduga Rob jatuh ke jurang sedalam 3,800m di lokasi “the Kangshung Face”, yang masuk wilayah Tibet.

"Jujur, Rob tidak memiliki keinginan dimakamkan di Everest. Namun, jauh dari itu, Rob tidak ingin orang mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk membawa jenazahnya turun ke base camp," ujar Jan Arnold.

Selain itu, menemukan tubuh Rob Hall di kawasan puncak Everest merupakan pencarian yang sulit. Mirip mencari jarum ditumpukan jerami.

“Saya pikir sulit melakukannya dan kemungkinannya tipis dan cenderung tidak mungkin”, tegas Jan.

Lebih jauh, Jan menilai Rob tidak merasa lebih layak jika dibandingkan dengan upaya memindahkan jasadnya. Itu sebabnya, akan lebih baik jika jenazah Rob tetap disana. Selain itu, keluarga juga tak memiliki hasrat jika ada makam Rob Hall di kawasan Everest. Pasalnya yang terpenting adalah, jangan sampai ada orang bertaruh nyawa, hanya untuk membawa jasad Rob turun.

Selanjutnya, jika memang ada yang melakukan itu, keluarga akan menyambutnya dan akan sangat berterima kasih lalu melakukan acara perpisahan.

"Saya tidak pernah berpikir hal itu mungkin terjadi, dan saya tidak ingin orang mempertaruhkan hidup mereka, karena terlalu sulit membawa Rob turun dari atas sana," pungkas Jan.

---
Pendaki Everest sebanyak 7 kali, Namgyal Sherpa, pemimpin ekspedisi bersih-bersih gunung Everest menegaskan, mereka akan membawa turun jenazah Rob Hall jika keluarganya setuju dan jika tidak ada risiko yang terlalu berat yang harus mereka tanggung.

Hingga saat ini, tidak ada yang tahu pasti dimana jasad Rob Hall berada. Jika pun harus mencari, dibutuhkan informasi yang memadai dan energi ekstra.

"Kami tidak yakin dimana tubuh Rob Hall berada. Pertama, kami harus pergi untuk melihat dilokasi yang dicurigai. Sejauh ini, kami masih menyelidiki. Kami mendengar bahwa mungkin jenazahnya ada di dekat puncak, tapi kami tidak tahu pasti, "ungkap Namgyal kepada BBC.

Sementara itu, jika nantinya, tubuh Rob Hall jatuh ke wilayah Tibet, maka tim tidak memiliki izin untuk pergi ke sana. Itu sebabnya, mereka tidak akan dapat mengambilnya. Itu artinya, mereka harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Dan jika pun akan dilakukan, maka tahun depan merupakan waktu yang pas.

"Jika Rob jatuh ke jurang yang dalam, terlalu berisiko dan tak ada yang bisa membawanya kembali. Namun jika kami menemukan mayat di sepanjang jalur, tim akan melihat apakah bisa membawanya turun, namun tetap dengan izin keluarga", pungkas Namgyal.

Ekspedisi tim Sherpa di tahun 2010 itu bertujuan membersihkan sampah dan puing-puing dari gunung untuk melestarikan kawasan Everest dan membuat gunung kembali bersih seperti sedia kala. Saat itu, upaya bersih-bersih gunung merupakan yang pertama kali dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan ratusan pendaki.

Dalam melakukan aksinya, para sherpa bekerja diketinggian 8,000m yang dikenal sebagai “Death Zone” atau zona kematian, karena medan yang begitu ekstrem dan udara yang sangat tipis.

Secara umum, dalam aksi bersih gunung saat itu, mereka berharap mampu membawa kembali mayat setidaknya dua pendaki legendaris, yakni Scott Fischer, pendaki asal AS yang meninggal di tahun 1996, dan pendaki Swiss, Gianni Goltz yang meninggal pada tahun 2008.  (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN