Thursday, November 12, 2015

*Indie



(foto ilustrasi. Source: https://thumbnail.mixcloud.com)

Mendapatkan Dalet (baca: komputer canggih untuk keperluan broadcasting) di jam-jam sibuk seperti malam tadi, rasanya sesuatu banget. Lalu setelahnya, tinggal menghanyutkan diri dengan rutinitas semu. Semu, karena kegiatan itu tak lebih dari bunga-bunga kehidupan. Patut dijalani tanpa memaki. Pun kudu disyukuri.

Menghanyutkan diri, sejatinya istilah saja. Menurut saya, yang lebih pas adalah menenggelamkan diri atau tenggelam lebih dalam. Yup, tenggelam memang serasa tepat. Bukan karena saya gemar menyelam, tapi sepertinya pas untuk menyerap makna dalam arti yang sesungguhnya.

Menenggelamkan diri, karena tak ingin bersinggungan. Bersinggungan dengan yang lain. Tak rela bersentuhan dengan mereka yang tak sepaham. Tenggelam agar terisolir dari lingkungan sekitar. Lalu, menarik diri dari hiruk pikuk dan tawa-tawa sumir tak tentu arah. Ketika ditanya, mengapa? Jawabnya, karena malas ajah! 

Singkat cerita, cara paling ampuh menenggelamkan diri adalah 'tutup kuping'. Menutup kuping bukan dengan menempelkan erat kedua tangan di telinga, namun dengan "headphone" kalo ada. Kalo gak ada, ya, pake earpiece aja. Cukup! Dan, kalo barang itu sudah menempel, lengkap sudah. Tinggal mainkan musiknya.

Selanjutnya, masuk ke youtube untuk pilih-pilih lagu. Menghibur diri dengan musik telah menjadi semacam pemantik kreativitas, sejak lama. Dulu sebelum ada youtube, biasanya pake pemutar mp3 dan si mamaw yang paling rajin untuk masuk-masukin lagunya. Namun, jauh sebelumnya lagi, saya memilih Walkman. Ya, itu dulu sekali. Hehehe...

Ketika saya tenggelam dengan kekayaan ritme, lirik dan nada, ternyata masih ada orang diluar sana yang belum terjangkau oleh bahasa universalnya sebuah lagu. Kasihan sekali menurut saya. Pasalnya, lewat musik, kita bisa mendapatkan kembali passion yang mungkin telah lama hilang. Lewat musik pula, inspirasi-inspirasi baru muncul. Dan melalui musik kita bisa mengenal dan mengapresiasi sebuah karya yang tentunya hadir dari perenungan panjang. Lalu, kadangkala musik pula yang kerap mendekatkan kita.

Balik ke youtube. Di situs berbagi video itu, ntah mengapa, saya selalu mencari lagu-lagu tak dikenal yang dibawakan oleh orang-orang tak terkenal. Mereka menyebutnya, anti mainstream atau independen. Lagu-lagu, yang diciptakan oleh band-band idealis, seperti: The Trees and The Wild, Sore, Layur, Nasadira, Banda Neira, Rendy Pandugo, Agustin Oendari, Payung Teduh, Marco Marche, hingga Hollywood Nobady jadi pilihan menarik.

Oh ya, kalo ditelusuri, Indonesia ternyata menyimpan potensi besar untuk urusan bermusik. Buktinya, genre musik yang hadir belakangan sangat bervariasi. Tak kurang dari puluhan bahkan ratusan jenis musik yang berbeda. Semua bak harmoni ditengah sunyinya malam. Berpadu menghasilkan keindahan. Hanya dimengerti oleh mereka yang paham saja.

Selain itu, Indonesia juga memiliki generasi muda yang tak gampang menyerah. Generasi yang tak lantas terpengaruh dengan arus utama. Generasi yang tetap eksis dan tak pernah putus tuk berkarya. Uniknya, mereka tetap setia, tidak dijalur mainstream, namun di kolam besar bernama "indie".

Indie sendiri merupakan singkatan dari kata independen. Secara harfiah diartikan sebagai 'bebas dan mandiri'. Karena itu, musik indie pada dasarnya merupakan musik yang mandiri dan terpisah dari jalur umum (baca: mainstream). Jalur Indie sangat memegang teguh nilai otentik, eksperimental, dan anti komersialisme. Pun, terkadang musik indie hadir tuk melawan genre pop culture. Sehingga mereka dianggap 'tampil beda'.

Sementara itu, musik umum kerap disebut 'musik mainstream'. Musik yang dihasilkan oleh band-band yang berlindung dibalik lebel besar, sebuah industri musik yang mapan. Karena memiliki sokongan dana yang besar, band-band itu biasanya memiliki coverage promosi yang luas. Tak heran, jika musik mereka bisa terdengar hingga ke desa-desa yang jauh dari ibukota. Promosi itu kerap dilakukan menggunakan beragam media, mulai dari cetak, elektronik hingga multimedia.

Selanjutnya, ketika harus memilah jenis musik berdasarkan kriteria diatas, maka yang tersisa hanyalah indie dan mainstream. Dan pembatasnya hanya soal industrinya saja, dimana nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman jadi indikator utama. 

Sementara itu, band-band indie biasanya melakukannya secara swadaya dan mandiri. Swadaya dan mandiri untuk berbagai kebutuhan, mulai dari rekaman, produksi, pemasaran hingga distribusinya. Agak repot, memang!

Oh ya, kadang masih ada orang yang salah mengartikan, jika musik indie merupakan salah satu aliran (baca: genre) musik. Sehingga, jika mengacu pada pemahaman yang saya sebutkan diatas, maka band indie tak lebih dari band yang memiliki prinsip kuat dan mengakar dalam sebuah idealisme bermusik, kreatif, bebas mengeluarkan ide-idenya dan memilih jalurnya sendiri tanpa terikat dari sisi komersialisme (mayor label) atau boleh dikatakan keluar dari jalur mainstream musik.

Tak hanya itu, jika bicara soal kemampuan atau talenta, maka tak bisa dipungkiri jika band-band indie terkadang lebih bagus dan lebih mumpuni dari band-band mainstrem. Soal faktanya, mah, banyak. Silahkan googling! Atau iseng-iseng klik kata "indie" di youtube, maka sederet grup indie akan muncul ke permukaan.

Dalam perkembangannya, musisi indie sadar tentang perlunya sebuah komunitas. Komunitas yang akan memperkuat sekaligus melindungi mereka, jika hal-hal buruk terjadi. Komunitas itu sangat menguntungkan bagi perjalanan ke depan mereka dalam bermusik.

Kini, beragam media juga digunakan untuk mendistribusikan karya-karya mereka. Diantaranya melalui internet (soundcloud, youtube, web, dll) hingga festival musik (indiefest). Hebatnya, karena tidak terikat dengan industri musik dan tidak memiliki target dalam penjualan, musisi indie mampu bekerja lebih bebas. Tanpa beban. Lepas tuk berkreasi.

Seakan tanpa batas, musik indie ternyata tak mengenal umur, golongan hingga batas negara. Ia ada dimana saja. Tak pula mengenal dominasi. Semua menyatu atas nama musik. Musik yang menyatukan. Musik yang memerdekakan. Itu sebabnya, tak heran jika banyak band-band indie mampu menyapa penggemarnya hingga lintas negara. Konser keliling dari satu negara ke negara lainnya. Hebat bukan? Pengalaman yang belum tentu mampu dilakukan oleh musisi dari mayor label.

Oh ya, balik lagi ke musisi indie yang bertalenta, saya sangat percaya. Buktinya, saat ini saya mengagumi penyanyi indie asal pulau dewata. Sandrayati Fay, namanya. Namanya tidak akrab di telinga, bukan? Tentunya banyak yang belum kenal siapa dia.

Oh ya, dari riset kecil-kecilan di internet disebutkan, Sandrayati Fay merupakan salah satu rising star asal Bali. Rising star karena suara merdunya. Suara yang agak beda, menurutku. Kalo gak percaya, cari di youtube, lagu yang judulnya "kita".

Meskipun lahir dan dibesarkan di Asia Tenggara dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bali dan Jawa, Sandra pernah tinggal bersama ibunya di Filipina selama 2 tahun dan ayahnya di Colorado, AS selama 1 tahun. 

Sandra dibesarkan di keluarga yang menggemari musik dan telah bernyanyi dan bermain gitar selama kurang lebih 10 tahun terakhir. Sandra juga berkolaborasi dengan band Nosstress di Bali  pada lagu ‘Kita’, dimana mereka bertemu di One Dollar for Music, sebuah yayasan yang berbasis di Bali.

Demikian secuil info tentang Sandrayati Fay. Namun, selain Sandra, saya juga hormat dengan musisi indie lainnya yang mengusung nama "Banda Neira". Musisi yang hanya terdiri dari dua orang itu, dalam perjalanannya sempat berpisah, namun disatukan kembali oleh rasa. Rasa untuk bermusik.

Sebelum berpisah, iseng di sela-sela pulang kerja, dua mahkluk kreatif, Ananda Badudu (jurnalis Tempo) Rara Sekar (pekerja sosial) secara serius menggarap mini album yang diberi tajuk "Di Paruh Waktu". Lagu-lagu mereka sendiri pada awalnya merupakan proyek iseng, nekat dan kurang persiapan. Mereka gak menyangka jika musik mereka banyak yang menanggapi. Tanpa dilebihkan atau dikurangi, memang demikian adanya, Banda Neira. 

Oh ya, Banda Neira sendiri merupakan nama pulau yang berada di bagian bawah Maluku. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa pejuang bangsa sempat dibuang oleh Belanda ke sana. Di antaranya Sjahrir dan Hatta. Banyak cerita menarik yang ditulis Sjahrir tentang Banda Neira. Dari catatan hariannya, Sjahrir tak merasa seperti orang buangan ketika diasingkan ke sana. Semua karena pulaunya yang indah dan masyarakatnya yang ramah. Sementara Hatta sibuk baca buku, Sjahrir asik bermain dan mengajar anak-anak setempat. 

”Di sini benar-benar sebuah firdaus”, tulis Sjahrir di awal Juni 1936.

Finally, mungkin karena takdir, saya akhirnya menemukan Banda Neira. Dan kalian mungkin tak tahu, jika pulau Banda merupakan salah satu lokasi menyelam terbaik di Indonesia. Beragam karakteristik ada disana. Mulai dari wall, arus, hingga beragam jenis terumbu karang dan ikan.

Ya..., saya pastikan, saya harus kesana, kawan! Ntah kapan. Untuk menyelam!
--eNd--


No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN