(Ilustrasi pagi menjelang. Source: http://images3.alphacoders.com/) |
I decided, very early on, just to accept life unconditionally. I never expected it to do anything special for me, yet I seemed to accomplish far more than I had ever hoped. Most of the time it just happened to me, without my ever seeking it.
-- Audrey Hepburn
...
Pertama kali mendengar kata "dini hari" yang muncul adalah bayangan tentang kesunyian. Merayap tenang dalam keutuhannya yang abadi. Menyergap mereka yang larut dalam gundah. Lalu bergerak pasti hadirkan sepi dalam waktu yang lebih lama.
Dini hari, pastinya tak banyak yang menikmati fase-fase itu. Masa dimana kebanyakan mereka telah terlelap tidur. Nyenyak nian atau bukan tak mungkin sedang dibuai oleh indahnya mimpi. Berpindah dimensi.
Sementara bagi segilintir orang, dini hari bicara tentang banyak hal. Tentang pencarian jati diri. Tentang pencapaian terbesar yang pastinya tak hadir dengan mudah. Pun, tentang introspeksi dari perjalanan panjang. Berikutnya berkaca lebih dalam.
Dini hari juga merupakan waktu yang tepat untuk mencari inspirasi. Inspirasi tentang banyak hal. Inspirasi yang berasal dari cerita-cerita masa lalu. Juga masa kini dan nanti. Inspirasi yang tak melulu sesuatu yang wah. Yang sederhana pun bisa.
Pernahkah, kau, berada dalam situasi, dimana sekeliling ikutan meraja. Hadirkan suasana yang sulit tuk diungkapkan dengan kata-kata. Suasana yang rasanya ingin di dekap sendiri. Tak ingin berbagi. Hanya ingin larut. Dalam dan lebih lagi.
Sementara itu, di pojok sana, alunan musik (baca: folk) segera menyapa. Hadirkan kenangan masa lalu. Masa yang kadang tak ingin dikenang. Masa dimana kebodohan-kebodohan itu muncul tanpa mampu dikendalikan. Masa dimana kita dipaksa belajar cepat seiring perubahan jaman.
Lalu apa yang terjadi setelahnya? Yang muncul adalah pengayaan bathin. Kaya pengalaman juga. Sehingga ketika hal itu terjadi lagi, maka kita akan menertawakannya. Tertawa dalam semangat yang meluap-luap. Mengingatnya sebagai sesuatu yang indah. Sesuatu yang berharga. Bukan jadi kepedihan.
Sementara itu, alunan nada merasuk kian jauh ke relung-relung kesadaran. Timbulkan dimensi yang berbeda. Sebuah dimensi yang hanya cocok untuk "dini hari" saja. Karena ketika dipasangkan dengan waktu lain, seperti pagi atau siang, kesannya tak sama. Beda.
Saya lalu teringat pada suatu masa, puluhan tahun silam, ketika menghabiskan malam penuh bintang di Tanjung Bira, Sulsel. Lokasi itu begitu eksotis dan menggoda. Alamnya asri ditingkahi pasir putih, memberi arti yang mendalam tentang kekayaan Indonesia yang sebenarnya. Indah sekali, kawan!
Saat itu, sehabis makan malam, kami menuju ruangan besar yang menjorok ke pantai. Ruangan yang merupakan bagian dari rumah panggung yang didirikan di pinggir pantai. Sementara itu, deburan gelombang pasang mulai berkejaran secara perlahan.
Di situ, seorang kawan, yang baru kukenal dua hari sebelumnya, mulai memainkan gitarnya. Dia lalu memilih lagu-lagunya Naff, dimulai dengan "Terendap Laraku". Menurut kawan yang asli Makassar itu, Naff telah menjadi idola bagi anak muda di Sulawesi Selatan. Pasalnya, sang vokalis merupakan pemuda asli Makassar.
Ketika petikan gitarnya kian cepat, saya hanya diam. Diam tak bersuara, namun tidak dengan kakiku. Kaki itu gak bisa diam. Ia hanyut dalam ketukan nada. Meresapi setiap beat yang tercipta.
Suasana lalu semakin sendu, ketika lampu yang tadinya menyala, tiba-tiba dipadamkan oleh pemilik resort. Alasannya demi efisiensi. Ruangan berubah gelap. Selanjutnya, pihak pengelola mengingatkan, agar semua rapi seperti semula, ketika kami telah selesai nanti.
Uniknya, meski lampu padam, kami tak beranjak. Tetap setia. Hingga tak terasa, sang teman telah memainkan 5 lagu. Setelah itu ia berhenti. Lalu menyeruput bir yang awalnya dingin. Setelahnya, ia berkisah tentang banyak hal. Dan, saya kembali setia mendengarkan.
Malam itu, ketika bosan berkata-kata, ia pun diam. Sunyi sejenak. Masing-masing dari kami larut dengan imaji yang lagi-lagi sulit tuk diceritakan. Lebih tepat tuk dirasakan. Namun satu yang pasti, suasana malam itu jadi berbeda. Tak lama berselang, angin malam ikutan menggoda. Mendesah tak tentu arah. Kadang kencang, kadang sepoi.
Malam itu, kami dibuai suasana. Pun oleh gelapnya malam. Oleh gemintang yang berkilau malu. Oleh ombak yang bergerak liar. Dan oleh lamunan tentang sebuah masa. Masa indah. Beberapa tahun sebelumnya. Kembali ku menerawang!
Masa itu adalah waktu ketika saya mulai belajar hidup. Tepatnya, ketika masih di kampus dulu. Saat itu, setiap malam minggu kami selalu berkumpul di sekretariat mapala. Kami menyebutknya "Sanggar". Di situ beragam aktivitas kami lakukan. Beragam ide pun bermula dari tempat itu.
Ketika malam minggu tiba, bagi yang belum punya pasangan, tanpa di komando, semua mendekat. Merapat di sanggar. Waktunya berkumpul. Mendengarkan kisah-kisah petualangan para senioren yang selalu datang berkunjung. Atau ketika mereka tak ada, kami (baca: teman-teman seangkatan dan junioren) berdiskusi tentang banyak hal. Hingga larut malam. Bahkan pagi menjelang.
Bagi yang tak bisa tidur, nongkrong di atas koridor yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan lainnya, menjadi pilihan. Pasalnya, di bagian atas koridor itu telah kami bangun bungalow sederhana. Ukurannya 5 x 1.5 meter. Cukup untuk menampung 10 orang. Di situ kami bercengkerama. Besenda gurau juga.
Satu yang saya ingat, ketika malam minggu tiba, beberapa teman mulai mabuk usai menenggak miras bermerek "Topi Miring", yang biasa kami sebut "ToMi". ToMi memang identik dengan anak kuliahan, pada jaman itu. Ntah kalo sekarang? Masa itu, harganya relatif terjangkau, meski mencarinya rada-rada sulit, sejak polisi merazia toko-toko di seputaran kampus. Namun bagi teman-teman, menemukan barang haram itu tidaklah sulit. Maklum mereka telah menjadi bagian dari jaringan klendestin untuk urusan miras. Dan, tentu saja, pangsa pasar terbesarnya adalah mahasiswa.
Menjadi mahasiswa memang istimwa, juga mengasyikkan. Namun jika terlampau lama, jadi kepikiran, kita telah menjadi beban. Beban orangtua dan beban lingkungan sekitar. Karena itu, tak ada cara lain, kecuali lekas tamat. Tapi, tetap susah.
Ya, begitulah sepenggal kisah, tentang peristiwa dini hari di masa lampau. Sebuah alur hidup yang harus dijalani. Dinikmati tanpa pernah berhenti menyerah. Pada nasib yang tak ramah. Mengeluh pun tidak.
Berputar sejenak, akal mulai menggeliat ke masa kini. Masa dimana semua semakin jelas. Sebuah langkah yang memang tak hadir dengan sendirinya. Sebuah arah yang telah dirintis, jauh sebelumnya.
"Kini", menjadi semacam babak tengah sebuah perjalanan. Lewati beragam kisah. Juga cerita. Serangkaian rute yang menunjuk ke arah yang belum tentu, ujungnya seperti apa? Lalu tahu kah kita? Tidak!
"Kini", tak lebih sebagai permainan Ilahi, dimana kita dibentuk, dijejali dengan beragam pertanyaan, siksa hingga kejutan. Perjuangan yang akan menentukan, lulus dan layaknya kita. Inilah masa dimana kita harus melewati kawah candradimuka. Pembentukan karakter seorang manusia.
Bagi mereka yang lulus, setelahnya akan terasa indah. Namun bagi yang gagal, mereka akan terpuruk. Namun tak perlu khawatir, karena masih ada kesempatan kedua. Jika pun gagal lagi, kesempatan ketiga dan seterusnya setia menanti. Mereka menunggu seberapa kuat kita bertahan. Hingga akhirnya.
"Kini" juga telah menjelma menjadi batu pijakan. Pijakan akan masa depan. Sebuah pondasi yang tak mudah digoyahkan. Sebuah batu penjuru yang jadi penunjuk arah. Memberi kepastian pada azimuth, agar tidak keliru membaca koordinat. Sekaligus memastikan bahwa orientasi medan yang dilakukan benar adanya. Setelahnya tinggal melaju. Ke arah itu.
Namun kadangkala, meski arah telah benar, tak jarang banyak yang berhenti. Berhenti karena tenaga telah berkurang, lalu diam lebih lama. Diam hingga kadang lupa, bahwa ia harus terus berjalan.
Atau, tak sedikit yang rehat sejenak, sebelum beranjak. Tetap maju, meski nyawa telah sampai kerongkongan. Yang pasti terus usaha. Tanpa ragu. Terus melangkah, hinga dini hari. Hingga fajar menyembul di ufuk timur, dalam irama dan ritme yang pendek-pendek.
Meski berat, momen seperti ini tak kan sama. Karena dini hari adalah penanda. Marking atas capaian tertinggi yang pernah ada. Lalu menikmatinya. Menjadi saksi atas putaran waktu yang durasinya tak lama. Setelahnya, pagi pun menjelang. Sebuah perubahan dari gelap menjadi terang.
Dini hari memang berbeda, karena ia adalah jembatan. Sebuah antara, perubahan waktu. Yang terus bergulir. Tanpa henti.
-End-
No comments:
Post a Comment