Telah berpulang ke sisi Allah SWT, abang,
orangtua kami, pejuang kami, Ahmat Taufik (Ate), pendiri AJI dan jurnalis TEMPO
di RS. Medistra
Semoga amal ibadah dan kebaikannya di terima disisinya.
Amin.”
Sebuah
pesan masuk di grup whatsapp yang semua anggotanya adalah jurnalis lintas multiflatform pada
Kamis malam (23/3/2017) pukul 20.14WIB. Isinya cukup mengejutkan, karena
berkabar tentang kepergian seorang senior Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang namanya cukup membumi dan disegani.
Dia adalah Ahmad Taufik Jufri, wartawan senior Tempo yang tutup usia akibat kanker paru di usia 52 tahun. Sebelumnya, di grup tertutup itu, kabar tentang kondisi Ate sempat mencuat, tepatnya ketika ia dijenguk oleh beberapa teman. Saat itu banyak yang mendoakan kesembuhan Ate.
Jujur,
saya tidak terlalu mengenal Ate secara dekat, karena jarang bersinggungan,
bukan teman satu kantor dan memang tidak ada momen khusus yang mempertemukan,
kecuali “MayDay”. Oh ya, untuk urusan aksi-aksi jalanan, Ate memang kerap hadir, sekedar memberikan dukungan, sekaligus wujud kepeduliannya.
Saya
masih ingat, di tahun 2009, kami (baca: AJI Jakarta) memimpin di depan ribuan
buruh dengan “bola raksasa” yang disain sedemikian rupa. Bola itu kami
gelindingkan dari Bundaran HI hingga depan istana negara, sebagai bentuk dukungan
terhadap gerakan buruh, dimana selaku jurnalis, kami salah satunya.
Ya, kami adalah buruh.
Membawa
bola ukuran raksasa tentu bukan perkara mudah. Seingatku, kami harus menyewa sebuah
truk ukuran sedang untuk mengangkut bola yang terpaksa dibelah dua itu.
Selanjutnya dua bagian itu kami rakit kembali begitu tiba di Bundaran HI.
Begitulah
kejadiannya, ketika beberapa jam kemudian, massa aksi mulai berkumpul. Karena tidak membawa alat peraga yang bisa ditampilkan dibagian depan, selain mobil komando, maka bola raksasa kami didaulat sebagai bagian dari aksi MayDay.
Di aksi
itu, saya melihat sendiri bagaimana Ate begitu bersemangat menggelindingkan bola
sejak dari Bundaran HI. Sebagai senioren yang masih mau turun ke jalan, saya
langsung kagum. Hormat yang terdalam. Maklum, tak banyak senior sepantaran
beliau yang masih turun ke jalan dan terlibat langsung di dalam aksi besar seperti itu.
Bahkan, saya sempat bertemu senior, yang hanya memantau saja dari pinggir
jalan. Juga, ada senior yang bergabung, namun tidak sampai aksi selesai dan tidak pula ikut menggelindingkan bola.
Hal itu berbeda dengan Ate yang dengan kesadaran penuh ikut bersusah-susah sepanjang 1.5 Km.
Sekedar
informasi, bola yang kami buat diameternya sekitar 4-5m, berbahan dasar bambu
ditutup kertas semen, lalu dicat menyerupai globe. Adapun beratnya, kami tak
pernah menimbang, namun yang pasti, dibutuhkan lebih dari 1 orang agar bola itu
bisa berputar.
Ketika mencoba menggelindingkan bola, dibutuhkan energi yang besar. Oleh karena
itu, saya bisa merasakan bagaimana Ate begitu bersemangat menggelindingkan bola
raksasa itu. Pasti energinya akan terkuras, jika tidak memiliki stamina yang
baik.
Soal
energi yang tak pernah habis, rasanya cocok dilekatkan pada seorang Ate. Saat bergabung dengan AJI, salah satu yang mengakar kuat diingatan saya
adalah kasus Tempo Vs Tomy Winata. Saat itu, Ate sempat membuat bos Grup Artha
Graha, Tomy Winata gerah, ketika Tempo edisi 3-9 Maret 2003, menurunkan tulisan
berjudul 'Ada Tomy di Tenabang'. Tomy akhirnya melayangkan gugatan, setelah
sempat melakukan kekerasan terhadap Ate, BHM dan lainnnya, termasuk menggeruduk
kantor Tempo.
Bahkan
dalam tulisannya di tahun 2003, yang dirangkum dalam 5 jam pasca penyerangan
kantor Tempo hingga pemberkasan di Polres Jakarta Pusat, tergambar jelas perlakuan
tidak mengenakkan dilakukan anak buah Tomy Winata. Sampai-sampai Ate
mempertanyakan, mengapa perlakuan kasar itu dipertontonkan kepada mereka
dihadapan aparat penegak hukum. Anehnya, polisi yang ada saat itu, tidak
melakukan tindakan apapun.
Lalu,
ketika Ate dituntut 2 tahun penjara oleh jaksa di PN Jakarta Pusat, ia sempat
mengajukan keberatan (eksepsi) dengan menyatakan, pekerjaan jurnalis merupakan
sesuatu yang sederhana.
Hal itu
terkait pekerjaannya saat meliput sebuah peristiwa. Selama informasi
yang diterima telah terkonfirmasi dengan baik, serta menerapkan prinsip “cover
both sides”, maka tidak ada yang salah dengan itu.
Dalam penulisan berita "Ada Tomy di Tenabang", Ate mengakui jika ia beberapa kali ke lapangan, mendengar desas-desus bahwa ada titik api lain selain di gardu listrik. Pun, terdengar kabar jika ada proposal yang menyebutkan perlunya renovasi pasar Tanah Abang, sebelum musibah kebakaran terjadi.
Lewat penelusuran, Ate akhirnya bertemu dengan seorang arsitek kontraktor dan melihat langsung
proposal yang digagas oleh kelompok Artha Graha. Karena itu, koordinator Tempo
News Room akhirnya menugaskan beberapa jurnalisnya untuk mewawancara Tomy
Winata dan akhirnya berhasil.
Saat itu, Tempo
sengaja menerapkan sumber anonim di kasus itu, karena mereka (baca: Tempo) sadar,
apa yang bakal terjadi dengan narasumber, jika namanya diungkap ke publik.
Bahkan
Farid Gaban, seorang jurnalis senior sekaligus pemerhati pers menilai Tempo
telah melakukan langkah tepat dengan menggunakan sumber anonim. Jika melihat anarkisnya orang-orang Tomy
Winata yang datang ke kantor Tempo, menurut Farid Gaban, “saya kira kita bisa
membayangkan apa yang terjadi pada sang arsitek”.
Dalam keberatannya, Ate juga menyatakan dirinya sebagai anggota AJI yang senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan saat meliput serta menerima kritik dan komentar.
Selain
itu, Ate juga mengungkapkan jika jurnalis tak akan menyerah dengan tekanan
fisik yang diterima lewat tangan aparat peradilan yang berusaha menekan. Karena,
ketika jurnalis menyerah, maka kontrol sosial akan hilang, dan
kesewenang-wenangan mendominasi.
Sebelumnya,
Jaksa Penuntut Umum, Bastian Hutabarat mendakwa Ate, BHM dan Iskandar melakukan
penghinaan dan pencemaran nama baik. Jika dakwaan primer terbukti, ketiganya dipidana penjara minimal 10 tahun. Uniknya, tak ada satu pun pasal dalam surat
dakwaan jaksa menggunakan UU Pokok Pers.
Belakangan,
tersangka Ate dan Teuku Iskandar Ali dibebaskan PN Jakpus, karena hakim
menilai pihak yang bertanggung jawab dalam pemberitaan itu adalah pemimpin
redaksi.
Masih
soal energi besar Ate, pria kelahiran Jakarta, 12 Juli 1965 itu memang tak
pernah diam. Semua pilihannya selalu berpotensi besar bersinggungan dengan
hukum. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin yang hadir di pemakaman Ate pada Jumat siang 24
Maret 2017 menyebut Ate sebagai sosok aktivis cum jurnalis yang gigih
memperjuangkan pers yang independen.
“Tahun
90-an dulu, setiap orang pasti mengenal beliau. Khususnya dalam mewujudkan pers
yang mandiri, yang independen, yang bisa menjalankan fungsinya sebagaimana
mestinya,” ujar Lukman.
Lebih
jauh menteri agama itu menyebut, pelajaran terpenting yang bisa diambil dari
sosok Ate adalah konsistensinya yang luar biasa dalam berjuang.
“Bahkan
dia rela mempertaruhkan dirinya hingga dipenjara,” pungkasnya.
Soal Ate
dipenjara, bagi saya hal itu patut diacungi jempol dan layak diapresiasi. Tentu
saja, karena tak banyak jurnalis yang pernah mendekam dipenjara karena
karya-karyanya. Karena sikap kritis terhadap pemerintah, apalagi melawan pemerintah
ORBA yang otoriter. Saat itu, kebanyakan jurnalis memilih manut. Duduk manis, menelan
bulat-bulat setiap pembenaran yang dilontarkan pemerintah.
Pada
tahun 1995, 8 tahun sebelum peristiwa penggerudukan kantor Tempo, Ate bersama 2
temannya, Eko Maryadi (Item) dan Danang Kukuh Wardoyo sempat dipenjara karena
menyebarkan majalah "Suara Independen". Suara Independen adalah media terbitan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilarang beredar oleh rezim Orde
Baru.
Dalam
kenangannya, Sekjen pertama AJI, Tosca
Santoso menyebut Ate dan dirinya menjadi buruan aparat sesuai perintah pemerintah saat itu, karena Suara Independen dianggap
melecehkan kekuasaan Orde Baru.
“Hari-hari
di Rumah Susun Tanah Abang (RS TA) itu, berjalan dengan riang, tak terasa
heroik meski kami dipandang melawan rezim Soeharto. Pernyataan sikap,
pengelolaan Independen, waktu itu menohok jantung
kekuasaan Deppen, dan rapat-rapat AJI berjalan menyenangkan pada periode Agustus
1994 - Maret 1995”, kenang Tosca.
Bagi
Tosca, kamar kontrakan di lantai dua, tempat mereka bekerja itu penuh
gelora. Apalagi sejak Deklarasi Sirnagalih (baca: pendirian AJI), pernyataan menolak pemberangusan
kebebasan pers dan keinginan berserikat telah diteken pada 8 Agustus
1994. Dan sejak itulah mereka sering bertemu untuk mewujudkan pers bebas.
“Ahmad
Taufik memimpin presidium AJI yang pertama, saya sekjennya”, ujar Tosca.
16 Maret 1995, acara lebaran yang digelar AJI di Hotel Wisata Jakarta berujung pilu usai digerebek polisi. Sasaran mereka adalah Suara Independen. Terbitan tanpa SIUPP itu, salah satunya dicari polisi karena mengungkap saham-saham Menteri Penerangan Harmoko di beberapa media massa. Sebuah kisah yang sekarang pasti dianggap biasa saja, sementara dulu menjadi barang tabu.
Saat
itu, Ate ditangkap di lokasi, bersama Danang Kukuh Wardoyo. Sementara
Tosca berhasil lolos dari penggrebekan, diantar Eko Maryadi (Item) ke losmen
kecil di Jalan Jaksa. Item, setelah merasa aman meninggalkan Tosca untuk
mengambil dokumen di RS TA. Sayangnya, Item dicokok menjelang subuh dengan sejumlah dokumen.
Ate kemudian menjadi simbol perlawanan. Dari balik jeruji, ia tunjukkan
keberanian dan ketabahan tak berbatas. Penjara bukan tempat yang
menyurutkan langkahnya. Sementara itu, dalam pelariannya Tosca menerbitkan Suara Independen yang kemudian berganti nama menjadi "Independen". Saat itu, alamat redaksi tak lagi di RS TA, tetapi pakai P.O Box di Amsterdam. Belanda.
Saat itu, Ate divonis 2 Tahun 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ketika Suara
Independen diedarkan diam-diam ke seluruh penjuru negeri. Suara Independen menjadi semacam oase yang menyejukkan pembaca, ditengah hagemoni media yang cenderung seragam. Di era itu, AJI diidentikkan sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru, dimana Ate sebagai tokoh utamanya.
Ate
kemudian dibebaskan pada tahun 1997 atau setahun menjelang keruntuhan Orde
Baru. Dua dekade telah berlalu sejak Ate memulai geliat organisasi AJI di RS TA, tak membuatnya lupa. Itu sebabnya Ate memasang sampul Suara Independen yang berisi foto dirinya, Item dan
Danang di laman facebook miliknya. Penggunaan foto itu seakan mengingatkan, bahwa Ate tidak berubah. Ia adalah tonggak sejarah pers melawan kezaliman Orde Baru.
Sementara
bagi Item (Eko Maryadi), salah satu sobat Ate yang pernah di penjara,
menyebut Ate sebagai sosok sahabat yang baik. Di salah satu media online, Item mengaku
selama puluhan tahun bersahabat, mereka tidak pernah bertengkar sekalipun.
"Bahkan ketika pilihan politik berbeda, kami tetap saling sapa dan silaturahmi tanya kabar. Itu yang paling membuat saya kehilangan," ujar Item, di lokasi pemakaman.
"Bahkan ketika pilihan politik berbeda, kami tetap saling sapa dan silaturahmi tanya kabar. Itu yang paling membuat saya kehilangan," ujar Item, di lokasi pemakaman.
Item
juga menyebut Ate bukan tipikal orang yang gampang mengeluh. Bahkan ketika
mereka dipenjara dulu, Ate tetap tegar, termasuk ketika mengetahui ayahnya
meninggal dunia. Saat itu, Ate tak diizinkan melayat, sehingga dia
menuliskan hal tersebut dan dimuat di beberapa surat kabar. Atas berita itu, ia kemudian dipindahkan
dari LP Cirebon ke LP Kuningan.
Bagi
Item yang sempat mengalami perpindahan lapas sebanyak 4 kali dan Ate sebanyak
5 kali, menganggap perjuangan Ate tidak akan berhenti pada saat kematiannya. Menurut Item, akan muncul
Ate-Ate lain yang akan meneruskan semangat juang itu.
"Saya berdoa ada Ate lain yang lahir di bumi pertiwi ini. Bukan hanya membela kebebasan pers, media yang profesional dan beretika tapi juga yang berani membela rakyat kecil, membela orang lemah dan itu yang dilakukan Taufik sejak saya kenal sampai tutup usia," tandas Eko.
Selama berkarier sebagai wartawan, Ate sempat memiliki
pengalaman 40 hari meliput di perbatasan Pakistan-Afghanistan (Tribal Area),
saat Amerika Serikat menyerang Pemerintahan Taliban di Afghanistan, 2001. Pun, meliput pemilihan umum di Irak, 24 Januari –1 Maret 2005.
Selain
itu, Ate juga menerima beberapa penghargaan bergengsi, seperti Tasrief Award
sebagai Indonesia Press Freedom Award hingga International Press Freedom Award
dari CPJ yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Lalu pada 1996, Ate
dianugerahi Digul Award–Indonesia NGO’s Human Rights Award sebagai pejuang HAM.
Ate
yang merupakan wartawan berpengalaman di wilayah konflik itu juga
memegang lisensi advokat. Dia mendirikan sejumlah lembaga bantuan hukum seperti
Bela Keadilan dan Lembaga Bantuan Hukum Universalia. Tujuannya, ingin membantu
para korban ketidakadilan sistem di Indonesia.
Pembelaan
secara gratis kepada para korban tentu saja menuntut semangat juang dan
konsistensi yang teruji. Misalnya dalam kasus korupsi videotron, yang melibatkan
anak salah satu Menteri era SBY, Ate dan kawan-kawan memberikan pembelaan penuh
kepada Hendra Saputra, office boy yang dijadikan tersangka oleh KPK. Padahal
sang office boy hanya dipinjam Kartu Tanpa Penduduknya oleh sang anak Menteri
untuk pendirian perusahaan.
Selain
itu, Ate juga mengadvokasi warga Sampang yang terusir dari kampung halaman
hanya karena mereka berbeda keyakinan. Sebelum banyak orang cemas terkait aksi-aksi intoleran, Ate telah lebih dahulu mendirikan "Garda Kemerdekaan",
gerakan melawan aksi intoleransi dan membela kelompok minoritas.
Tak
hanya itu, sejak lama Ate tertarik pada pelayan publik, transparansi dan
antikorupsi saat menjalankan aktivitasnya sebagai wartawan. Berbagai masalah
pelayanan publik dan korupsi telah diliput dan disajikan dalam
bentuk berita, opini maupun artikel. Buahnya, ketika Ate mendapat penghargaan
Mocthar Lubis Award bidang penulisan pelayanan publik, tahun 2011.
Khusus
terkait kiprah Ate di bidang jurnalistik, Menteri Komunikasi dan Informatika,
Rudiantara yang hadir di pemakaman mengenang Ate sebagai sosok jurnalis dan aktivis pers yang konsisten, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Di
luar negeri, Ahmad Taufik juga sangat dikenal,” ujar pria yang sejak Kamis
(23/3) malam saat Ate dikabarkan meninggal sudah bertakziah ke rumah almarhum.
Hal itu terbukti pada 1998, ketika Ate diganjar penghargaan Hellmann/Hammet Award from American Writer, di New York, AS. Sementara terkait penghargaan jurnalistik, banyak sudah yang diraih Ate, seperti Juara I, Lomba Jurnalistik Problematika Remaja & rokok, tahun 2008, Juara I dan II Anugerah Jurnalistik Kategori Media cetak, Hari Tata ruang 2009 hingga Juara I Lomba Penulisan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Khusus untuk karya buku, jumlahnya pun tak sedikit. Beberapa yang sempat ditulis Ate, diantaranya; Seks dan Gerakan Mahasiswa, tahun 1994 ; Asia Against West,
Asia-network, Korea, 2003 (Bahasa Korea), Jalan Terjal Menegakkan Kebenaran,
Menolak Kompromi Jadi Korban Politik (Pledoi Rahardi Ramelan), I am a
Journalist, Pledoi, Tempo, 2004.
Lalu ada, Memoar Orang Biasa, Ceritanet.Com, London, 2004, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Lesperssi DCAF, Jakarta 2007, The News, Beyond The Headline, penerbit Asia Network, Korea (Bahasa Korea), 2008, Detik-detik Terakhir Saddam, bersama Rommy Fibri, PDAT, Jakarta 2008, Penjara, the Untold Stories, UfukPress, 2010, Bisnis Seks di Balik Jeruji, UfukPress, 2011, 70 Tahun Indonesia Merdeka: Sebuah Agenda Penyelamatan, Manaqib Habib Abubakar Al-Jufri, hingga Buku Saku Jurnalistik: Teknik Wawancara dan 7 Isu Internasional Kontemporer 2016.
Lalu ada, Memoar Orang Biasa, Ceritanet.Com, London, 2004, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Lesperssi DCAF, Jakarta 2007, The News, Beyond The Headline, penerbit Asia Network, Korea (Bahasa Korea), 2008, Detik-detik Terakhir Saddam, bersama Rommy Fibri, PDAT, Jakarta 2008, Penjara, the Untold Stories, UfukPress, 2010, Bisnis Seks di Balik Jeruji, UfukPress, 2011, 70 Tahun Indonesia Merdeka: Sebuah Agenda Penyelamatan, Manaqib Habib Abubakar Al-Jufri, hingga Buku Saku Jurnalistik: Teknik Wawancara dan 7 Isu Internasional Kontemporer 2016.
Terkait gerakan antikorupsi, Ate bersama koleganya di Bandung sempat mendirikan West
Java Corruption Watch. Sampai sekarang, Ate masih dipercaya sebagai penasehat
pada organisasi pemantau korupsi tersebut.
Pengalaman
itu pula yang membulatkan tekad Ate mendaftar sebagai salah satu komisioner KPK di
tahun 2014. Saat itu, Ate sempat lolos di beberapa tahapan seleksi meski pada
akhirnya gugur.
Harapan Ate, pengalamannya menjadi bekal jika ia dipercaya sebagai Pimpinan KPK.
Ia ingin membantu KPK menyelesaikan perkara-perkara korupsi
secara professional, cepat dan imparsial, sehingga bisa menepis dugaan jika KPK
melakukan politik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
Seakan
tak bisa diam, Ate kembali bergelut dalam urusan kepentingan publik. Pada
2012, bersama Abdul Malik Damrah dan Bina Bektiati, Ate menggugat Ancol karena
raksasa properti di kawasan itu membatasi akses warga ke pantai dengan menerapkan tarif
masuk.
Meski pengadilan kemudian mengalahkannya, gugatan tersebut telah memantik wacana
tentang pantai sebagai ruang publik, yang seharusnya gratis.
Belakangan, wacana itu kembali menguat di musim pilkada, ketika ada paslon yang
mempersoalkan perlunya akses gratis ke pantai Jakarta.
Lalu,
di forum yang lebih luas, Ate bergabung
dengan Koalisi Advokat Internasional untuk membela hak warga Palestina. Bahkan,
saat menunaikan umrah tahun lalu, secara sengaja Ate mengibarkan bendera
Palestina sambil tawaf. Saat ditanya, bagaimana jika ia ditangkap polisi Arab Saudi
yang sangat mengharamkan setiap ekspresi politik, Ate menjawab lugas, “lebih
bagus!”
Di
tahun 2014 silam, Ate kembali menunjukkan sikap kritisnya, ketika Tempo
tempatnya bekerja menunjukkan afiliasinya terhadap salah satu kandidat
presiden. Baginya media seharusnya independen. Di dalam blog pribadinya, Ate menulis,
“Jurnalisme Sempat Pingsan”.
Dari
semua itu, yang cukup mengejutkan terjadi tahun lalu, ketika ia mendeklarasikan
diri sebagai calon gubernur Jakarta, menjadi pesaing Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), petahana yang populer di kalangan jurnalis. Saat itu, Ate maju
lewat jalur independen. Meski jumlah dukungan KTP sebagai syarat utama tak mencukupi, Ate tetap percaya diri mendaftar ke KPU Jakarta.
Sosok berenergi
itu kini telah tiada. Ia telah tenang di pemakaman Karet Kebembem, Tanah Abang,
Jakarta Pusat. Karya dan hasil kerja yang pernah ditorehkannya tak akan hilang.
Ia akan selalu dikenang.
Karena
itu pula, Koran Tempo akhirnya memuat foto Ate, pada edisi Jumat, 24 Maret
2017. Ate yang jabatan tertingginya hanya redaktur rubrik Gaya Hidup, telah
membuat Tempo begitu berwarna. Begitu disegani. Dalam foto itu, Koran Tempo memberi tulisan
kecil:
“Untuk
sahabat kami, Ahmad Taufik, yang tak pernah kehilangan semangat: selamat jalan”
(jacko agun)
No comments:
Post a Comment