Sunday, November 08, 2015

*Homo Anjing???


(Ilustrasi Foto: Pemandangan di Alun-Alun Suryakencana. Foto: jacko agun)

Seminggu lalu, di sebuah punggungan, kami bertemu kembali. Saat itu, ia dalam pendakian solo menuju puncak 1803, sementara saya mengarah ke puncak sebelahnya (baca: puncak 1878) bersama beberapa orang junioren. Kedua puncak itu letaknya bersebelahan, hanya dipisahkan oleh sadel (pertemuan dua titik pada satu punggungan) berukuran kecil. Biasanya sadel jadi tempat beristirahat sebelum melakukan summit attack atau pendakian ke puncak dengan tempo cepat.

Pertemuan kami sejatinya tanpa disengaja. Pagi itu, setelah berjalan 40 menit dari pintu rimba, saya tiba di pos I, di ketinggian 756 mdpl. Saat itu, ia sedang rehat, bersandar di batang pohon Altingia Excelsa, sembari memulihkan stamina sebelum melanjutkan perjalanan panjang.

"Hei... ketemu lagi", sapaku sebagai pembuka pembicaraan kami pagi itu. 

Sedetik kemudian, kuperkenalkan ia kepada anggota tim yang kubawa. Gayung bersambut, masing-masing orang saling memberi salam sembari memperkenalkan nama.

"Wow, akhirnya ketemu elu lagi, nih! Lama gw gak mendaki. Dan puncak 1803 selalu memberi kesan tersendiri bagiku. Kalo elu?" tanyanya.

"Selain rindu nanjak, gw juga udah lama gak ke puncak 1878. Itung-itung bagi ilmu ke junioren. Dan lu tau, kan, di puncak itu, gw dan 12 teman seangkatan dilantik jadi anggota muda Mapala", jawabku dengan nafas yang masih tersengal-sengal.

Pos I merupakan lokasi yang tepat untuk beristirahat. Pos itu kini hanya menyisakan lapangan seluas 15 x 10 m. Dengan tempat seluas itu, sedikitnya 5 buah tenda ukuran kecil bisa didirikan disitu. Dulunya, sebagai tempat beristirahat, sempat berdiri sebuah selter (pondok) terbuat dari kayu. Namun seiring maraknya pendaki musiman, secara perlahan penampilan pondok mulai berubah. Dinding-dindingnya banyak yang jebol, dijadikan kayu api untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Dan tak perlu menunggu lama, pondok yang awalnya dibangun secara swadaya oleh pendaki era 90-an itu, kini lenyap. Yang tersisa hanya tiang pancangnya saja.

Baru 5 menit kami beristirahat, sobat itu undur diri. Dia pun melanjutkan perjalanan, karena sebelumnya telah rehat selama 15 menit. Sebelum berangkat, ia berkata : "Ntar ketemu di sadel, ya! Malam ini gw nge-camp disana".

"Siap! Ntar kita bertemu di sadel", jawabku.

Saat mendaki gunung, ada aturan tak baku soal waktu istirahat. Seakan jadi commen sense, setiap berjalan 30-40 menit, maka dibutuhkan waktu istirahat selama 10-15 menit. Angka itu merupakan ukuran moderat bagi pendaki gunung asal Indonesia. Sementara bagi pendaki asing, karena postur fisik dan kemampuan, biasanya mereka mampu berjalan lebih lama. Rata-rata 1 jam berjalan baru kemudian istirahat. 

Selain memulihkan stamina tubuh, rehat juga diperlukan sebagai bagian dari adaptasi dengan lingkungan sekitar. Maklum, perjalanan ke tempat-tempat tinggi membutuhkan penyesuaian. Mendaki dengan tempo cepat, kerap mengakibatkan kepala pusing, biasa dikenal dengan sebutan mountain sickness. Cara ampuh mengobatinya hanyalah dengan mengurangi ketinggian. Karena itu, saat mendaki sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan penuh kewaspadaan.

Ketika ia berlalu, tim saya baru mulai menikmati indahnya beristirahat. Di momen seperti itu, setiap orang mulai meregangkan anggota tubuh, yang sebelumnya dipaksa bekerja keras karena keseringan ditekuk. Namun bagi saya, rehat merupakan waktu yang pas untuk berkeliling. Tentunya untuk hunting foto.

Puas mendokumentasikan anggota tim yang kelelahan, pilihan selanjutnya adalah memotret benda-benda lain disekitar, seperti serangga, pohon, burung atau landscape pemandangan. Namun karena kelelahan, tak banyak foto berhasil kujepret. Rasa lelah sepertinya masih tak mau diajak kompromi. Selanjutnya, Canon G1X yang kubawa, kumasukkan kembali ke sarungnya. Saatnya bergegas.

***
Dari Pos I, bertiga kami berjalan beriringan. Masih dalam tempo sedang. Masing-masing mulai terbiasa dengan jalur yang tak tentu arah. Kadang menanjak dengan sudut kemiringan bervariasi, kadang mendatar. Pun, beberapa kali menurun, namun tidak begitu curam.

Dalam mendaki gunung, kemiringan lereng 10 - 20 derajat merupakan perjalanan yang menyiksa. Pasalnya, urat-urat kaki di betis akan tertarik maksimal. Sementara jika mendaki di jalur yang rutenya berupa anak tangga, tenaga agak sedikit dihemat. Bagi saya, mendaki dengan pola anak tangga lebih menarik. Kita dapat menambah ketinggian dengan cepat dan kaki bergerak lebih leluasa, ketimbang menanjak di slope dengan kemiringan 10 -20 derajat. Sangat menyiksa. Gak percaya? Coba aja!

Dalam perjalanan itu, masing-masing dari kami larut dengan beratnya medan. Itu sebabnya, tak banyak yang buka suara. Jika pun ada, tak lebih untuk make sure, bertanya arah yang akan ditempuh. Maklum, puncak kembar 1803 dan 1878 bukanlah gunung biasa. Tak banyak orang yang mau mendaki kesana, karena rutenya yang samar dan kerap menyesatkan.

Meski terkenal berat, perjuangan menggapai puncaknya sebanding dengan pemandangan indah yang tersaji. Sebuah bentang alam yang menakjubkan, siap memanjakan mata para pendaki. Salah satunya ketika berada di padang savana dekat puncak. Di tempat itu, rumputnya ibarat karpet tebal bewarna hijau. Namun yang tak kalah menarik, dari tempat itu, kita bisa melepas pandang ke sekeliling. Beberapa puncak lainnya terlihat jelas. Salah satunya puncak 1803.

Ibarat berada di dunia fantasi, setiap pendaki akan mengalami pengalaman unik nan berbeda. Di pos I misalnya, pendaki akan disambut dengan lengkingan suara owa yang menggema. Sesekali juga akan dikejutkan dengan kepakan sayap Rangkong yang terbang rendah. Selain itu, beberapa jenis burung yang selalu setia di jalur dapat ditemui, seakan tak terusik dengan kehadiran para pendaki.

Berbeda dengan perjalanan ke gunung pada umumnya, perjalanan ke puncak kembar membutuhkan perencanaan matang, utamanya terkait ketersediaan air. Dua puncak itu sangat tak ramah bagi pendaki yang kurang persiapan. Oleh sebab itu, setiap orang yang berniat mendaki harus rela membawa air sendiri dari bawah. Minimal 3 liter per orang. Air itu diperlukan selama pendakian, untuk berbagai keperluan, mulai dari minum hingga memasak.

Lepas dari pos I, saya tak bertemu lagi dengan sahabat lama itu. Semua upaya tuk mengejarnya seakan sia-sia. Ia berlalu dengan sangat cepat. Ia pun hilang bak ditelan Bumi. Namun, dari jejak yang ditinggalkan, saya tahu dia telah melalui rute itu dengan mudah. Bukti lainnya, adalah bekas tebasan golok di pohon. 


Di beberapa percabangan, ia selalu memberi tanda bacokan sebanyak 3 kali. Cara itu jamak dilakukan pendaki, jika melewati rute yang telah lama tidak dilalui. Hal itu penting sebagai penanda, jika sewaktu-waktu tersesat dan memaksa kembali ke rute awal. 


***

40 menit berlalu, kami pun tiba di pos II. Di pos ini sebuah pondok kecil masih berdiri. Ukurannya 5 x 5 m dengan atap terbuat dari ijuk. Pondok itu cukup kokoh dan mampu menampung 5-7 orang tidur dengan posisi terlentang. Sementara itu, beberapa sisi dindingnya mulai keropos. Sepertinya karena faktor usia. 

Di pondok ini, ntah siapa yang memulai, selalu saja ada sisa logistik yang dibiarkan menggantung. Jika bukan beras, benda-benda seperti garam dan minyak goreng menjadi logistik yang paling sering ditinggalkan. Di beberapa kesempatan, kami bahkan sempat menemukan beberapa mi instan plus sarden dalam kondisi baik.


Menurut penuturan penduduk di kaki gunung, logistik itu sengaja ditinggalkan sebagai bentuk kepedulian terhadap pendaki yang kemalaman dan kebetulan kehabisan bekal. Bekal itu sebagian besar ditinggalkan oleh penduduk yang hobi berburu. Mereka biasanya bermalam, lalu meninggalkan sisa logistiknya di pondok itu.

Uniknya, meski ditinggal, logistik itu tetap aman dan tak ada yang mengusiknya. Padahal jika ditempat lain, logistik itu pasti sudah habis diganyang monyet atau beruang madu yang memang gemar mengaduk-aduk barang bawaan manusia.

Di pos II, kami beristirahat tidak lama. Hanya sekitar 15 menit. Tak banyak yang kulakukan, selain selonjoran sambil sesekali menengguk air dari nalgen yang kusimpan di kantong samping ransel 60 liter yang kubawa. Di gunung, pola minum saya jauh berbeda ketimbang biasanya. Di gunung, saya hanya minum seperlunya. Ukurannya pun tak lebih dari 1 kali teguk. Maklum, di gunung, air merupakan barang langka nan mahal.

Setelah itu, saya mengunyah snickers, makanan ringan yang sengaja kubawa. Di gunung, mengkonsumsi cemilan dengan kadar kalori tinggi merupakan sebuah keharusan. Coklat bar, salah satunya. Sebisa mungkin, snack yang dibawa, bentuknya ringkas dan dapat langsung dikonsumsi. Alasannya, kita tidak memiliki waktu banyak untuk memasak, karena harus berkejaran dengan sinar mentari. Alasan itu membuat pemilihan logistik harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: kalori, bentuk dan berat (volume). Jika ada logistik dengan volume ringan namun menghasilkan jumlah kalori yang besar, maka menu seperti itu jadi pilihan utama.

Waktu telah merujuk pukul 11.55 WIB ketika kami tiba di pos II. Setelah mengisi perut sekenanya, perjalanan kembali dilanjutkan. Seperti biasa, sebelum beranjak, kami bereskan semua barang. Tidak boleh ada yang tercecer, termasuk sampah. Semua sampah harus dipacking rapi, sebelum dimasukkan ke dalam ransel.

Masih soal sampah, kebanyakan pendaki tak bertanggungjawab membiarkannya begitu saja. Lama kelamaan, sampah akan menumpuk dan memenuhi sepanjang jalur pendakian. Karena gunung bukanlah tempat sampah, maka semua sampah harus dibawa turun kembali. Selain itu, ada kode etik di kalangan pendaki yang menyebut, Leave nothing, but footprint. Artinya, kita tidak boleh meninggalkan jejak apapun di gunung, selain jejak langkah. Karena itu, sampah, yah, kudu dibawa turun!

Dalam setiap pendakian, posisi saya selalu berada di paling belakang. Sweaper, istilahnya. Orang yang bertugas sebagai penyapu jalur, sekaligus memastikan arah, jika ternyata telah melenceng. Hanya mereka dengan tingkat kesabaran ekstra yang mampu berlaku sebagai sweaper. Sementara bagi yang tidak sabaran, pastinya ogah. Seakan jadi hukum alam, manusia memang tak sabar berhadapan dengan antrean. Maunya segera beranjak meninggalkan yang lain.

Sebelum meninggalkan pos II, mata saya terganggu dengan kehadiran sampah kertas tisu yang teronggok begitu saja, tak jauh dari tempat saya duduk. Tisu itu sengaja tidak dipacking, karena merupakan sampah organik yang akan membusuk dengan sendirinya. Berbeda dengan sampah plastik atau beling.

Ketika memungut tisu itu, saya terkejut. Pasalnya, saya menemukan tulisan tangan seseorang yang sangat saya kenal. Di kertas itu, ia menulis pesan singkatnya. Hanya satu kalimat. Pun, tak lupa ia membubuhkan nama di bagian bawah. Membacanya membuat saya yakin, kalo ia yang melakukannya. Sobat yang telah lebih dahulu tiba di pos itu.

"Bro, gw mau cerita banyak nih! Gw tunggu di sadel ya!", demikian bunyi pesan itu. 

***
60 menit berlalu meninggalkan pos II, kini kami berada di pos III. Di pos itu, tutupan hutannya begitu rapat, sehingga cahaya matahari yang masuk sangat terbatas. Sekeliling begitu sunyi. Sesekali terdengar suara burung bersahutan dalam jarak tertentu. Meski terdengar dekat, feeling saya mengatakan jaraknya lebih dari 50 meter. Tak hanya itu, semilir angin mulai beradu dengan ranting-ranting pohon. Akibatnya, timbul gema tak beraturan. Gema yang terkesan magis.

Di pos III, waktu telah menunjuk angka 12.55 Wib ketika kami tiba. Sesuai taklimat, di pos itu, kami makan siang. Menunya, daging ayam, sayur sup plus nasi. Namun sebelumnya, kami harus memasak nasi dan sayur. Sementara untuk daging ayam, tinggal dipanaskan saja. Memasak menjadi kegiatan membunuh waktu yang paling diminati. Diminati, karena membuat waktu istirahat menjadi lebih lama. 

Tanpa diperintah, masing-masing orang terlihat sibuk. Ada yang mengeluarkan logistik dari carrier (baca: ransel), ada yang memasang trangia (kompor untuk memasak) dan ada yang mengeluarkan air untuk dimasak.

Untuk urusan memasak, saya memang tidak jago, namun jauh lebih baik ketimbang yang lain. Maklum, para junioren terbilang malas untuk urusan memasak. Mereka lebih suka jika disuruh membangun bivak (baca; tenda darurat), mengumpulkan kayu atau mengambil air meski jaraknya puluhan kilometer.

Kembali ke ritual memasak, biasanya saya mulai dengan menjerang air. Setelah airnya mendidih, segera dibagi dua, yakni untuk membuat kopi dan teh. Selanjutnya masing-masing anggota tim tinggal memilih. Di tengah udara dingin dan kondisi fisik yang terus melemah, kehadiran teh atau kopi hangat sangat membantu. Lumayan untuk menghangatkan badan.

Ketika memanaskan air selesai, selanjutnya memasak nasi. Untuk menghasilkan nasi yang matang dibutuhkan waktu lebih lama dengan takaran air yang pas. Jika airnya kurang, maka nasi menjadi keras. Sementara jika airnya berlebih, nasinya mirip bubur. Karena itu, ukuran airnya harus pas dengan api yang tidak terlalu besar. Selain itu, nasi yang dimasak harus diintip sewaktu-waktu, sekedar tuk memastikan bahwa nasinya sudah matang.

Sembari memasak nasi, kentang dan wortel saya potong-potong seukuran dadu untuk dijadikan sup. Kemudian dipanaskan diatas nasi. Dengan kompor trangia, kita bisa memasak beberapa menu sekaligus. Posisinya bertingkat. Jika dibagian bawah memasak nasi, maka atasnya bisa digunakan untuk memasak sup. Atau, ketika nasi tidak membutuhkan api yang besar, maka posisinya dibalik. Sup dibagian bawah dan nasi diatasnya.

Aksi memasak membutuhkan waktu 40 menit. Selanjutnya, makan siang. Namun sebelum makan, setiap porsi dibagi dalam ukuran yang sama. Tidak ada yang lebih banyak atau lebih sedikit. Semua sama. Baru, ketika ada kelebihan, maka siapa yang berminat, boleh mengambilnya.

***
Hari menjelang sore, ketika kami berhasil menggapai sadel. Ketinggiannya 1795 mdpl. Dari kejauhan, kulihat sebuah tenda telah berdiri. Sebuah dome bertuliskan Mountain Hardware di sisi luarnya. Jujur, tenda dengan merk itu, baru pertama kali kulihat secara langsung. Sebelumnya, keberadaan tenda anti badai seperti itu lebih banyak kulihat di foto-foto pada ekspedisi ke Himalaya.

"Hello genk!", pekik seorang anggota timku.


Tidak ada jawaban. Hening. Dari beberapa kali panggilan, tetap tidak ada sahutan. Mengetahui kondisi itu, saya mulai curiga. Jangan-jangan ada apa-apa. Tiba-tiba saya teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika kami menemukan sebuah tenda kosong yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya di puncak Gunung Sinabung, Sumatera Utara. Hingga seminggu pencarian, kami tak menemukan pemiliknya. Mereka hilang. Lenyap. Ada yang mengatakan, mereka telah pergi ke dimensi yang berbeda. Bahkan hingga kini, 3 pendaki itu tak kunjung ditemukan.

Semakin mendekati tenda bewarna kuning itu, perasaan semakin waswas. Namun, dari sepatu yang ditinggal di depan tenda, kupastikan bahwa tenda itu memang miliknya. Sahabat lama yang telah lebih dahulu tiba di sadel. Sobat yang berjanji menunggu kehadiran kami.


"Bro, lu di dalam kah?", teriakku


"Ya... aku disini!"


Lamat-lamat kudengar jelas suarannya. Ternyata ia ada di dalam tendanya.  Karena terlalu letih, ia tertidur, hingga tak mendengar, ketika kami memanggil namanya berkali-kali. Bahkan dalam tone yang begitu keras.


"Maaf, gw kecapean, bro!", paparnya.


Begitu mengetahui ia baik-baik saja, kami langsung meriung di depan tendanya. Mendengarnya berceloteh tentang pendakian solo-nya tadi. Sementara itu, secara perlahan, kabut tipis mulai turun.

***
Pukul 8 malam lebih 13 menit, acara makan malam selesai. Menunya, telur dadar, tumis kacang plus steik dan nasi secukupnya. Steik sebenarnya tidak termasuk dalam daftar menu. Logistik itu merupakan additional menu yang sengaja dibawa oleh salah seorang anggota tim. 

Begitu makan malam kelar, kini waktunya acara santai. Teh dan kopi pun telah tersedia. Namun, bagi yang ingin minuman jenis lain, bir kaleng jadi altenatif. Bir itu sengaja kami bawa, karena minum bir di puncak gunung memberi kenikmatan tersendiri. Bir yang tadinya hangat, kini berubah dingin, seiring suhu yang terus menurun. Saat kulirik, Suunto vector-ku memunculkan angka 15 derajat celsius.


"Pantas, birnya langsung dingin!", gumamku.

Malam itu, kami bercengkerama tentang banyak hal. Tentang kehidupan. Tentang yang lucu-lucu juga. Pun, tak ketinggalan update info terbaru terkait rute pendakian dan peralatan (gear), baik untuk  gunung hutan, maupun gunung-gunung es.

Malam itu, ntah mengapa, saya lebih banyak diam. Rasanya ingin menikmati suasana, tanpa bermaksud merusaknya. Masuk lebih dalam di keheningan malam yang jauh dari hingar bingar kendaraan dan lampu kota. Dan suasana seperti itu sangat saya rindukan.

Malam itu, usai makan, berempat kami bergeser ke api unggun. Api unggun sengaja kubuat tak jauh dari tendaBeruntung, saat itu tidak hujan, sehingga mendapatkan ranting kering relatif mudah. Tak berapa lama, api unggun menyala seiring hembusan angin malam yang dingin. Dalam kondisi seperti itu, pilihannya hanya satu, dekat dengan sumber kehangatan. 

Puas ngobrol, satu persatu anggota tim mulai mengantuk. Mereka pun meringsek masuk ke dalam tenda. Sementara itu, saya masih menikmati malam ditemani sobat lama.


"Rasanya sudah lama, kita tidak ketemu", ujarku sebagai pembuka pembicaraan.


"Terakhir, 5 tahun lalu kita ketemu di Taman Hidup, Gunung Argopuro, bukan?", sahutnya.


"Ya... Sudah lama sekali?", kataku.


5 tahun lalu, saya bertemu dengannya. Lagi-lagi tidak sengaja, ketika ia membawa anak baru mapala kampusnya mengikuti pendidikan dasar (diksar) kepecintaalaman. Saat itu ia bertindak sebagai "danlat" atau komandan latihan yang bertanggungjawab penuh terhadap jalannya diksar selama 7 hari. Momen itu menjadi saat terakhirnya berkiprah di mapala sebelum ia lulus.


Sementara saya, bersama beberapa teman alumni kampus, sedang piknik. Jika banyak orang piknik ke pantai, mal atau bahkan keluar negeri, maka bagi kami, mendaki gunung adalah piknik yang sebenarnya. Piknik yang murah meriah. Jauh dari tepuk tangan. Jauh dari gegap gempita orang-orang yang menginginkan sorak sorai.


Mendaki gunung ibarat menyusuri keindahan Bumi yang sesungguhnya. Melihat dari dekat lekuk-lekuknya. Mendengarkan langsung panggilannya. 


Di gunung, kami menemukan kedamaian. Memahami arti persahabatan, hingga merasa lebih dekat dengan sang pencipta. Sebuah pencapaian tertinggi dari kontemplasi diri atas perenungan panjang. Perenungan akan makna kehidupan. Kehidupan yang selalu berubah dan tak pernah sama.


Di depan api unggun, saya tak bisa diam. Selalu saja ada yang dikerjakan. Jika tak mengumpulkan ranting kering, saya suka mengikuti gerakan lidah api yang menyala. Menurut saya gerakannya indah. Agak unik juga. Dan melihat gerakan itu, hati kembali bergairah. Ada semangat yang meluap-luap. Mungkin itu sebabnya, mengapa orang lebih percaya diri ketika dekat dengan api unggun. Bisa jadi, api unggun, secara tidak langsung telah membangkitkan semangat. Semangat untuk tidak takut. Lebih berani jadinya.


***

"Oh ya, tadi siang kamu meninggalkan pesan di Pos II", tanyaku

"Ya!", jawabnya

"Ada apa sebenarnya?"


Begini ceritanya....

Kepergiannya mendaki gunung, sejatinya tak lebih dari pengalihan dari rasa bingung. Pun, rasa bersalah juga. Rasa yang diakibatkan oleh salah paham dengan kehadiran seorang perempuan. Namun bukan perempuan istimewanya.

"Yah... perempuan lagi. Btw, ini perempuan yang mana? 
Udahlah! Lupakan saja. Mereka bisanya hanya mengganggu hidup kita saja. Tidak lebih",  ujarku

"Tapi, yang ini beda", sanggahnya.


"Bedanya dimana?", tanyaku lagi.


Ia lalu bercerita tentang pengalamannya seminggu lalu. Saat itu, bersama temannya, mereka menyiapkan sebuah trip wisata ke Pulau Handeleum yang berada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Sejurus kuperhatikan, arah ceritanya normal-normal saja. Tidak ada yang aneh. Semua mengalir seperti biasanya.

Secara runut, ia bercerita tentang ajakan mengelola trip wisata. Tentang rapat-rapat rutin yang mereka lakukan. Tentang klien yang akhirnya hengkang di menit-menit terakhir, karena ada kesibukan dadakan. Dan tentang potensi keuntungan yang bakal dicapai.

Oh ya, sobat saya ini, setahuku sudah punya teman istimewa. Seorang perempuan biasa, yang sama sekali tak gemar dengan kegiatan alam bebas. Kami menyebutnya teman istimewa, bukannya pacar. Bagi kami, istilah pacar terlalu murahan dan sangat merendahkan kaum perempuan. Sebutan teman istimewa, rasanya lebih bermartabat. Lebih terhormat juga.

Saya tidak tahu nama lengkap teman istimewanya itu. Namun ia kerap dipanggil dengan sapaan "drue". Setahu saya, drue merupakan teman kampusnya dulu. Mereka beda angkatan dan beda fakultas juga. Menurut pengakuannya beberapa tahun silam, perjumpaan dengan drue adalah sebuah kebetulan. Sebuah anugerah yang harus disyukuri.

Belakangan mereka semakin akrab. Hubungan itu terus berlanjut hingga mereka tamat kuliah. Selanjutnya drue bekerja di dunia PR, sementara sobat saya itu aktif di dunia IT. Pekerjaannya sebagai konsultan IT freelance membuatnya bisa terbang kesana-kemari. Ia pun tak ingin terikat dengan satu perusahaan, sebagai karyawan tetap. Baginya, bekerja sebagai freelance telah memberi banyak keuntungan. Salah satunya, bisa tetap aktif berkegiatan di alam bebas dan memenuhi hasratnya berpetualang. Keliling Indonesia juga.

Selain aktif di mountaineering, sobat saya itu juga aktif di dunia diving. Ia merupakan penyelam aktif dengan sertifikasi "rescue". Kegemarannya beraktivitas di dunia bawah air yang menghantarkannya pada tawaran terakhir, yakni menggagas trip wisata ke Handeleum, yang juga terkenal dengan dunia bawah airnya yang mempesona.

Saat itu, ia di hire untuk menyukseskan trip wisata dengan total peserta sebanyak 40 orang. Di Handeleum, rencana kegiatannya canoing dan snorkeling. Selain itu, beberapa orang peserta juga menginginkan diving. Itu sebabnya, ia harus menyiapkan banyak hal, mulai dari melakukan kontak dengan penduduk lokal, menyiapkan penginapan hingga menyediakan sejumlah peralatan yang dibutuhkan.

Namun, sebelum terlalu jauh, sobat saya itu juga bercerita tentang kehadiran perempuan lain. Perempuan itu telah ia singgung sedikit sebelumnya. Perempuan itu adalah salah seorang kliennya. Ratna namanya. Belakangan, sobat saya mengetahui jika Ratna telah bersuami dan memiliki seorang anak hasil dari perkawinan mereka. Itu sebabnya ia mengambil jarak. 

Singkatnya, tak ada yang istimewa dari persahabatannya dengan Ratna. Hubungan mereka tak lebih dari urusan kerjaan. Ratna yang menjadi kepala bagian di salah satu perusahaan, kerap meminta jasanya melakukan pemeliharaan jaringan internet. Biasanya 1 kali dalam 6 bulan. Kondisi itu membuat mereka jarang bertemu. Jika pun bertegur sapa, tak lebih hanya di dunia maya, lewat media sosial.

Meski tak begitu dekat, di beberapa kesempatan, mereka kerap terlibat diskusi serius. Lagi-lagi hanya lewat sosial media. Biasanya mereka berargumentasi tentang topik-topik tertentu, seperti peta politik nasional, fenomena yang sedang in di media sosial atau hal-hal yang berbau kemanusiaan. Nah, dari diskusi itu, kecemburuan suami Ratna muncul. Ntah bagaimana awalnya, sang suami tidak suka jika ada orang yang bersinggungan dengan Ratna, meskipun hanya sebatas teman. Posesif akut. 

Angin mulai bertiup kencang, ketika kami terlibat pembicaraan serius. Sementara itu, api unggun mulai ikutan menggigil, terlihat dari nyalanya yang kian kisut. Tak ingin api padam, saya lalu beranjak ke belakang tenda. Dengan cepat saya kumpulkan ranting-ranting pohon yang berhasil ditemui,

"Tunggu sebentar. Gw nyari kayu dulu. Biar kita tetap hangat!", pintaku


"Oke. Btw, lu butuh bantuan", tanyanya.


"Gak... Gw sendiri aja. Tunggu saja disitu", ujarku sembari menghidupkan headlamp yang sedari tadi melingkar di kepala. 


***
Tak berapa lama, saya telah kembali di depan api unggun. Lengkap dengan seikat ranting kering dalam ukuran besar. Selanjutnya tingggal memasukkan ranting ke dalam api agar terus menyala. Satu persatu, secara perlahan. Mengapa tidak sekalian? Jawabnya, biar nyala apinya awet. Tidak langsung habis, secara pembicaraan masih panjang.

"Oh ya, sudah sampai mana, tadi, kita?", tanyaku

"Udah sampe tentang suami yang cemburu", jawabnya.


Sobat itu, kembali melanjutkan ceritanya. Kali ini, ia berkisah tentang teror SMS yang diterimanya pada suatu malam. Tepat pada saat ia akan berangkat membawa trip wisata. Isi pesannya sangat singkat.


"Eh Homo Anjing!",  begitu bunyi yang dikirim dari nomor Telkomsel itu.


Karena berlatar belakang IT, tak sulit baginya menelusuri siapa pemilik nomor itu. Selain itu, ia juga memiliki banyak teman di berbagai provider. Telkomsel salah satunya. Tak perlu waktu lama, ia pun mengetahui siapa nama dan dari mana nomor itu berasal.


Nomor itu ternyata berasal dari timur Jakarta dengan pemilik bernama xxxx (baca: sensor). Sebuah kawasan yang akhir-akhir ini sangat jelas artinya.


"Oh, jadi itu alasan lo mendaki gunung sendiri", tanyaku.


"Sebenarnya ada unsur lain", jawabnya.


"What???"

Sobat itu, kembali melanjutkan kisahnya. Ia lalu bercerita tentang perjalanannya ke Pulau Pramuka untuk mengambil alat snorkeling sebanyak 34 set lengkap. Ia berangkat pada Kamis pagi dengan menumpang "Predator", kapal cepat yang berangkat dari Marina - Ancol menuju P. Pramuka. Alat snorkel itu ia sewa dari koleganya di P. Pramuka. Maklum, alat snorkel di Handeleum tidak ada. Mau gak mau semua alat kudu dibawa dari Jakarta.


"Kebayang dunk, gimana rempongnya gw bawa alat sebanyak itu, Seorang diri, pula!", paparnya.


"Emang gak ada yang bantuin?", tanyaku.


"Gak ada, karena semua teman sedang sibuk. Jadinya semua alat snorkeling (mask, fins dan snorkel) gw bawa sendiri."


"Wah, itu mah, benar-benar merepotkan", ujarku.


Di waktu-waktu tertentu, apalagi di saat kerjaan sedang numpuk, sobatku itu selalu menyempatkan diri menyapa drue. Jika tidak menelepon, minimal say hello lewat whatsapp

Keesokan harinya, pada Jumat pagi, ia mendapat kabar jika drue sakit. Kepastian itu ia dapatkan usai menelpon. Di telepon, suara drue terdengar berat dan pendek-pendek. Sesekali disertai batuk. Komunikasi yang tercipta pun tidak lama. Hanya sebentar. Kurang lebih 2 menit.

Di penghujung percakapan, sobatku menyarankan agar drue segera berobat. Pasalnya, kondisi seperti itu tidak bisa dianggap enteng. Jika saja, ia tidak sedang terlibat persiapan trip wisata, pastinya ia langsung menuju kostan drue. Namun hari itu, banyak peralatan yang harus disiapkan. Belum lagi, ia harus koordinasi dengan pihak bus, agar datang tepat waktu.

Usai menyiapkan peralatan snorkeling, siangnya, sang sobat harus bergeser ke kolam renang Pertamina di Simpruq untuk mengambil sejumlah peralatan diving. Beruntung orang yang berjanji akan memberikan peralatan diving masih sempat ketemu. Dari situ, ia kembali bergerak menuju base camp. 

Dengan kesibukan yang sangat menyiksa, bisa dipastikan ia tak bisa kemana-mana. Bahkan untuk beristirahat di kost barang sejenak pun susah. Apalagi harus mengunjungi drue. Rasanya sulit. Karena itu ia pasrah. 

Di momen-momen seperti itu, biasanya sobat saya tak punya pilihan lain, selain mengungkapkannya lewat media sosial. Salah satunya lewat microblogging twitter. Hal-hal yang menarik perhatian, selalu ia tulis. Salah satunya tentang kekhawatirannya terhadap drue.

Malam itu, sekira pukul 19.22 WIB ia pun berkicau. Kicauan satu-satunya di hari Jumat. Khusus ditujukan buat drue


"Hei... apa kabarmu? Sehat kah? Semoga!!!", demikian bunyinya. 

Usai berkiacu, ia pun bergegas menuju base camp. Disana teman-temannya telah menunggu. Dari base camp, selanjutnya mereka bergerak ke Senayan, yang disepakati sebagai lokasi titik kumpul. 

Untuk trip-trip pendek, Senayan kerap dipilih sebagai lokasi berkumpul, karena letaknya yang strategis. Bisa dijangkau dari mana-mana. Agak di tengah juga. Selain itu, jalan di Senayan cukup luas, mampu untuk menampung banyak bis dalam ukuran sedang dan besar.


***
Jumat tengah malam, pukul 12.00 WIB, mereka bergerak dari Senayan menuju Ujung Kulon. Beriringan dengan 3 kendaraan. Satu bis ukuran sedang, satu elf dan satu mobil APV. Sebelumnya, semua peralatan telah disusun rapi, mulai dari projector, laptop, kertas, printer, speaker hingga peralatan snorkeling dan diving. Pun tak ketinggalan beberapa varian spanduk.

Di tengah perjalanan, tepatnya di rest area yang berada di wilayah Karang Tengah, Tangerang, sobat saya itu dikejutkan dengan sebuah notifikasi lewat imel. Notifikasi yang berasal dari twitter.

Awalnya, dia tak terlalu mempedulikan notifikasi itu, karena sibuk mengakomodir keinginan para peserta trip. Di rest area, para peserta ingin melakukan beberapa hal, seperti ke toilet, membeli cemilan, obat-obatan, rokok, dll. Berhubung jarak yang jauh, berbagai kebutuhan peserta hanya bisa dipenuhi di rest area itu, karena sesudahnya bus tidak akan berhenti dan segera melaju menuju Sumur, lokasi terakhir sebelum menyeberang ke Handeleum.

Begitu naik ke bis, ia mengecek push-mail lewat smartphonenya. Matanya kembali tertuju kepada notifikasi tadi. Kali ini jantungnya berdegup kencang. Tak kuasa ia menahan marah. Ada rasa malu juga.

Saat itu, ia tak berani melihat lebih detil isi notifikasinya, karena tulisan itu membuatnya ingin muntah. Baginya, notifikasi itu tak lebih sebagai bentuk teror. Dan karena tak ingin berlama-lama dalam keadaan tak menentu, secepatnya item notifikasi itu didelete. Ia pun tak berniat membacanya sama sekali.

"Lalu, apa sebenarnya isi notifikasi itu?", tanyaku

"Isinya, tentang ungkapan kesal suami Ratna yang mengira saya masih mengejar-ngejar istrinya. Dan uniknya, balasan itu di replay menggunakan akun twitternya Ratna", jawabnya.

"Artinya si suami tahu password twitter Ratna atau mungkinkah ia nge-bajak henpon istrinya?

"Bisa jadi begitu. Tapi saya gak peduli. Gak mau tau"

"Lalu replay twittnya lu balas?"

"Gak. Gw gak ingin memperkeruh suasana. Biarlah persoalan itu mereka selesaikan sendiri. Dan gw gak ingin terlibat terlalu jauh. Karena itu gw diam aja"

"Trus, twitt lu yang jadi biang masalah, lu hapus?"

"Gak. Gw biarin aja. Toh gak ada yang salah dengan kicauan gw. Gw gak menyebut nama dan gw gak menulis sesuatu yang tidak sopan. Menurut gw, kicauan gw biasa saja."

"Oh begitu!"

Malam itu, sang sobat akhirnya mengeluarkan semua uneg-uneg yang membuat hatinya gundah. Baginya, ia ingin hidup normal. Tidak berniat untuk mengganggu siapapun, apalagi istri orang. Hal-hal itu jauh dari keinginannya. Toh, ia sudah memiliki teman istimewa. Seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang sangat dicintainya.

"Lalu bagaimana perasaanmu sekarang?", tanyaku

"Lega... Ya, lebih lega aja", pungkasnya.

Sedetik kemudian, suasana menjadi hening. Hanya bunyi "kretek" berasal dari kayu yang terbakar menjadi sumber suara malam itu. Masing-masing dari kami diam menikmati keindahan api unggun yang mulai melemah.

Saat asyik memandang api, tiba-tiba angin kencang muncul. Api kembali menyambar kayu, membuatnya menyala lebih besar. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya rintik hujan segera turun. Pertanda kami harus beranjak, menyudahi perbincangan malam itu.

"Wah, hujan nih! Kok momennya pas, yak?", celutukku

"Ya udah, gw istirahat dulu ya. Besok pagi mau ke puncak", balasnya.

"Sama! Gw juga mau istrirahat", pungkasku.

Demikianlah malam itu, sebelum masuk ke tenda, saya kembali berbenah. Semua peralatan masak plus logistik dirapikan. Pun tak ketinggalan dengan sepatu dan ransel. Semuanya kusisipkan di dekat tenda. 

Dan sebagai kegiatan pamungkas malam itu, api unggun kupadamkan. Kupastikan, tidak ada api yang menyala. Yakin api telah padam, saya pun melangkah ke pojokan di bibir tebing. Ditempat itu, saya menyalurkan hasrat biologis yang jadi rutinitas sebelum tidur. Buang air kecil. Setelahnya saya melangkah menuju tenda. Hangatnya sleeping bag bulu angsa merk "Salewa" telah menanti. 

--eNd--

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN