“Penelitian menunjukkan terumbu karang di Indonesia memiliki daya resiliensi yang kuat. Pun tahan terhadap fenomena El Niño ”
-- Mark Spalding, peneliti senior kelautan TNC
Artikel terbaru yang terbit di majalah Science, jurnal ilmiah terkemuka di dunia, pada November 2015, menemukan fakta unik tentang terumbu karang di Indonesia. Artikel tersebut ditulis oleh Mark Spalding, peneliti kelautan untuk The Nature Conservancy (TNC).
Penelitan Spalding membuktikan bahwa pada kondisi tertentu, terumbu karang memiliki tingkat ketahanan yang memungkinkannya bangkit kembali meski telah dihantam badai, diserang bintang laut maupun wabah penyakit. Sebagaimana layaknya mahkluk hidup lainnya, terumbu karang yang merupakan ekosistem yang sangat dinamis juga melewati fase penurunan dan pertumbuhan. Dan kondisi itu merupakan sesuatu yang alami.
Sementara itu, di sisi lain, terumbu karang juga menghadapi ancaman yang nyata, yakni perubahan iklim. Di banyak tempat di dunia, perubahan iklim telah mengakibatkan terumbu karang mengalami kepunahan, seiring dengan terjadinya coral bleaching (pemutihan karang).
"Selama puluhan tahun terumbu karang harus bertahan menghadapi berbagai ancaman manusia dan kini ancaman terus bertambah dengan adanya perubahan iklim. Ini adalah ancaman baru yang mengundang banyak keprihatinan, tetapi terlalu dini untuk menyatakan bahwa ini adalah akhir dari keberadaan terumbu karang. ", ujar Mark Spalding.
Sebelumnya, terumbu karang di Indonesia pernah mengalami pemutihan karang masal akibat pemanasan suhu permukaan laut di atas normal dalam waktu lama sebagai dampak dari fenomena El Niño. Kejadian pemutihan masal terparah terjadi di tahun 1998 dan 2010.
Pada kedua waktu tersebut, dua wilayah yang memiliki keragaman terumbu karang tertinggi seperti Wakatobi dan Kofiau-Raja Ampat mengalami pemanasan suhu permukaan laut. Namun daya resiliensi yang tinggi membuat kedua kawasan itu tetap terjaga kelestariannya.
“Selain tingkat resiliensi yang tinggi, terumbu karang di Indonesia juga didukung oleh kondisi perairan yang dinamis (terjadinya pengadukan dan upwelling) dan suhu perairan yang bervariasi yang mempercepat proses pemulihan dan pertumbuhan rekruitmen karang,” ungkap Rizya Ardiwijaya, ilmuwan dari TNC Indonesia.
Coral bleaching
Coral bleaching (pemutihan karang) dapat diartikan sebagai hilangnya warna karang yang disebabkan oleh degradasi populasi Symbiodinium (zooxanthellae simbiotik) dan/atau pigmen alga tersebut. Hal itu terjadi seiring dengan peningkatan kadar CO2 yang berakibat pada peningkatan suhu permukaan laut. Meningkatnya suhu permukaan laut, menyebabkan perubahan warna jaringan pada terumbu karang dari warna hijau atau coklat menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat berakibat kematian pada karang.
Selain terjadinya coral bleaching pada karang, peningkatan suhu juga meningkatkan laju pertumbuhan patogen karang, seperti bakteri dan mikroba yang lain, sehingga peningkatan terjadinya penyakit karang disebabkan karena meningkatnya patogen yang istilah sering dinamakan coral disease.
Selain pengaruh suhu permukaan laut, parameter fisika kimia lingkungan juga berpengaruh pada terumbu karang. Parameter fisika kimia yang berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang antara lain, arus, salintas, kecerahan, nutrien (nitrat, nitrit dan fosfat), dan kedalaman. Terjadinya coral disease/bleaching juga disebabkan oleh parameter fisika kimia perairan.
Dalam keadaan normal karang mampu hidup pada thermal treshold (kisaran suhu diatas rata-rata) dan apabila meningkat dari 1 – 2 derajat C diatas rata-rata suhu/bulan maka akan mengakibatkan bleaching massal. Potensial peningkatan suhu permukaan laut di tahun 2050 adalah 1 – 3 derajat C.
Sementara itu suhu optimal untuk hidup coral berkisar antara 24-29 derajat C dan setiap spesies coral memiliki bleaching threshold yang spesifik. Karang bisa hidup pada batas suhu tertentu. Anomali positif sebesar 1 – 2 derajat C selama 5 – 10 minggu saat musim panas dapat menyebabkan bleaching.
Kemampuan Beradaptasi
Pengamatan Mark Spalding tentang karang di Indonesia menunjukkan kemampuan beradaptasi terhadap peningkatan suhu dan derajat keasaman, lebih dari perkiraan sejumlah ilmuwan. Spalding mencatat bahwa kemampuan adaptasi tersebut, di samping ketahanan alami terumbu karang, memungkinkan mereka untuk pulih dari gangguan bahkan yang cukup parah.
Sebagai contoh, sebagian besar terumbu karang di British Indian Ocean Territory dan Seychelles, yang pada tahun 1998 kehilangan hampir semua karang mereka karena pemanasan air yang mengakibatkan pemutihan karang (coral bleaching), menunjukkan pemulihan dalam jangka waktu 10 tahun.
Terumbu karang yang menutupi 0,07 persen dari permukaan laut, sangat penting bagi 275 juta orang yang kehidupannya bergantung pada laut. Terumbu karang mendukung lebih dari seperempat sektor perikanan skala kecil di dunia, menciptakan lapangan kerja dan devisa melalui pariwisata dan memberikan pertahanan laut terhadap badai, banjir dan erosi.
“Kemampuan untuk menahan ancaman, atau untuk pulih dari dampaknya, bervariasi dari satu terumbu karang dengan terumbu karang lainnya,"jelas Spalding.
Agar bleaching tidak terjadi, upaya melindungi terumbu karang secara alami perlu terus diupayakan, khususnya untuk meningkatkan daya tahan dengan mengurangi ancaman lokal. Beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya; melindungi terumbu dari penangkapan ikan yang berlebih, polusi dan sedimentasi.
Pengelolaan seperti ini diharapkan akan menyelamatkan jutaan jiwa yang hidupnya bergantung pada terumbu karang. Selain itu, upaya tersebut ikut membantu upaya global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastis. (jacko agun)
-- Mark Spalding, peneliti senior kelautan TNC
Artikel terbaru yang terbit di majalah Science, jurnal ilmiah terkemuka di dunia, pada November 2015, menemukan fakta unik tentang terumbu karang di Indonesia. Artikel tersebut ditulis oleh Mark Spalding, peneliti kelautan untuk The Nature Conservancy (TNC).
Penelitan Spalding membuktikan bahwa pada kondisi tertentu, terumbu karang memiliki tingkat ketahanan yang memungkinkannya bangkit kembali meski telah dihantam badai, diserang bintang laut maupun wabah penyakit. Sebagaimana layaknya mahkluk hidup lainnya, terumbu karang yang merupakan ekosistem yang sangat dinamis juga melewati fase penurunan dan pertumbuhan. Dan kondisi itu merupakan sesuatu yang alami.
Sementara itu, di sisi lain, terumbu karang juga menghadapi ancaman yang nyata, yakni perubahan iklim. Di banyak tempat di dunia, perubahan iklim telah mengakibatkan terumbu karang mengalami kepunahan, seiring dengan terjadinya coral bleaching (pemutihan karang).
"Selama puluhan tahun terumbu karang harus bertahan menghadapi berbagai ancaman manusia dan kini ancaman terus bertambah dengan adanya perubahan iklim. Ini adalah ancaman baru yang mengundang banyak keprihatinan, tetapi terlalu dini untuk menyatakan bahwa ini adalah akhir dari keberadaan terumbu karang. ", ujar Mark Spalding.
Sebelumnya, terumbu karang di Indonesia pernah mengalami pemutihan karang masal akibat pemanasan suhu permukaan laut di atas normal dalam waktu lama sebagai dampak dari fenomena El Niño. Kejadian pemutihan masal terparah terjadi di tahun 1998 dan 2010.
Pada kedua waktu tersebut, dua wilayah yang memiliki keragaman terumbu karang tertinggi seperti Wakatobi dan Kofiau-Raja Ampat mengalami pemanasan suhu permukaan laut. Namun daya resiliensi yang tinggi membuat kedua kawasan itu tetap terjaga kelestariannya.
“Selain tingkat resiliensi yang tinggi, terumbu karang di Indonesia juga didukung oleh kondisi perairan yang dinamis (terjadinya pengadukan dan upwelling) dan suhu perairan yang bervariasi yang mempercepat proses pemulihan dan pertumbuhan rekruitmen karang,” ungkap Rizya Ardiwijaya, ilmuwan dari TNC Indonesia.
Coral bleaching
Coral bleaching (pemutihan karang) dapat diartikan sebagai hilangnya warna karang yang disebabkan oleh degradasi populasi Symbiodinium (zooxanthellae simbiotik) dan/atau pigmen alga tersebut. Hal itu terjadi seiring dengan peningkatan kadar CO2 yang berakibat pada peningkatan suhu permukaan laut. Meningkatnya suhu permukaan laut, menyebabkan perubahan warna jaringan pada terumbu karang dari warna hijau atau coklat menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat berakibat kematian pada karang.
Selain terjadinya coral bleaching pada karang, peningkatan suhu juga meningkatkan laju pertumbuhan patogen karang, seperti bakteri dan mikroba yang lain, sehingga peningkatan terjadinya penyakit karang disebabkan karena meningkatnya patogen yang istilah sering dinamakan coral disease.
Selain pengaruh suhu permukaan laut, parameter fisika kimia lingkungan juga berpengaruh pada terumbu karang. Parameter fisika kimia yang berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang antara lain, arus, salintas, kecerahan, nutrien (nitrat, nitrit dan fosfat), dan kedalaman. Terjadinya coral disease/bleaching juga disebabkan oleh parameter fisika kimia perairan.
Dalam keadaan normal karang mampu hidup pada thermal treshold (kisaran suhu diatas rata-rata) dan apabila meningkat dari 1 – 2 derajat C diatas rata-rata suhu/bulan maka akan mengakibatkan bleaching massal. Potensial peningkatan suhu permukaan laut di tahun 2050 adalah 1 – 3 derajat C.
Sementara itu suhu optimal untuk hidup coral berkisar antara 24-29 derajat C dan setiap spesies coral memiliki bleaching threshold yang spesifik. Karang bisa hidup pada batas suhu tertentu. Anomali positif sebesar 1 – 2 derajat C selama 5 – 10 minggu saat musim panas dapat menyebabkan bleaching.
Kemampuan Beradaptasi
Pengamatan Mark Spalding tentang karang di Indonesia menunjukkan kemampuan beradaptasi terhadap peningkatan suhu dan derajat keasaman, lebih dari perkiraan sejumlah ilmuwan. Spalding mencatat bahwa kemampuan adaptasi tersebut, di samping ketahanan alami terumbu karang, memungkinkan mereka untuk pulih dari gangguan bahkan yang cukup parah.
Sebagai contoh, sebagian besar terumbu karang di British Indian Ocean Territory dan Seychelles, yang pada tahun 1998 kehilangan hampir semua karang mereka karena pemanasan air yang mengakibatkan pemutihan karang (coral bleaching), menunjukkan pemulihan dalam jangka waktu 10 tahun.
Terumbu karang yang menutupi 0,07 persen dari permukaan laut, sangat penting bagi 275 juta orang yang kehidupannya bergantung pada laut. Terumbu karang mendukung lebih dari seperempat sektor perikanan skala kecil di dunia, menciptakan lapangan kerja dan devisa melalui pariwisata dan memberikan pertahanan laut terhadap badai, banjir dan erosi.
“Kemampuan untuk menahan ancaman, atau untuk pulih dari dampaknya, bervariasi dari satu terumbu karang dengan terumbu karang lainnya,"jelas Spalding.
Agar bleaching tidak terjadi, upaya melindungi terumbu karang secara alami perlu terus diupayakan, khususnya untuk meningkatkan daya tahan dengan mengurangi ancaman lokal. Beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya; melindungi terumbu dari penangkapan ikan yang berlebih, polusi dan sedimentasi.
Pengelolaan seperti ini diharapkan akan menyelamatkan jutaan jiwa yang hidupnya bergantung pada terumbu karang. Selain itu, upaya tersebut ikut membantu upaya global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastis. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment