Sunday, July 05, 2020

Pandemi Covid-19 Dan Komitmen NDC, Persoalan Lingkungan Saat Ini

Perjanjian Iklim Paris. Foto: ist
Perjanjian Paris mewajibkan sejumlah negara menetapkan kontribusi nasional/ Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai respons atas perubahan iklim untuk menahan laju pemanasan global di bawah 2°C bahkan menekannya sampai 1,5°C di bawah tingkat pra-industrialisasi.

Media di Indonesia​​ telah​​ meliput dampak​​ penanganan dan pencegahan​​ pandemi​​ COVID-19 bagi lingkungan hidup. Karena minimnya aktivitas di luar ruangan mengakibatkan turunnya emisi gas rumah kaca di udara​​ yang​​ dianggap​​ memperlambat terjadinya perubahan iklim.​​

Opini bahwa​​ pandemi​​ merupakan cara Bumi untuk beristirahat dan memulihkan diri, juga beredar luas di masyarakat.​​ Hanya saja,hal itu bukan untuk​​ dirayakan,​​ mengingat​​ COVID-19 telah​​ memunculkan 11.382.890 kasus dengan angka kematian mencapai 533.473 jiwa hingga 5 Juli 2020.

Di sisi lain, perubahan iklim merupakan ketidakadilan global terbesar di dunia. Negara-negara yang mengeluarkan emisi paling banyak di masa lalu (negara-negara maju) menjadi lebih tahan dan mudah beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Sementara negara-negara yang mengeluarkan emisi lebih​​ sedikit (negara berkembang) menjadi pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim.​​

Kita menyaksikan bagaimana negara-negara maju begitu tanggap menghadapi COVID-19 dengan memberlakukan​​lockdown/karantina wilayah, jaga jarak fisik/physical distancing,​​ pengujian​​ COVID-19 gratis, pelarangan perjalanan​​ udara, bantuan​​ pangan gratis, hingga​​ penginapan gratis bagi tuna wisma.

Di waktu bersamaan,​​ negara-negara berkembang​​ harus berpikir dua kali melakukan hal-hal tersebut, karena banyak masyarakat yang menggantungkan ekonominya pada pendapatan harian​​ dan tak jarang terjadi PHK yang dilakukan pelaku usaha,​​ dengan dalih "tidak produktif​​" di masa​​ pandemi​​ ini.

Meskipun demikian,​​ perubahan iklim dan​​ COVID-19 memiliki kesamaan.​​ Keduanya membutuhkan tingkat kerja sama global yang luar biasa. Membutuhkan perubahan perilaku untuk​​ mengurangi penderitaan​​ di​​esok hari.

Sebelumnya, ilmuwan telah memprediksi perubahan tersebut, namun sayang ada kesan pengabaian oleh pemerintah yang 'gagap' menyikapi pandemi. Bahkan ketika pandemi melampaui​​ statistik​​ pertumbuhan​​ekonomi, seharusnya mampu bertindak radikal​​ dan meninggalkan logika pasar. Dengan kata lain, penanganan perubahan iklim​​ dan COVID-19​​ memerlukan intervensi negara pada tingkat yang baru, sebagai prasyarat untuk memastikan​​ kita tidak akan terjerumus pada​​​​ bencana yang lebih besar.​​

Sementara itu, dunia juga dihadapkan pada harapan semu tentang dunia yang lebih sehat dan bersih. Kondisi saat ini hanya sementara. Pasalnya, ketika​​ pandemi berlalu, industri​​​​ kembali menggenjot produksi​​ demi memulihkan ekonomi yang sempat lumpuh. Akibatnya, bumi kembali kelabu.

Hal ini berbahaya karena akan menciptakan bencana yang lebih besar, seperti dalam​​ skenario​​ Doktrin Kejut (Shock Doctrine​​) 2 yang diperkenalkan Naomi Klein. Ia​​memperkenalkan dua​​ skenario dalam doktrin kejut.

Pertama-tama diawali oleh bencana murni, seperti bencana alam, perang, krisis ekonomi. Kemudian diikuti bencana lanjutan, yakni hal-hal buruk yang dilakukan oleh penguasa, seperti perubahan struktur ekonomi​​secara ekstrem,​​ peluang memperkaya diri sendiri​​/ orang lain​​ di pasca-krisis, sementara masyarakat​​​​ sedang memulihkan dirinya.​​ Ketika masyarakat sadar, harapan untuk dunia yang lebih baik, telah terlambat.

Kondisi ini sudah terjadi di​​ China dan​​ Amerika Serikat, dimana bencana pertama adalah COVID-19 dan bencana kedua adalah revisi terhadap aturan perlindungan lingkungan.

Pemerintah China memutuskan untuk​​mengesampingkan​​ pengawasan lingkungan hidup pada fasilitas ​​industri. Sementara, Amerika Serikat memutuskan tidak menghukum pelanggar pencemaran, selama perusahaan dapat menghubungkan sebab pelanggaran akibat​​ pandemi.

Seharusnya pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran tentang cara​​ merespons​​ perubahan iklim yang telah menjadi realitas baru,​​ termasuk bersikap di masa kenormalan baru dengan mengubah perilaku.

Sebelum pandemi, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 22 April 2016 melalui undang-undang No. 16 tahun 2016 dan mengomunikasikan Nationally Determined Contribution (NDC) pertamanya pada November 2016, dengan target penurunan emisi sebesar 29% dengan bisnis seperti biasa, dan 41% dengan bantuan internasional.

Target ini terbilang ambisius karena membuat lonjakan dari target sebelumnya 26% dengan bisnis seperti biasa, dan 41% dengan bantuan internasional pada rezim Protocol Kyoto. Padahal saat itu, Indonesia tidak wajib menurunkan emisinya karena termasuk negara non-Annex. Dengan kata lain, pemerintah saat itu memiliki keseriusan menghadapi perubahan iklim.

Sayangnya, keseriusan itu memudar saat ini, diindikasikan dengan beberapa hal. Pertama, NDC pertama Indonesia tidak mengandung perkiraan puncak emisi gas rumah kaca dalam waktu dekat.

Kedua, pemerintah tidak melakukan perubahan target NDC dalam pembaruan NDC kepada sekretariat UNFCCC yang seharusnya terjadi pada kuartal pertama tahun 2020. Namun, karena pandemi COVID-19, jadwal pengajuan pembaruan NDC tertunda.

Info terakhir menyebut, pembaruan NDC masih berproses di KLHK sebelum disetujui presiden. Uniknya, pembaruan NDC tidak melibatkan masyarakat maupun organisasi non-pemerintah, walaupun dalam rancangan dokumen pembaruan NDC disebutkan telah melakukan konsultasi. Sejauh ini, tidak ada publikasi yang dapat diakses oleh masyarakat mengenai pembaruan NDC tersebut.

Uniknya, pemerintah justru mengambil kebijakan yang berlawanan dengan komitmen NDC, seperti mengajukan RUU Cipta Kerja demi menyederhanakan perizinan dan masuknya investasi-investasi berkarbon tinggi. Bahkan dengan terburu-buru telah mengesahkan perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Jika pemerintah serius terhadap komitmen NDC, kebijakannya harus berfokus pada upaya menurunkan emisi, menuju pembangunan rendah karbon, dan menyediakan transisi yang adil untuk itu.

Pasalnya, di tahun 2018, IPCC dan PBB telah memperingatkan bahwa kita hanya punya waktu 12 tahun lagi untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim permanen yang disebabkan oleh kenaikan suhu global sebesar 1,5°C.

Dan jika memang serius terhadap komitmen NDC, ada beberapa sektor yang harus dibenahi, diantaranya:
1. Sektor kehutanan dengan melaksanakan putusan pemulihan lingkungan hidup bagi hutan dan lahan yang terbakar, juga mereklamasi lubang tambang yang ditinggalkan. Hal lainnya terkait perhutanan sosial, dimana banyak daerah yang memenuhi syarat melaksanakan perhutanan sosial dan mengajukannya ke Menteri KLHK, namun kementerian belum memproses hal tersebut. Serta melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di sektor kehutanan.

2. Sektor pertanian dengan evaluasi perizinan secara optimal. Diantaranya sektor perkebunan sawit sesuai Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018. Sayangnya, hingga saat ini evaluasi tersebut tidak dilakukan secara maksimal, terbukti masih banyaknya pembukaan lahan sawit baru.

3. Sektor energi dimana penggunaan energi fosil harus dihilangkan, termasuk menghentikan pembangunan PLTU batubara baru. Pemerintah perlu melakukan transisi kepada energi terbarukan secara adil dengan serius

4. Sektor industri dan sampah/limbah seharusnya perlu dilihat dengan kacamata ekonomi sirkular dan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana banyak negara telah melakukannya.

Ketika Perjanjian Paris mewajibkan sejumlah negara menetapkan kontribusi nasional/ Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai respons atas perubahan iklim untuk menahan laju pemanasan global di bawah 2°C bahkan menekannya sampai 1,5°C di bawah tingkat pra-industrialisasi.

Dengan kata lain, NDC merupakan janji negara-negara pihak Perjanjian Paris untuk memitigasi dan beradaptasi pada perubahan iklim secara ambisius. Lebih rinci, NDC berisi perkiraan puncak emisi gas rumah kaca dalam waktu dekat dan target penurunannya dengan bantuan pengetahuan dan teknologi terbaik, serta strategi pembangunan rendah emisi jangka panjang.

Tak hanya itu, negara pihak juga harus mempromosikan integritas, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, dan konsistensi lingkungan dalam bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca dan pengurangannya. (Jacko Agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN