(Andrew Maybury ketika masih hidup. Foto: http://www.mirror.co.uk) |
Andrew was a likeble young man, considerate to other people.
Nothing was too much trouble for him.
- Frederick Maybury, Andrew's father
Baru-baru ini (12/11), tim penyidik independen berhasil mengidentifikasi penyebab kematian seorang turis asal Inggeris ketika mengikuti kursus menyelam di Mesir. Turis yang diketahui bernama Andrew Maybury (34) itu meninggal akibat cidera otak, usai naik ke permukaan secara tiba-tiba di spot Sharm El Sheikh.
Menurut instruktur yang menemani, Maybury mengalami panik lalu buru-buru naik ke permukaan. Saat itu, instruktur sempat tidak mengetahui keberdaaannya, karena ia meluncur secara diam-diam dari kedalaman 10 meter.
Sebelumnya, Maybury juga mengalami kesulitan saat berlatih di dalam air. Hal itu dibenarkan oleh, rekannya, Halesowen (menejer keuangan dari Western Avenue). Ketika insiden terjadi, mereka seharusnya menyelesaikan 4 kali penyelaman, sebagai syarat mengikuti sertifikasi ‘openwater’.
Sertifikasi openwater merupakan sertifikasi selam tingkat dasar. Artinya, setiap orang yang ingin menyelam harus mengantongi sertifikasi itu, sebelum melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti advance openwater maupun rescue.
“Saat itu, Maybury panik akibat tak terbiasa bernafas menggunakan regulator. Dia lalu menuju permukaan secara cepat”, tutur Halesowen.
Sementara itu, hasil penyelidikan tim koroner (baca: tim independen yang menyelidiki kematian sesorang secara tak wajar) menemukan, telah terjadi cacat/kelemahan di bagian awal dari traning yang dilakukan Maybury di London. Selain itu terjadi keterlambatan penanganan medis ketika Maybury keluar dari laut.
Lebih lanjut, tim koroner menemukan fakta bahwa Maybury muncul ke permukaan tanpa menggunakan regulator (alat bantu pernafasan). Akibatnya ia diduga mengalami cidera otak.
“Dia sedang mengambil kursus selam dengan sertifikasi openwater, ketika ia tiba-tiba ke permukaan tanpa menggunakan regulator. Akibatnya ia mengalami cidera otak”, ujar Emma Brown, salah seorang tim investigator.
Uniknya, saat kejadian terjadi, instruktur yang harusnya menemani selama pelatihan, sempat tidak mengetahui keberadaan Maybury. Diduga, panik merupakan awal dari bencana itu terjadi.
Selain itu, tim penyidik belum bisa menyimpulkan bahwa pembelajaran yang kurang selama di London, sebagai penyebab tunggal munculnya bencana. Sementara terkait kemungkinan nyawa Maybury masih bisa tertolong, tim penyidik mengakui jika kemungkinan itu tergolong kecil. Pasalnya, layanan darurat datang terlambat ketika insiden terjadi.
Tim independen akhirnya memutuskan, Andrew Maybury meninggal akibat kecelakaan saat menyelam.
Di wawancara di tempat yang berbeda, Sean Skelt, teman Maybury yang ada dilokasi saat itu, membenarkan jika Maybury terlihat panik ketika berada di dalam air. Skelt merupakan salah seorang siswa yang mengikuti pelatihan openwater bersama operator “Ocean Collage” ketika tragedi itu terjadi pada 17 Maret lalu.
“Saat itu, Maybury terlihat panik. Saya merasa ia kesulitan menghirup udara melalui regulator. Terlihat ia menghirup udara tanpa terlebih dahulu membersihkan regulatornya. Setelah itu, ia langsung berenang ke atas”, ujar Sean Skelt.
Berbeda dengan temannya, instruktur selam, Jeanne Cinquegrana dalam pernyataan resminya mengatakan, baik Maybury dan Skelt terlihat lebih rileks dan bersemangat untuk melakukan penyelaman. Selanjutnya, mereka menyelam hingga kedalaman 10 meter. Saat itu mereka telah mampu berlutut di atas pasir, sebelum Maybury melakukan “shoot up”, naik tiba-tiba ke permukaan.
“Dari bawah saya melihat lengan dan kakinya tidak bisa diam, ketika saya mencoba menempatkan regulator ke mulutnya. Saat itu, karena panik ia memuntahkan regulator sebanyak 2 kali”, ujar Cinquegrana.
Saat tiba di permukaan, instruktur Cinquegrana sempat menanyakan kondisi Maybury. Namun ia tidak memberi respon. Selanjutnya, Maybury pingsan, tak sadarkan diri.
Cinquegrana akhirnya membawa Maybury ke jembatan dekat pantai untuk mendapatkan pertolongan pertama. Selanjutnya, mereka mencoba memberi bantuan pernafasan, sebelum tim medis dari “British Paramedic” tiba di lokasi.
Suzanne Smith yang merupakan instruktur selam dari PADI mengatakan jika Maybury telah melewati bagian pertama dari pelatihan tersebut, tepatnya di kolam renang dengan operator “Lodge Scuba”. Tetapi kemudian ditemukan jika instrukturnya tidak proper/ tidak berkualitas dan kini orang tersebut telah diberhentikan. Smith juga memastikan, jika Maybury telah melewati ujian tes tertulis sebagai syarat kelulusan ketika mengikuti sertifikasi openwater. Sayangnya, hal itu dilakukan tanpa pengawasan yang ketat.
Sementara itu, dalam keterangannya, ayah korban, Frederick Maybury menyebut Andrew merupakan pemuda yang menyenangkan, perhatian kepada orang lain dan tidak mengalami banyak masalah dengan teman-temannya.
Frederick juga menambahkan, jika anaknya merupakan tipikal orang yang gampang berteman akrab dan ia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga Andrew akan berusaha mencapai apa yang diinginkan.
Tak hanya itu, Andrew Maybury telah merencanakan akan menikah dengan kekasihnya, Kate, akhir tahun ini. Namun sayangnya, semua rencana urung terlaksana, karena nasib berkehendak lain.
***
Terjadinya kecelakaan saat menyelam merupakan bencana yang tidak bisa diprediksi dan tidak dapat ditolak, namun langkah antisipasi dapat dilakukan sejak awal. Sederet persiapan, baik fisik, mental, peralatan, dan p3K standar juga merupakan hal penting yang tak boleh ditawar.
Khusus terkait fisik yang sehat, dalam setiap trip diving, saya selaku "tour guide" selalu menanyakan itu ke setiap peserta. Pasalnya, saya tidak mengetahui riwayat kesehatan dari masing-masing peserta. Jika ternyata ada peserta yang tidak yakin untuk menyelam, maka saya akan memastikannya. Bagi saya, lebih baik menunda menyelam ketika fisik sedang drop, ketimbang mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Toh, lokasi menyelam tidak akan kemana-mana. Dia akan berada tetap disitu. Artinya, kita bisa menyelam lagi ketika fisik telah bugar. Dan kita tak bisa memaksakan sesuatu untuk hal-hal yang berpotensi diluar kemampuan kita.
Selain itu, dalam setiap trip, saya juga akan meminta kejelasan data-data dari masing-masing peserta. Data-data itu meliputi, jenjang sertifikasi, berapa log yang telah dikantongi, hingga dimana serta kapan menyelam terakhir kali, Data-data itu penting bagi saya untuk mengkategorisasi setiap peserta berdasarkan kemampuan dan membagi mereka dalam pasangan (buddy) yang setara.
Di dalam melakukan penyelaman, sistem buddy menjadi aturan pakem yang harus dipatuhi. Sistem buddy adalah mekanisme menyelam berpasangan. Artinya, ketika menyelam, tidak diijinkan seorang diri. Mengapa? Karena ketika terjadi masalah di dalam air, maka teman yang jadi buddy dapat mengambil tindakan antisipasi, Naik secara perlahan bersamaan ke permukaan, misalnya. Atau melakukan buddy breathing (baca: bernafas menggunakan 1 regulator).
Selanjutnya, jika ditemukan ada peserta dengan kemampuan yang sangat minim, maka ia menjadi prioritas dan akan dipasangkan dengan peserta (buddy) yang lebih berpengalaman, Biasanya, peserta dengan kemampuan minim akan saya temani saat menyelam. Selama di dalam air, saya akan mengikuti gerak-geriknya. Sebisa mungkin ia tak terlalu jauh dari saya. Hal itu penting, jika terjadi apa-apa, saya bisa menggapainya.
Sementara itu, ketika masih diatas kapal, saya juga akan melakukan briefing singkat terkait lokasi penyelaman dan arah yang akan dituju. Saya akan menjelaskan mengenai medan yang bisa digunakan sebagai petunjuk arah. Biasanya, kita menggunakan wall (dinding) sebagai patokannya. Jika kita turun, wall berada di kanan, maka ketika kita kembali, wall harus berada di kiri kita. Demikian sebaliknya.
Ketika semua telah siap, masing masing peserta akan menceburkan diri ke dalam laut. Namun sebelum masuk, saya akan menghitung ulang peserta trip yang turun menyelam. Baru ketika peserta telah lengkap, maka kita akan masuk ke dalam laut secara bersama-sama.
Sementara terkait P3K standar, salah satu benda yang harusnya selalu ada adalah tabung oksigen murni. Oksigen murni diperlukan sebagai langkah antisipasi jika ternyata ada peserta yang mengalami decompresi (baca; nitrogen terlarut yang masuk ke dalam jaringan). Menghirup oksigen murni cukup ampuh untuk memulihakan tubuh yang sebelumnya telah mengkonsumsi nitrogen yang dimampatkan terlalu banyak.
***
Berkaca dari kasus Andrew Maybury, saya salut dengan kerja keras tim koroner Inggeris. Dengan segala upaya, tim mampu mengungkap penyebab kematian Andrew, meskipun membutuhkan waktu lebih lama.
Sementara jika membandingkannya dengan Indonesia, saya jadi malu. Pasalnya, dari begitu banyak korban meninggal akibat kecelakaan saat menyelam, hanya sedikit yang berhasil diungkap dan diketahui penyebab kematiannya. Selebihnya dibiarkan begitu saja. Bahkan keluarga korban banyak yang tidak mengetahui secara jelas kronologis kejadian yang menimpa anggota keluarga mereka.
Jika saja, di Indonesia ada tim investigasi independen seperti di Inggeris itu, maka penyebab kecelakaan saat penyelaman akan menemukan babak baru. Pasalnya, penyebab kecelakaan tidak diungkap ke publik. Padahal, informasi itu penting bagi komunitas penyelam, untuk menambah pengetahuan terkait penyebab kecelakaan saat menyelam.
Seorang teman di media sosial juga mengeluhkan mengenai minimnya asupan informasi ketika bencana terjadi. Kerap kali, selalu saja ada pihak-pihak yang sengaja mengaburkannnya. Alasannya, demi menghormati keluarga korban, ataupun menjaga nama baik dive center selaku penyelenggara trip. Dan jika pun ada, informasi yang dikeluarkan sangat normatif dan tidak detil.
"Coba kalo di Indonesia ada tim koroner, pasti semua kecelakaan yang terjadi ada jawabannnya", demikian ungkan seorang teman lewat facebook.
Selain itu, banyak juga teman diver yang menyesalkan lambannya penanganan kepada korban ketika musibah terjadi. Harusnya, pola-pola penanganan korban dengan memberi pertolongan pertama wajib diketahui oleh penyelenggara trip, sehingga bencana bisa diantisipasi lebih awal.
Kini, dengan banyaknya insiden kecelakaan saat menyelam di Indonesia, sudah saatnya pemerintah memikirkan perlunya membentuk tim independen untuk mengungkap penyebab terjadinya kecelakaan saat menyelam. Hal ini juga penting untuk mendukung gebrakan pemerintah yang menjadikan wisata selam sebagai salah satu kegiatan wisata unggulan, untuk menarik minat wisatawan mancanegara.
Sementara itu, fakta selama ini membuktikan, jika korban kecelakaan saat menyelam, kebanyakan merupakan wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, kebutuhan tim independen menjadi penting, untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia telah siap dengan kemungkinan terburuk. Hal itu juga penting, untuk mengungkap penyebab kecelakaan secara gamblang, sehingga keluarga korban bisa dengan tenang menerima penyebab terjadinya kecelakaan.
-EnD-
Nothing was too much trouble for him.
- Frederick Maybury, Andrew's father
Baru-baru ini (12/11), tim penyidik independen berhasil mengidentifikasi penyebab kematian seorang turis asal Inggeris ketika mengikuti kursus menyelam di Mesir. Turis yang diketahui bernama Andrew Maybury (34) itu meninggal akibat cidera otak, usai naik ke permukaan secara tiba-tiba di spot Sharm El Sheikh.
Menurut instruktur yang menemani, Maybury mengalami panik lalu buru-buru naik ke permukaan. Saat itu, instruktur sempat tidak mengetahui keberdaaannya, karena ia meluncur secara diam-diam dari kedalaman 10 meter.
Sebelumnya, Maybury juga mengalami kesulitan saat berlatih di dalam air. Hal itu dibenarkan oleh, rekannya, Halesowen (menejer keuangan dari Western Avenue). Ketika insiden terjadi, mereka seharusnya menyelesaikan 4 kali penyelaman, sebagai syarat mengikuti sertifikasi ‘openwater’.
Sertifikasi openwater merupakan sertifikasi selam tingkat dasar. Artinya, setiap orang yang ingin menyelam harus mengantongi sertifikasi itu, sebelum melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti advance openwater maupun rescue.
“Saat itu, Maybury panik akibat tak terbiasa bernafas menggunakan regulator. Dia lalu menuju permukaan secara cepat”, tutur Halesowen.
Sementara itu, hasil penyelidikan tim koroner (baca: tim independen yang menyelidiki kematian sesorang secara tak wajar) menemukan, telah terjadi cacat/kelemahan di bagian awal dari traning yang dilakukan Maybury di London. Selain itu terjadi keterlambatan penanganan medis ketika Maybury keluar dari laut.
Lebih lanjut, tim koroner menemukan fakta bahwa Maybury muncul ke permukaan tanpa menggunakan regulator (alat bantu pernafasan). Akibatnya ia diduga mengalami cidera otak.
“Dia sedang mengambil kursus selam dengan sertifikasi openwater, ketika ia tiba-tiba ke permukaan tanpa menggunakan regulator. Akibatnya ia mengalami cidera otak”, ujar Emma Brown, salah seorang tim investigator.
Uniknya, saat kejadian terjadi, instruktur yang harusnya menemani selama pelatihan, sempat tidak mengetahui keberadaan Maybury. Diduga, panik merupakan awal dari bencana itu terjadi.
Selain itu, tim penyidik belum bisa menyimpulkan bahwa pembelajaran yang kurang selama di London, sebagai penyebab tunggal munculnya bencana. Sementara terkait kemungkinan nyawa Maybury masih bisa tertolong, tim penyidik mengakui jika kemungkinan itu tergolong kecil. Pasalnya, layanan darurat datang terlambat ketika insiden terjadi.
Tim independen akhirnya memutuskan, Andrew Maybury meninggal akibat kecelakaan saat menyelam.
Di wawancara di tempat yang berbeda, Sean Skelt, teman Maybury yang ada dilokasi saat itu, membenarkan jika Maybury terlihat panik ketika berada di dalam air. Skelt merupakan salah seorang siswa yang mengikuti pelatihan openwater bersama operator “Ocean Collage” ketika tragedi itu terjadi pada 17 Maret lalu.
“Saat itu, Maybury terlihat panik. Saya merasa ia kesulitan menghirup udara melalui regulator. Terlihat ia menghirup udara tanpa terlebih dahulu membersihkan regulatornya. Setelah itu, ia langsung berenang ke atas”, ujar Sean Skelt.
Berbeda dengan temannya, instruktur selam, Jeanne Cinquegrana dalam pernyataan resminya mengatakan, baik Maybury dan Skelt terlihat lebih rileks dan bersemangat untuk melakukan penyelaman. Selanjutnya, mereka menyelam hingga kedalaman 10 meter. Saat itu mereka telah mampu berlutut di atas pasir, sebelum Maybury melakukan “shoot up”, naik tiba-tiba ke permukaan.
“Dari bawah saya melihat lengan dan kakinya tidak bisa diam, ketika saya mencoba menempatkan regulator ke mulutnya. Saat itu, karena panik ia memuntahkan regulator sebanyak 2 kali”, ujar Cinquegrana.
Saat tiba di permukaan, instruktur Cinquegrana sempat menanyakan kondisi Maybury. Namun ia tidak memberi respon. Selanjutnya, Maybury pingsan, tak sadarkan diri.
Cinquegrana akhirnya membawa Maybury ke jembatan dekat pantai untuk mendapatkan pertolongan pertama. Selanjutnya, mereka mencoba memberi bantuan pernafasan, sebelum tim medis dari “British Paramedic” tiba di lokasi.
Suzanne Smith yang merupakan instruktur selam dari PADI mengatakan jika Maybury telah melewati bagian pertama dari pelatihan tersebut, tepatnya di kolam renang dengan operator “Lodge Scuba”. Tetapi kemudian ditemukan jika instrukturnya tidak proper/ tidak berkualitas dan kini orang tersebut telah diberhentikan. Smith juga memastikan, jika Maybury telah melewati ujian tes tertulis sebagai syarat kelulusan ketika mengikuti sertifikasi openwater. Sayangnya, hal itu dilakukan tanpa pengawasan yang ketat.
Sementara itu, dalam keterangannya, ayah korban, Frederick Maybury menyebut Andrew merupakan pemuda yang menyenangkan, perhatian kepada orang lain dan tidak mengalami banyak masalah dengan teman-temannya.
Frederick juga menambahkan, jika anaknya merupakan tipikal orang yang gampang berteman akrab dan ia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga Andrew akan berusaha mencapai apa yang diinginkan.
Tak hanya itu, Andrew Maybury telah merencanakan akan menikah dengan kekasihnya, Kate, akhir tahun ini. Namun sayangnya, semua rencana urung terlaksana, karena nasib berkehendak lain.
***
Terjadinya kecelakaan saat menyelam merupakan bencana yang tidak bisa diprediksi dan tidak dapat ditolak, namun langkah antisipasi dapat dilakukan sejak awal. Sederet persiapan, baik fisik, mental, peralatan, dan p3K standar juga merupakan hal penting yang tak boleh ditawar.
Khusus terkait fisik yang sehat, dalam setiap trip diving, saya selaku "tour guide" selalu menanyakan itu ke setiap peserta. Pasalnya, saya tidak mengetahui riwayat kesehatan dari masing-masing peserta. Jika ternyata ada peserta yang tidak yakin untuk menyelam, maka saya akan memastikannya. Bagi saya, lebih baik menunda menyelam ketika fisik sedang drop, ketimbang mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Toh, lokasi menyelam tidak akan kemana-mana. Dia akan berada tetap disitu. Artinya, kita bisa menyelam lagi ketika fisik telah bugar. Dan kita tak bisa memaksakan sesuatu untuk hal-hal yang berpotensi diluar kemampuan kita.
Selain itu, dalam setiap trip, saya juga akan meminta kejelasan data-data dari masing-masing peserta. Data-data itu meliputi, jenjang sertifikasi, berapa log yang telah dikantongi, hingga dimana serta kapan menyelam terakhir kali, Data-data itu penting bagi saya untuk mengkategorisasi setiap peserta berdasarkan kemampuan dan membagi mereka dalam pasangan (buddy) yang setara.
Di dalam melakukan penyelaman, sistem buddy menjadi aturan pakem yang harus dipatuhi. Sistem buddy adalah mekanisme menyelam berpasangan. Artinya, ketika menyelam, tidak diijinkan seorang diri. Mengapa? Karena ketika terjadi masalah di dalam air, maka teman yang jadi buddy dapat mengambil tindakan antisipasi, Naik secara perlahan bersamaan ke permukaan, misalnya. Atau melakukan buddy breathing (baca: bernafas menggunakan 1 regulator).
Selanjutnya, jika ditemukan ada peserta dengan kemampuan yang sangat minim, maka ia menjadi prioritas dan akan dipasangkan dengan peserta (buddy) yang lebih berpengalaman, Biasanya, peserta dengan kemampuan minim akan saya temani saat menyelam. Selama di dalam air, saya akan mengikuti gerak-geriknya. Sebisa mungkin ia tak terlalu jauh dari saya. Hal itu penting, jika terjadi apa-apa, saya bisa menggapainya.
Sementara itu, ketika masih diatas kapal, saya juga akan melakukan briefing singkat terkait lokasi penyelaman dan arah yang akan dituju. Saya akan menjelaskan mengenai medan yang bisa digunakan sebagai petunjuk arah. Biasanya, kita menggunakan wall (dinding) sebagai patokannya. Jika kita turun, wall berada di kanan, maka ketika kita kembali, wall harus berada di kiri kita. Demikian sebaliknya.
Ketika semua telah siap, masing masing peserta akan menceburkan diri ke dalam laut. Namun sebelum masuk, saya akan menghitung ulang peserta trip yang turun menyelam. Baru ketika peserta telah lengkap, maka kita akan masuk ke dalam laut secara bersama-sama.
Sementara terkait P3K standar, salah satu benda yang harusnya selalu ada adalah tabung oksigen murni. Oksigen murni diperlukan sebagai langkah antisipasi jika ternyata ada peserta yang mengalami decompresi (baca; nitrogen terlarut yang masuk ke dalam jaringan). Menghirup oksigen murni cukup ampuh untuk memulihakan tubuh yang sebelumnya telah mengkonsumsi nitrogen yang dimampatkan terlalu banyak.
***
Berkaca dari kasus Andrew Maybury, saya salut dengan kerja keras tim koroner Inggeris. Dengan segala upaya, tim mampu mengungkap penyebab kematian Andrew, meskipun membutuhkan waktu lebih lama.
Sementara jika membandingkannya dengan Indonesia, saya jadi malu. Pasalnya, dari begitu banyak korban meninggal akibat kecelakaan saat menyelam, hanya sedikit yang berhasil diungkap dan diketahui penyebab kematiannya. Selebihnya dibiarkan begitu saja. Bahkan keluarga korban banyak yang tidak mengetahui secara jelas kronologis kejadian yang menimpa anggota keluarga mereka.
Jika saja, di Indonesia ada tim investigasi independen seperti di Inggeris itu, maka penyebab kecelakaan saat penyelaman akan menemukan babak baru. Pasalnya, penyebab kecelakaan tidak diungkap ke publik. Padahal, informasi itu penting bagi komunitas penyelam, untuk menambah pengetahuan terkait penyebab kecelakaan saat menyelam.
Seorang teman di media sosial juga mengeluhkan mengenai minimnya asupan informasi ketika bencana terjadi. Kerap kali, selalu saja ada pihak-pihak yang sengaja mengaburkannnya. Alasannya, demi menghormati keluarga korban, ataupun menjaga nama baik dive center selaku penyelenggara trip. Dan jika pun ada, informasi yang dikeluarkan sangat normatif dan tidak detil.
"Coba kalo di Indonesia ada tim koroner, pasti semua kecelakaan yang terjadi ada jawabannnya", demikian ungkan seorang teman lewat facebook.
Selain itu, banyak juga teman diver yang menyesalkan lambannya penanganan kepada korban ketika musibah terjadi. Harusnya, pola-pola penanganan korban dengan memberi pertolongan pertama wajib diketahui oleh penyelenggara trip, sehingga bencana bisa diantisipasi lebih awal.
Kini, dengan banyaknya insiden kecelakaan saat menyelam di Indonesia, sudah saatnya pemerintah memikirkan perlunya membentuk tim independen untuk mengungkap penyebab terjadinya kecelakaan saat menyelam. Hal ini juga penting untuk mendukung gebrakan pemerintah yang menjadikan wisata selam sebagai salah satu kegiatan wisata unggulan, untuk menarik minat wisatawan mancanegara.
Sementara itu, fakta selama ini membuktikan, jika korban kecelakaan saat menyelam, kebanyakan merupakan wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, kebutuhan tim independen menjadi penting, untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia telah siap dengan kemungkinan terburuk. Hal itu juga penting, untuk mengungkap penyebab kecelakaan secara gamblang, sehingga keluarga korban bisa dengan tenang menerima penyebab terjadinya kecelakaan.
-EnD-
No comments:
Post a Comment