Monday, November 02, 2015

November Rain, It's Really Happen!

(sumber: http://globe-views.com)
November rain washed away may guilt.
November  rain washed away my pain.
November rain, so tired i felt.
November rain was not just any rain.
-- Amy Philip 

Malam hari, 2 November 2015, saya masih di kantor, sok sibuk dengan rutinas harian, ketika seorang teman di studio berkomentar tentang hujan dikawasan Cibubur, Jakarta Timur. Mendapat kabar itu, saya langsung berseru: "Thanks God!", meskipun belum tahu, kapan pastinya hujan akan menyeberang merata hingga Jakarta Selatan.

Sementara itu, ketika melirik media sosial lewat smartphone, rata-rata postingan teman bertema tentang hujan di bulan November. November Rain, istilahnya, merujuk pada judul lagu milik band legendaris Guns n' Roses. Dan hujan pertama di musim ini, betul-betul jatuh di bulan November. Apakah sebuah kebetulan? No comment. Yang pasti kesan serunya begitu terasa.

Hujan lebat disambut warga Jakarta dengan antusias, tak terkecuali dengan saya. Karena kemarau panjang telah membuat banyak sumur kehabisan air dan banyak tanaman mati.

Jujur, dalam 2 bulan terakhir, saya tersiksa dengan keterbatasan air di rumah. Air yang dimaksud adalah air untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci dan kakus. Setiap hari, saya harus rela menunggu air tanah yang ada di sumur pompa kembali terisi, sebelum diisap oleh mesin bermerk "Dab". Kondisi itu membuat saya berada pada situasi 'harap-harap cemas'. 

Beberapa waktu terakhir, kondisi harap-harap cemas telah menjelma menjadi harap-harap stres, ketika air yang dinanti tak kunjung tiba. Kondisi itu ditandai suara mesin yang menggerung tanpa henti. Itu artinya, air tidak mampu disedot dari kedalaman 26 meter, atau airnya memang sedang kosong. Jika demikian, tak ada pilihan lain selain membiarkan mesin sementara waktu. Mati.

Usai didiamkan selama 30 - 60 menit, biasanya air tanah muncul kembali. Namun kondisi itu bukan jaminan! Belakangan, hingga berjam-jam lamanya, air tanah sering tak kunjung hadir. Jamaknya, mesin akan berbunyi nyaring, sebagai pertanda air telah terkumpul dan siap disalurkan ke bak penampungan di kamar mandi. Dan, kondisi itu adalah sebuah anugerah.

Dalam sehari, sedikitnya tiga kali saya harus berjibaku hanya untuk menunggu air, yakni saat pagi, siang dan sore hari. Aktivitas itu udah mirip dengan minum obat dari dokter, atau kewajiban untuk makan 3 kali, kalo gak mau mati kelaparan. Edan gak?

Namun yang paling edan adalah ketika harus menunggu air di pagi hari. Bayangin aja, ketika mata masih sepat karena baru pulang dari kantor subuh tadi, saya harus bersiap dengan kunci Inggeris dan segayung air. Setelah melompat pembatas setinggi 1.2 meter, saya lalu bergegas ke mesin pompa yang ada di belakang rumah tetangga sebelah. Selanjutnya, tinggal membuka knop mesin dan menambahkan air sebagai pancingan, agar mesin kembali menyala.

Oh ya, mesin pompa di rumah sebelah, baru seminggu kemarin diganti, setelah saya dan tetangga mengeluhkan sulitnya mendapatkan air. Maklum, mesin pompa sebelumnya sudah berumur lebih dari 3 tahun. Ada dugaan, mesin itu tidak mampu bekerja dengan maksimal. Akhirnya, atas usulan bersama, pemilik kontrakan menggantinya dengan mesin baru. Harapannya, mesin baru mampu menyedot air lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya. Namun sayang, mesin baru ternyata tidak jadi jaminan. Pasalnya, air yang tersedia di bawah sana sangat terbatas. Itu artinya, baik mesin lama atau mesin baru, tak bisa berkerja secara normal, selama persediaan air tanah terbatas. 

Penderitaan soal air, tak berhenti sampai disitu. Ketika mesin lama diangkat, si pemilik kontrakan menyarankan kami menggunakan air dari mesin pompa lain. Mesin pompa itu berada 2 rumah dari deretan kontrakan kami, yang kebetulan kosong. Pipa dari mesin itu kemudian disambungkan oleh pemilik kontrakan ke rumah.

Awalnya, mesin berfungsi normal. Air yang keluar cukup banyak. Namun, beberapa hari berselang, persoalan lama muncul kembali. Air yang dinanti kembali tersendat. Akhirnya tak ada cara lain, selain menambahkan air sebagai pancingan ke dalam penampungan di mesin pompa. Mesin lalu hidup kembali, meski untuk waktu singkat, 5 - 10 menit saja. Miris!

Dari kondisi itu, yang paling merepotkan adalah ketika waktu mencuci pakaian tiba. Mencuci pakaian menggunakan mesin membutuhkan ketersediaan air yang banyak. Selain itu, airnya harus terus mengalir, utamanya ketika sedang membilas. So, bisa dipastikan, ketika air tersendat, kegiatan mencuci jadi terganggu. Dampak ikutannya, pakaian bersih jadi berkurang.

Selain itu, pernah di sebuah malam, ketika air di bak telah menipis, saya harus beranjak ke rumah itu untuk menghidupkan mesin. Kejadian unik pun terjadi. Baru dua menit berupaya menghidupkan air, saya didatangi beberapa warga. Mereka mengira saya seorang pencuri yang ingin mengambil mesin pompa. Maklum, saat itu sudah pukul 11 malam dan sekeliling telah gelap. Saat itu saya hanya bermodalkan senter, yang ternyata menarik perhatian mereka.

Akhirnya, setelah menjelaskan seperlunya, mereka bisa mengerti. Mereka lalu menanyakan mengapa mesin pompanya tidak menyala? Uniknya, warga juga mengamini jika ketersediaan air di rumah mereka sangat terbatas. Hal itu menandakan, kesulitan air dirasakan secara merata oleh semua tetangga sekitar.

Begitu seterusnya, ketika air telah habis, maka saya harus mengutak-atik mesinnya sembari menunggu beberapa waktu sebelum air mulai mengalir. Untuk membuat bak berukuran 1 x 1 meter terisi penuh, sedikitnya dibutuhkan 4-5 kali usaha menghidupkan mesin pompa dengan durasi total 1-2 jam. Lalu, ketika air di bak telah penuh, mesin pompa kembali diistirahatkan. Memberinya jeda, bagi air tanah kembali berkumpul.

Demikian rutinitas harian saya, demi air yang terus mengalir. Sebuah perjuangan tak kenal lelah. Perjuangan demi mendapatkan air bersih yang jadi sumber kehidupan. 

***
"Pa, hujannya sudah lebih dari 1 jam belum berhenti juga", ujar mamaw di ujung telepon.
"Oh... akhirnya hujan sampe di rumah juga", gumamku.
"Ya!"

Sejak kemarau panjang dimulai sekitar April lalu, ini merupakan hujan pertama dengan intensitas cukup tinggi di Jakarta. Setelah sekian bulan tak diguyur, sejumlah wilayah secara bergantian mendapat jatah hujan secara merata. Malam itu, BMKG mencatat,  hujan berlangsung dengan intensitas sedang dalam kurun waktu bervariasi, antara 4o menit hingga 1 jam.

Khusus untuk wilayah Warung Buncit hingga Kalibata, Jakarta Selatan, hujan mulai turun sekitar pukul 20.15 WIB. Sebelumnya, diawali dengan gerimis dan angin kencang sebelum intensitas hujan mulai membesar.

Meski hujan yang turun tak terlalu deras, namun, ruas jalan di kawasan Jakarta Selatan langsung basah dalam sekejap. 

"Jalanan depan rumah udah pada basah kena hujan. Genangan juga mulai ada", ungkap mamaw.

Sementara itu, seorang teman yang baru tiba di kantor pada pukul 23.45 WIB menuturkan, hujan telah menyebabkan kemacetan panjang. Salah satunya disepanjang Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kemacetan juga bertambah, akibat banyaknya sepeda motor yang di parkir di ruas jalan itu. Teman itu, seperti juga para pengendara lainnya tidak menduga jika malam itu hujan turun dalam waktu lama.

"Tadi sempat nepi sebentar di halte, nunggu hujan reda, sebelum lanjut ke kantor", ujar teman yang sehari-harinya berprofesi sebagai editor visual itu.

Selain mengakibatkan kemacetan, hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya juga mengakibatkan sejumlah ruas jalan utama langsung dilanda banjir, akibat buruknya drainase. Salah satunya bisa dilihat dikawasan dekat persimpangan Kuningan, Jakarta Selatan. Di tempat itu, hujan sedikit saja, langsung mengakibatkan genangan.

Sementara itu, untuk kawasan-kawasan tertentu seperti Bogor, hujan bahkan sudah turun sejak sepekan silam. Di kawasan itu, hujan turun disertai angin kencang. 

"Di Bogor, sempat ada tornado, persis sebelum turun hujan," ungkap seorang kolega yang kebetulan warga Bogor, seminggu lalu.

Tak hanya itu, lewat pemberitaan di media massa disebutkan, jika wilayah Sumatera dan Kalimantan telah terjadi hujan lebat. Asap yang selama ini menjadi masalah sudah mulai berkurang.  Diperkirakan dalam sepakan ke depan, jika hujan datang setiap hari, asap akan lenyap. Bencana kabut asap pun akan hilang.

***
Pada Senin siang, data di web BMKG menyebutkan, sejumlah wilayah bakal diguyur hujan dan mengakibatkan genangan. Hujan juga mengguyur beberapa wilayah di Depok dan Bogor.

Sesuai perkiraan BMKG, hujan dengan intensitas sedang-lebat disertai kilat terjadi sejak pukul 18.30 WIB di beberapa wilayah, seperti: Pamulang, Serpong, Ciputat, Pondok Cabe, Cinere, Sawangan, Depok, Margonda, Parung, Bojonggede, Cilebut, Bogor, Darmaga, Jasinga, Ciomas, Leuwiliang, Ciawi, Tajur, Sentul, Cisarua dan sekitarnya.

Hujan diprediksi mengguyur Jakarta dan sekitarnya hingga pukul 21.00 Wib. Hujan juga membuat beberapa ruas jalan menjadi macet. Hujan yang mengguyur wilayah Jakarta Selatan terjadi cukup deras, meluas hingga ke wilayah Jakarta Barat.

BMKG juga menyebut, saat ini Indonesia telah memasuki pancaroba (baca: peralihan musim) dari kemarau menuju musim hujan. Diperkirakan musim hujan baru akan berlangsung mulai akhir November ini.

Sementara untuk hujan yang terjadi di Bogor dan beberapa wilayah Jabodetabek beberapa waktu lalu, sifatnya hanya lokal saja. Terjadi karena uap airnya telah jenuh, namun tidak dalam wilayah yang luas.

Biasanya, hujan di saat pancaroba ditandai dengan ciri-ciri seperti; turun dengan intensitas yang deras namun dengan durasi pendek, tak kurang dari 30 menit. Kalau dilihat dari skala peta, cakupan wilayah hujannya pun tidak terlalu luas. 

Selanjutnya, jika sudah masuk musim penghujan, hujannya biasanya berlangsung dalam waktu lama, yakni bisa dari siang hingga ke siang lagi. Bisa saja awalnya sangat deras, kemudian mengecil perlahan, baru kemudian benar-benar berhenti.

Jika musim hujan telah datang, salah satu yang perlu diwaspadai adalah timbulnya angin kencang. Angin kencang akan terjadi selama masa transisi. Sehingga jangan heran ketika angin kencang muncul, mampu merusak rumah, merobohkan pohon hingga merusak beberapa fasilitas umum lainnnya.       

Oh ya, Angin kencang  itu muncul karena pembentukan awan konvektif. Di mana pada masa transisi, dimensi awannya lebih ke arah atas, sedangkan ketika musim hujan pertumbuhan ke samping lebih banyak, daripada yang ke atas.

Kini, hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya pada Senin malam (2/11) menjadi jawab atas doa-doa warga ibukota yang makin khawatir dengan mengeringnya sumur mereka. Meski turun dalam tempo yang tidak begitu lama, kehadirannya bak oase yang menyejukkan. Hujan telah memberi harapan baru. Hujan, betul-betul dirindukan. Hujan di bulan November. Persis seperti sebuah judul lagu. 

-eNd-



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN