Sunday, March 26, 2017

Ate, energi yang tak pernah diam.

(source: http://koleksikemalaatmojo.blogspot.co.id)
“Innalilahi wainnailaihi rojiun
Telah berpulang ke sisi Allah SWT, abang, orangtua kami, pejuang kami, Ahmat Taufik (Ate), pendiri AJI dan jurnalis TEMPO di RS. Medistra

Semoga amal ibadah dan  kebaikannya di terima disisinya.
Amin.”

Sebuah pesan masuk di grup whatsapp yang semua anggotanya adalah jurnalis lintas multiflatform pada Kamis malam (23/3/2017) pukul 20.14WIB. Isinya cukup mengejutkan, karena berkabar tentang kepergian seorang senior Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang namanya cukup membumi dan disegani.

Dia adalah Ahmad Taufik Jufri, wartawan senior Tempo yang tutup usia akibat kanker paru di usia 52 tahun. Sebelumnya, di grup tertutup itu, kabar tentang kondisi Ate sempat mencuat, tepatnya ketika ia dijenguk oleh beberapa teman. Saat itu banyak yang mendoakan kesembuhan Ate.

Jujur, saya tidak terlalu mengenal Ate secara dekat, karena jarang bersinggungan, bukan teman satu kantor dan memang tidak ada momen khusus yang mempertemukan, kecuali “MayDay”. Oh ya, untuk urusan aksi-aksi jalanan, Ate memang kerap hadir, sekedar memberikan dukungan, sekaligus wujud kepeduliannya.

Saya masih ingat, di tahun 2009, kami (baca: AJI Jakarta) memimpin di depan ribuan buruh dengan “bola raksasa” yang disain sedemikian rupa. Bola itu kami gelindingkan dari Bundaran HI hingga depan istana negara, sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan buruh, dimana selaku jurnalis, kami salah satunya. Ya, kami adalah buruh.

Membawa bola ukuran raksasa tentu bukan perkara mudah. Seingatku, kami harus menyewa sebuah truk ukuran sedang untuk mengangkut bola yang terpaksa dibelah dua itu. Selanjutnya dua bagian itu kami rakit kembali begitu tiba di Bundaran HI.

Begitulah kejadiannya, ketika beberapa jam kemudian, massa aksi mulai berkumpul. Karena tidak membawa alat peraga yang bisa ditampilkan dibagian depan, selain mobil komando, maka bola raksasa kami didaulat sebagai bagian dari aksi MayDay.

Di aksi itu, saya melihat sendiri bagaimana Ate begitu bersemangat menggelindingkan bola sejak dari Bundaran HI. Sebagai senioren yang masih mau turun ke jalan, saya langsung kagum. Hormat yang terdalam. Maklum, tak banyak senior sepantaran beliau yang masih turun ke jalan dan terlibat langsung di dalam aksi besar seperti itu.

Bahkan, saya sempat bertemu senior, yang hanya memantau saja dari pinggir jalan. Juga, ada senior yang bergabung, namun tidak sampai aksi selesai dan tidak pula ikut menggelindingkan bola. Hal itu berbeda dengan Ate yang dengan kesadaran penuh ikut bersusah-susah sepanjang 1.5 Km.

Sekedar informasi, bola yang kami buat diameternya sekitar 4-5m, berbahan dasar bambu ditutup kertas semen, lalu dicat menyerupai globe. Adapun beratnya, kami tak pernah menimbang, namun yang pasti, dibutuhkan lebih dari 1 orang agar bola itu bisa berputar.

Ketika mencoba menggelindingkan bola, dibutuhkan energi yang besar. Oleh karena itu, saya bisa merasakan bagaimana Ate begitu bersemangat menggelindingkan bola raksasa itu. Pasti energinya akan terkuras, jika tidak memiliki stamina yang baik.

Soal energi yang tak pernah habis, rasanya cocok dilekatkan pada seorang Ate. Saat bergabung dengan AJI, salah satu yang mengakar kuat diingatan saya adalah kasus Tempo Vs Tomy Winata. Saat itu, Ate sempat membuat bos Grup Artha Graha, Tomy Winata gerah, ketika Tempo edisi 3-9 Maret 2003, menurunkan tulisan berjudul 'Ada Tomy di Tenabang'. Tomy akhirnya melayangkan gugatan, setelah sempat melakukan kekerasan terhadap Ate, BHM dan lainnnya, termasuk menggeruduk kantor Tempo.

Bahkan dalam tulisannya di tahun 2003, yang dirangkum dalam 5 jam pasca penyerangan kantor Tempo hingga pemberkasan di Polres Jakarta Pusat, tergambar jelas perlakuan tidak mengenakkan dilakukan anak buah Tomy Winata. Sampai-sampai Ate mempertanyakan, mengapa perlakuan kasar itu dipertontonkan kepada mereka dihadapan aparat penegak hukum. Anehnya, polisi yang ada saat itu, tidak melakukan tindakan apapun.

Lalu, ketika Ate dituntut 2 tahun penjara oleh jaksa di PN Jakarta Pusat, ia sempat mengajukan keberatan (eksepsi) dengan menyatakan, pekerjaan jurnalis merupakan sesuatu yang sederhana. 

Hal itu terkait pekerjaannya saat meliput sebuah peristiwa. Selama informasi yang diterima telah terkonfirmasi dengan baik, serta menerapkan prinsip “cover both sides”, maka tidak ada yang salah dengan itu.

Dalam penulisan berita "Ada Tomy di Tenabang", Ate mengakui jika ia beberapa kali ke lapangan, mendengar desas-desus bahwa ada titik api lain selain di gardu listrik. Pun, terdengar kabar jika ada proposal yang menyebutkan perlunya renovasi pasar Tanah Abang, sebelum musibah kebakaran terjadi.

Lewat penelusuran, Ate akhirnya bertemu dengan seorang arsitek kontraktor dan melihat langsung proposal yang digagas oleh kelompok Artha Graha. Karena itu, koordinator Tempo News Room akhirnya menugaskan beberapa jurnalisnya untuk mewawancara Tomy Winata dan akhirnya berhasil. 

Saat itu, Tempo sengaja menerapkan sumber anonim di kasus itu, karena mereka (baca: Tempo) sadar, apa yang bakal terjadi dengan narasumber, jika namanya diungkap ke publik.

Bahkan Farid Gaban, seorang jurnalis senior sekaligus pemerhati pers menilai Tempo telah melakukan langkah tepat dengan menggunakan sumber anonim.  Jika melihat anarkisnya orang-orang Tomy Winata yang datang ke kantor Tempo, menurut Farid Gaban, “saya kira kita bisa membayangkan apa yang terjadi pada sang arsitek”.

Dalam keberatannya, Ate juga menyatakan dirinya sebagai anggota AJI yang senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan saat meliput serta menerima kritik dan komentar. 

Selain itu, Ate juga mengungkapkan jika jurnalis tak akan menyerah dengan tekanan fisik yang diterima lewat tangan aparat peradilan yang berusaha menekan. Karena, ketika jurnalis menyerah, maka kontrol sosial akan hilang, dan kesewenang-wenangan mendominasi.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum, Bastian Hutabarat mendakwa Ate, BHM dan Iskandar melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Jika dakwaan primer terbukti, ketiganya dipidana penjara minimal 10 tahun. Uniknya, tak ada satu pun pasal dalam surat dakwaan jaksa menggunakan UU Pokok Pers. 

Belakangan, tersangka Ate dan Teuku Iskandar Ali dibebaskan PN Jakpus, karena hakim menilai pihak yang bertanggung jawab dalam pemberitaan itu adalah pemimpin redaksi.

Masih soal energi besar Ate, pria kelahiran Jakarta, 12 Juli 1965 itu memang tak pernah diam. Semua pilihannya selalu berpotensi besar bersinggungan dengan hukum. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin  yang hadir di pemakaman  Ate pada Jumat siang 24 Maret 2017 menyebut Ate sebagai sosok aktivis cum jurnalis yang gigih memperjuangkan pers yang independen.

“Tahun 90-an dulu, setiap orang pasti mengenal beliau. Khususnya dalam mewujudkan pers yang mandiri, yang independen, yang bisa menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya,” ujar Lukman.

Lebih jauh menteri agama itu menyebut, pelajaran terpenting yang bisa diambil dari sosok Ate adalah konsistensinya yang luar biasa dalam berjuang.

“Bahkan dia rela mempertaruhkan dirinya hingga dipenjara,” pungkasnya.

Soal Ate dipenjara, bagi saya hal itu patut diacungi jempol dan layak diapresiasi. Tentu saja, karena tak banyak jurnalis yang pernah mendekam dipenjara karena karya-karyanya. Karena sikap kritis terhadap pemerintah, apalagi melawan pemerintah ORBA yang otoriter. Saat itu, kebanyakan jurnalis memilih manut. Duduk manis, menelan bulat-bulat setiap pembenaran yang dilontarkan pemerintah.

Pada tahun 1995, 8 tahun sebelum peristiwa penggerudukan kantor Tempo, Ate bersama 2 temannya, Eko Maryadi (Item) dan Danang Kukuh Wardoyo sempat dipenjara karena menyebarkan majalah "Suara Independen". Suara Independen adalah media terbitan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilarang beredar oleh rezim Orde Baru.

Dalam kenangannya, Sekjen pertama AJI, Tosca Santoso menyebut Ate dan dirinya menjadi buruan aparat sesuai perintah pemerintah saat itu, karena Suara  Independen dianggap melecehkan kekuasaan Orde Baru.

“Hari-hari di Rumah Susun Tanah Abang (RS TA) itu, berjalan dengan riang, tak terasa heroik meski kami dipandang melawan rezim Soeharto. Pernyataan sikap, pengelolaan Independen, waktu itu menohok jantung kekuasaan Deppen, dan rapat-rapat AJI berjalan menyenangkan pada periode Agustus 1994 - Maret 1995”, kenang Tosca.

Bagi Tosca, kamar kontrakan di lantai dua, tempat mereka bekerja itu penuh gelora. Apalagi sejak Deklarasi Sirnagalih (baca: pendirian AJI), pernyataan menolak pemberangusan kebebasan pers dan keinginan berserikat telah diteken pada 8 Agustus 1994. Dan sejak itulah mereka sering bertemu untuk mewujudkan pers bebas.  

“Ahmad Taufik memimpin presidium  AJI yang pertama, saya sekjennya”, ujar Tosca.

16 Maret 1995, acara lebaran yang digelar AJI di Hotel Wisata Jakarta berujung pilu usai digerebek polisi. Sasaran mereka adalah Suara Independen. Terbitan tanpa SIUPP itu, salah satunya dicari polisi karena mengungkap saham-saham Menteri Penerangan Harmoko di beberapa media massa. Sebuah kisah yang sekarang pasti dianggap biasa saja, sementara dulu menjadi barang tabu. 

Saat itu, Ate ditangkap di lokasi, bersama Danang Kukuh Wardoyo. Sementara Tosca berhasil lolos dari penggrebekan, diantar Eko Maryadi (Item) ke losmen kecil di Jalan Jaksa. Item, setelah merasa aman meninggalkan Tosca untuk mengambil dokumen di RS TA. Sayangnya, Item dicokok menjelang subuh dengan sejumlah dokumen.

Ate kemudian menjadi simbol perlawanan. Dari balik jeruji, ia tunjukkan keberanian dan ketabahan tak berbatas. Penjara bukan tempat yang menyurutkan langkahnya. Sementara itu, dalam pelariannya Tosca menerbitkan Suara Independen yang kemudian berganti nama menjadi "Independen". Saat itu, alamat redaksi tak lagi di RS TA,  tetapi pakai P.O Box di Amsterdam. Belanda. 

Adalah Joss Wibisono dan Aboepriyadi Santoso (Tossi) yang berbaik hati mengurus kotak pos itu. Akhirnya Independen tetap terbit, dan dapat berkomunikasi dengan pembaca, meski dikelola secara klandestin.

Saat itu, Ate divonis 2 Tahun 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ketika Suara Independen diedarkan diam-diam ke seluruh penjuru negeri. Suara Independen menjadi semacam oase yang menyejukkan pembaca, ditengah hagemoni media yang cenderung seragam. Di era itu, AJI diidentikkan sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru, dimana Ate sebagai tokoh utamanya.

Ate kemudian dibebaskan pada tahun 1997 atau setahun menjelang keruntuhan Orde Baru. Dua dekade telah berlalu sejak Ate memulai geliat organisasi AJI di RS TA, tak membuatnya lupa. Itu sebabnya Ate memasang sampul Suara Independen yang berisi foto dirinya, Item dan Danang di laman facebook miliknya. Penggunaan foto itu seakan mengingatkan, bahwa Ate tidak berubah.  Ia adalah tonggak sejarah pers melawan kezaliman Orde Baru.

Sementara bagi Item (Eko Maryadi), salah satu sobat Ate yang pernah di penjara, menyebut Ate sebagai sosok sahabat yang baik. Di salah satu media online, Item mengaku selama puluhan tahun bersahabat, mereka tidak pernah bertengkar sekalipun.

"Bahkan ketika pilihan politik berbeda, 
kami tetap saling sapa dan silaturahmi tanya kabar. Itu yang paling membuat saya kehilangan," ujar Item, di lokasi pemakaman. 

Item juga menyebut Ate bukan tipikal orang yang gampang mengeluh. Bahkan ketika mereka dipenjara dulu, Ate tetap tegar, termasuk ketika mengetahui ayahnya meninggal dunia. Saat itu, Ate tak diizinkan melayat, sehingga dia menuliskan hal tersebut dan dimuat di beberapa surat kabar. Atas berita itu, ia kemudian dipindahkan dari LP Cirebon ke LP Kuningan.

Bagi Item yang sempat mengalami perpindahan lapas sebanyak 4 kali dan Ate sebanyak 5 kali, menganggap perjuangan Ate tidak akan berhenti pada saat kematiannya. Menurut Item, akan muncul Ate-Ate lain yang akan meneruskan semangat juang itu.

"Saya berdoa ada Ate lain yang lahir di bumi pertiwi ini. Bukan hanya membela kebebasan pers, media yang profesional dan beretika tapi juga yang berani membela rakyat kecil, membela orang lemah dan itu yang dilakukan Taufik sejak saya kenal sampai tutup usia," tandas Eko. 

Selama berkarier sebagai wartawan, Ate sempat memiliki pengalaman 40 hari meliput di perbatasan Pakistan-Afghanistan (Tribal Area), saat Amerika Serikat menyerang Pemerintahan Taliban di Afghanistan, 2001. Pun, meliput pemilihan umum di Irak, 24 Januari –1 Maret 2005.

Selain itu, Ate juga menerima beberapa penghargaan bergengsi, seperti Tasrief Award sebagai Indonesia Press Freedom Award hingga International Press Freedom Award dari CPJ yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Lalu pada 1996, Ate dianugerahi Digul Award–Indonesia NGO’s Human Rights Award sebagai pejuang HAM.

Ate yang merupakan wartawan berpengalaman di wilayah konflik itu juga memegang lisensi advokat. Dia mendirikan sejumlah lembaga bantuan hukum seperti Bela Keadilan dan Lembaga Bantuan Hukum Universalia. Tujuannya, ingin membantu para korban ketidakadilan sistem di Indonesia.

Pembelaan secara gratis kepada para korban tentu saja menuntut semangat juang dan konsistensi yang teruji. Misalnya dalam kasus korupsi videotron, yang melibatkan anak salah satu Menteri era SBY, Ate dan kawan-kawan memberikan pembelaan penuh kepada Hendra Saputra, office boy yang dijadikan tersangka oleh KPK. Padahal sang office boy hanya dipinjam Kartu Tanpa Penduduknya oleh sang anak Menteri untuk pendirian perusahaan.

Selain itu, Ate juga mengadvokasi warga Sampang yang terusir dari kampung halaman hanya karena mereka berbeda keyakinan. Sebelum banyak orang cemas terkait aksi-aksi intoleran, Ate telah lebih dahulu mendirikan "Garda Kemerdekaan", gerakan melawan aksi intoleransi dan membela kelompok minoritas.

Tak hanya itu, sejak lama Ate tertarik pada pelayan publik, transparansi dan antikorupsi saat menjalankan aktivitasnya sebagai wartawan. Berbagai masalah pelayanan publik dan korupsi telah diliput dan disajikan dalam bentuk berita, opini maupun artikel. Buahnya, ketika Ate mendapat penghargaan Mocthar Lubis Award bidang penulisan pelayanan publik, tahun 2011.

Khusus terkait kiprah Ate di bidang jurnalistik, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara yang hadir di pemakaman mengenang Ate sebagai sosok jurnalis dan aktivis pers yang konsisten, baik di dalam maupun di luar negeri.

“Di luar negeri, Ahmad Taufik juga sangat dikenal,” ujar pria yang sejak Kamis (23/3) malam saat Ate dikabarkan meninggal sudah bertakziah ke rumah almarhum.

Hal itu terbukti pada 1998, ketika Ate diganjar penghargaan Hellmann/Hammet Award from American Writer, di New York, AS. Sementara terkait penghargaan jurnalistik, banyak sudah yang diraih Ate, seperti
Juara I, Lomba Jurnalistik Problematika Remaja & rokok, tahun 2008, Juara I dan II Anugerah Jurnalistik Kategori Media cetak, Hari Tata ruang 2009 hingga Juara I Lomba Penulisan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.

Khusus untuk karya buku, jumlahnya pun tak sedikit. Beberapa yang sempat ditulis Ate, diantaranya; Seks dan Gerakan Mahasiswa, tahun 1994 ; Asia Against West, Asia-network, Korea, 2003 (Bahasa Korea), Jalan Terjal Menegakkan Kebenaran, Menolak Kompromi Jadi Korban Politik (Pledoi Rahardi Ramelan), I am a Journalist, Pledoi, Tempo, 2004. 

Lalu ada, Memoar Orang Biasa, Ceritanet.Com, London, 2004, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Lesperssi DCAF, Jakarta 2007, The News, Beyond The Headline, penerbit Asia Network, Korea (Bahasa Korea), 2008, Detik-detik Terakhir Saddam, bersama Rommy Fibri, PDAT, Jakarta 2008, Penjara, the Untold Stories, UfukPress, 2010, Bisnis Seks di Balik Jeruji, UfukPress, 2011, 70 Tahun Indonesia Merdeka: Sebuah Agenda Penyelamatan, Manaqib Habib Abubakar Al-Jufri, hingga Buku Saku Jurnalistik: Teknik Wawancara dan 7 Isu Internasional Kontemporer 2016.

Terkait gerakan antikorupsi, Ate bersama koleganya di Bandung sempat mendirikan West Java Corruption Watch. Sampai sekarang, Ate masih dipercaya sebagai penasehat pada organisasi pemantau korupsi tersebut. 

Pengalaman itu pula yang membulatkan tekad Ate mendaftar sebagai salah satu komisioner KPK di tahun 2014. Saat itu, Ate sempat lolos di beberapa tahapan seleksi meski pada akhirnya gugur.

Harapan Ate, pengalamannya menjadi bekal jika ia dipercaya sebagai Pimpinan KPK. Ia ingin membantu KPK menyelesaikan perkara-perkara korupsi secara professional, cepat dan imparsial, sehingga bisa menepis dugaan jika KPK melakukan politik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Seakan tak bisa diam, Ate kembali bergelut dalam urusan kepentingan publik. Pada 2012, bersama Abdul Malik Damrah dan Bina Bektiati, Ate menggugat Ancol karena raksasa properti di kawasan itu membatasi akses warga ke pantai dengan menerapkan tarif masuk.

Meski pengadilan kemudian mengalahkannya, gugatan tersebut telah memantik wacana tentang pantai sebagai ruang publik, yang seharusnya gratis. Belakangan, wacana itu kembali menguat di musim pilkada, ketika ada paslon yang mempersoalkan perlunya akses gratis ke pantai Jakarta.

Lalu, di forum yang lebih luas,  Ate bergabung dengan Koalisi Advokat Internasional untuk membela hak warga Palestina. Bahkan, saat menunaikan umrah tahun lalu, secara sengaja Ate mengibarkan bendera Palestina sambil tawaf. Saat ditanya, bagaimana jika ia ditangkap polisi Arab Saudi yang sangat mengharamkan setiap ekspresi politik, Ate menjawab lugas, “lebih bagus!”

Di tahun 2014 silam, Ate kembali menunjukkan sikap kritisnya, ketika Tempo tempatnya bekerja menunjukkan afiliasinya terhadap salah satu kandidat presiden. Baginya media seharusnya independen. Di dalam blog pribadinya, Ate menulis, “Jurnalisme Sempat Pingsan”.

Dari semua itu, yang cukup mengejutkan terjadi tahun lalu, ketika ia mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur Jakarta, menjadi pesaing Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), petahana yang populer di kalangan jurnalis. Saat itu, Ate maju lewat jalur independen. Meski jumlah dukungan KTP sebagai syarat utama tak mencukupi, Ate tetap percaya diri mendaftar ke KPU Jakarta.

Sosok berenergi itu kini telah tiada. Ia telah tenang di pemakaman Karet Kebembem, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Karya dan hasil kerja yang pernah ditorehkannya tak akan hilang. Ia akan selalu dikenang.

Karena itu pula, Koran Tempo akhirnya memuat foto Ate, pada edisi Jumat, 24 Maret 2017. Ate yang jabatan tertingginya hanya redaktur rubrik Gaya Hidup, telah membuat Tempo begitu berwarna. Begitu disegani. Dalam foto itu, Koran Tempo memberi tulisan kecil:

“Untuk sahabat kami, Ahmad Taufik, yang tak pernah kehilangan semangat: selamat jalan” (jacko agun)



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN