Studi terbaru University of Minnesota Institute on Environment dan Department of Geography at McGill University, didukung The Nature Conservancy (TNC) menunjukkan tidak ada sektor penggerak tunggal yang berpotensi melakukan degradasi bentang alam di muka Bumi. Dipastikan, pembangungan sektor pertanian, pertambangan, dan energi merupakan tiga sektor utama pendukung peningkatan resiko yang berpotensi mempengaruhi 20 persen dari total bentang alam yang tersisa.
Studi dua universitas ternama itu menggarisbawahi adanya kebutuhan akan perencanaan mitigasi pada tingkatan bentang alam secara proaktif demi mendukung tercapainya keseimbangan antara tujuan-tujuan pembangunan dan konservasi.
Studi juga menyajikan pandangan menyeluruh tentang masa depan pembangunan global melalui evaluasi terhadap penggerak ekonomi yang ternyata sangat berisiko. Risiko itu utamanya berasal dari berbagai kegiatan konversi lahan, seperti, pertanian (lahan pertanian dan padang rumput), bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara), pertambangan, energi terbarukan (tenaga matahari, angin dan biofuel) dan urbanisasi.
Selain itu, dipastikan tidak ada sektor yang menjadi penggerak tunggal terkait peningkatan resiko, baik secara keseluruhan maupun untuk kawasan tertentu. Kendati demikian kegiatan di sektor pertanian, pertambangan, dan pengembangan energi merupakan tiga sektor utama yang memberi sumbangan terhadap peningkatan resiko lingkungan global.
Sementara itu, jika ekspansi pembangunan di seluruh dunia terus dilakukan, akan berpotensi mempengaruhi 20 persen dari total bentang alam yang tersisa (baca: 19.680.000 km2 - atau lebih dari 2 kali ukuran Amerika Serikat). Uniknya, hanya 5 persen dari bentang alam yang tersisa itu berada di bawah perlindungan hukum yang kuat.
Penelitian itu bersifat komprehensif karena dapat mengidentifikasi lahan-lahan seperti apa yang beresiko sebelum konflik mulai, sehingga solusi dapat dikembangkan untuk mengurangi atau menghindari konflik.
“Menggunakan pendekatan holistik untuk memperlihatkan dimana konflik berpotensi muncul antara rencana pembangunan dan sumberdaya alam penting, hal itu akan membantu untuk menentukan seperti apa, bagaimana dan dimana pembangunan harus dilakukan", ujar Joe Kiesecker, tim penulis peneliti yang juga salah seorang direktur TNC.
Kondisi itu terjadi seiring dengan populasi manusia yang mendorong peningkatan permintaan akan energi, makanan, minuman, mineral dan sumberdaya lain. Meningkatnya permintaan itu secara tidak langsung telah memicu peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara, serta perbaikan kondisi hidup masyarakat. Sayangnya, pengaruhnya terhadap lingkungan berbanding terbalik.
Agar kondisi itu tidak bertambah buruk, dibutuhkan identifikasi potensi konflik dengan cara yang proaktif terhadap pengelolaan pemanfaatan lahan. Hal itu diharapkan dapat membantu, membimbing dan mendorong berbagai kebijakan dan praktek yang mampu menurunkan risiko serta biaya. Harapannya mampu menghasilkan pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, strategi pemanfaatan lahan yang mampu mengantisipasi konflik akan memberikan manfaat bagi lingkungan secara global melalui pertumbuhan dan secara bersamaan tetap menjaga kelestarian ekosistem alam bagi masyarakat.
Laporan lengkap itu, disusun The Nature Conservancy (TNC) pada jurnal PLOS ONE yang terbit pada Oktober 2015. Studi itu dapat digunakan sebagai acuan untuk memetakan dan menaksir berbagai potensi ancaman terhadap bentang alam yang tersisa dan mengidentifikasi wilayah-wilayah di seluruh penjuru dunia yang paling terancam untuk segera di konversi.
TNC mengakui, jika laporan tersebut merupakan yang pertama sekaligus satu-satunya penelitian ilmiah yang khusus membahas tentang penilaian resiko terkait dengan pembangunan global.
Jim Oakleaf, peneliti yang juga ahli geografi mengemukakan, jika di banyak tempat, dampak dari pembangunan hanya dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat tunggal, tanpa memperhitungkan dampak-dampak terhadap lingkungan secara kumulatif.
“Namun studi kami menyoroti kesempatan untuk bergerak lebih maju dengan menciptakan standar pembangunan global baru, sebagai sebuah standar yang tidak mempertentangkan antara pembangunan dengan sumberdaya alam, namun memikirkan sinergi bagaimana kedua aspek itu mampu berkembang bersama", ujar Jim Oakleaf yang juga ahli geografi untuk program global TNC.
Sementara itu, TNC Indonesia melihat dampak dan konflik yang timbul akibat eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia secara terus menerus, harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
“Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan opsi penggunaan pemodelan skenario berbasis ilmu pengetahuan ketika melakukan perencanaan pembangunan," kata Musnanda, Natural Resources Manager TNC Indonesia.
Ketika hal itu telah dilakukan, diharapkan setiap kebijakan yang dibuat dan implementasi pembangunan yang dikerjakan mampu melindungi sisa habitat yang tersisa yang merupakan bagian dari kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki. (jacko agun)
info selengkapnya sila dilihat di sini
Studi dua universitas ternama itu menggarisbawahi adanya kebutuhan akan perencanaan mitigasi pada tingkatan bentang alam secara proaktif demi mendukung tercapainya keseimbangan antara tujuan-tujuan pembangunan dan konservasi.
Studi juga menyajikan pandangan menyeluruh tentang masa depan pembangunan global melalui evaluasi terhadap penggerak ekonomi yang ternyata sangat berisiko. Risiko itu utamanya berasal dari berbagai kegiatan konversi lahan, seperti, pertanian (lahan pertanian dan padang rumput), bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara), pertambangan, energi terbarukan (tenaga matahari, angin dan biofuel) dan urbanisasi.
Selain itu, dipastikan tidak ada sektor yang menjadi penggerak tunggal terkait peningkatan resiko, baik secara keseluruhan maupun untuk kawasan tertentu. Kendati demikian kegiatan di sektor pertanian, pertambangan, dan pengembangan energi merupakan tiga sektor utama yang memberi sumbangan terhadap peningkatan resiko lingkungan global.
Sementara itu, jika ekspansi pembangunan di seluruh dunia terus dilakukan, akan berpotensi mempengaruhi 20 persen dari total bentang alam yang tersisa (baca: 19.680.000 km2 - atau lebih dari 2 kali ukuran Amerika Serikat). Uniknya, hanya 5 persen dari bentang alam yang tersisa itu berada di bawah perlindungan hukum yang kuat.
Penelitian itu bersifat komprehensif karena dapat mengidentifikasi lahan-lahan seperti apa yang beresiko sebelum konflik mulai, sehingga solusi dapat dikembangkan untuk mengurangi atau menghindari konflik.
“Menggunakan pendekatan holistik untuk memperlihatkan dimana konflik berpotensi muncul antara rencana pembangunan dan sumberdaya alam penting, hal itu akan membantu untuk menentukan seperti apa, bagaimana dan dimana pembangunan harus dilakukan", ujar Joe Kiesecker, tim penulis peneliti yang juga salah seorang direktur TNC.
Kondisi itu terjadi seiring dengan populasi manusia yang mendorong peningkatan permintaan akan energi, makanan, minuman, mineral dan sumberdaya lain. Meningkatnya permintaan itu secara tidak langsung telah memicu peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara, serta perbaikan kondisi hidup masyarakat. Sayangnya, pengaruhnya terhadap lingkungan berbanding terbalik.
Agar kondisi itu tidak bertambah buruk, dibutuhkan identifikasi potensi konflik dengan cara yang proaktif terhadap pengelolaan pemanfaatan lahan. Hal itu diharapkan dapat membantu, membimbing dan mendorong berbagai kebijakan dan praktek yang mampu menurunkan risiko serta biaya. Harapannya mampu menghasilkan pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, strategi pemanfaatan lahan yang mampu mengantisipasi konflik akan memberikan manfaat bagi lingkungan secara global melalui pertumbuhan dan secara bersamaan tetap menjaga kelestarian ekosistem alam bagi masyarakat.
Laporan lengkap itu, disusun The Nature Conservancy (TNC) pada jurnal PLOS ONE yang terbit pada Oktober 2015. Studi itu dapat digunakan sebagai acuan untuk memetakan dan menaksir berbagai potensi ancaman terhadap bentang alam yang tersisa dan mengidentifikasi wilayah-wilayah di seluruh penjuru dunia yang paling terancam untuk segera di konversi.
TNC mengakui, jika laporan tersebut merupakan yang pertama sekaligus satu-satunya penelitian ilmiah yang khusus membahas tentang penilaian resiko terkait dengan pembangunan global.
Jim Oakleaf, peneliti yang juga ahli geografi mengemukakan, jika di banyak tempat, dampak dari pembangunan hanya dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat tunggal, tanpa memperhitungkan dampak-dampak terhadap lingkungan secara kumulatif.
“Namun studi kami menyoroti kesempatan untuk bergerak lebih maju dengan menciptakan standar pembangunan global baru, sebagai sebuah standar yang tidak mempertentangkan antara pembangunan dengan sumberdaya alam, namun memikirkan sinergi bagaimana kedua aspek itu mampu berkembang bersama", ujar Jim Oakleaf yang juga ahli geografi untuk program global TNC.
Sementara itu, TNC Indonesia melihat dampak dan konflik yang timbul akibat eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia secara terus menerus, harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
“Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan opsi penggunaan pemodelan skenario berbasis ilmu pengetahuan ketika melakukan perencanaan pembangunan," kata Musnanda, Natural Resources Manager TNC Indonesia.
Ketika hal itu telah dilakukan, diharapkan setiap kebijakan yang dibuat dan implementasi pembangunan yang dikerjakan mampu melindungi sisa habitat yang tersisa yang merupakan bagian dari kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki. (jacko agun)
info selengkapnya sila dilihat di sini
No comments:
Post a Comment