Dari kejauhan mulai tampak bentuk pulau itu. Luasnya kurang lebih 42 Hektar, dengan jumlah penduduk hanya 700 jiwa. Bagian terluar pulau dipenuhi dengan pepohon seperti cemara dan kelapa, sementara diantaranya tampak rumah-rumah mungil penduduk. Tak heran jika dari jauh, pulau ini terlihat hijau.
Foto bersama di depan gapura P. Pari |
Sekeliling
tampak riuh siang itu. Ratusan penumpang berebut turun dari kapal KM. Krapu
yang kami tumpangi dari Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Maklum, teriknya
mentari yang seakan membakar kulit, membuat banyak orang enggan berlama-lama di
dalam kapal.
Begitu
kapal merapat, para wisatawan yang kebanyakan terdiri dari grup/kelompok kecil segera
bertemu dengan pemandu lokalnya. Nantinya, pemandu lokal itu yang akan menemani mereka selama berada di Pulau Pari.
Kini,
sektor pariwisata telah menjadi primadona Kepulauan Seribu. Perkembangannya pun
cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kepulauan Seribu mencatat jumlah wisatawan melonjak dari 217.524 orang pada
tahun 2010 menjadi 558.908 orang tahun 2011. Jumlah ini pun akan terus bertambah. Salah satunya jumlah wisatawan ke Pulau Pari.
Sejurus
berlalu, kami pun bertemu Samsuddin, seorang pemandu lokal yang akan bersama kami untuk dua hari kedepan. Kepiawaian dan keramahannya dalam menjamu kami,
membuat keakraban langsung tercipta.
“ya,
mas, mbak… Selamat datang di Pulau Pari”, ujarnya sebagai pembuka pembicaraan
siang itu.
“Setelah
ini kita langsung ke penginapan, tapi untuk kesana, mas dan mbak silahkan naik
sepeda”, paparnya sembari menunjukkan deretan sepeda yang bisa kami gunakan.
Sepeda yang dipinjamkan selama menginap di P. Pari |
Di
pulau yang tak terlalu luas itu, sarana transportasi utama kebanyakan
menggunakan sepeda. Tak ayal, sepeda pun menjadi salah satu ikon transportasi Pulau
Pari.
Uniknya, meski jumlah sepeda terbilang banyak, peristiwa pencurian merupakan kejadian yang jarang terjadi. Sementara itu, untuk menghindari sepeda tertukar atau dicuri orang, setiap sepeda diberi tanda khusus. Hanya pemilik yang mengetahui keberadaan tanda itu.
Uniknya, meski jumlah sepeda terbilang banyak, peristiwa pencurian merupakan kejadian yang jarang terjadi. Sementara itu, untuk menghindari sepeda tertukar atau dicuri orang, setiap sepeda diberi tanda khusus. Hanya pemilik yang mengetahui keberadaan tanda itu.
“Rasanya,
jarang saya mendengar ada sepeda yang hilang. Kalaupun ada yang tertinggal,
pasti akan dikembalikan warga kepada pemiliknya”, ungkap Samsuddin.
Tak
sampai lima menit bersepeda, kami pun tiba di penginapan. Penginapan disini
merupakan rumah sederhana yang di sewa dengan dua kamar. Sehari-hari rumah itu
memang jarang ditempati. Murni hanya untuk disewakan kepada pengunjung.
Untuk
mendapatkan penginapan itu, pengunjung harus pesan jauh-jauh hari. Pasalnya,
sejak banyak yang berkunjung, mendapatkan penginapan susah-susah gampang.
Penduduk pun membandrol harga sewa seharga Rp.700.000 per malam.
Berbeda
dengan penginapan pada umumnya, di penginapan itu tidak ada batasan jumlah
orang untuk menginap. Artinya, selama rumah itu bisa menampung banyak orang,
tidak akan menjadi masalah. Persis, seperti yang kami alami saat itu. Berenam
belas orang dalam satu rombongan, kami pun bisa nyaman tinggal di rumah itu.
Di
penginapan, beragam fasilitas penunjang juga tersedia, mulai dari tempat tidur,
televisi, air minum, pendingin ruangan hingga toilet. Pengunjung bisa
menggunakannya sesuka hati. Hanya saja untuk keperluan air mandi, memang perlu
berhemat. Pasalnya, air tidak setiap saat menyala. Ada waktu-waktu tertentu,
dimana pengunjung harus memanfaatkannya dengan bijak.
Sebuah Pengalaman Baru
Usai
rehat dan makan siang di penginapan, petualangan sesungguhnya segera menanti. Samsuddin
pun mengingatkan kami untuk mempersiapkan diri dengan pakaian berenang dan baju
ganti. Tentu saja, karena tujuan selanjutnya adalah laut.
Penginapan tempat kami bermalam |
Dari
penginapan kami kembali mengayuh sepeda menuju pelabuhan. Di sana telah menanti
sebuah kapal kayu milik nelayan yang siap menghantarkan kami ke lokasi tujuan.
Jika tadi kapal kayu yang kami gunakan berukuran besar (mampu mengangkut 250 orang), kapal kayu kali ini ukurannya terbilang kecil. Hanya muat untuk rombongan 10 – 20 orang saja.
Jika tadi kapal kayu yang kami gunakan berukuran besar (mampu mengangkut 250 orang), kapal kayu kali ini ukurannya terbilang kecil. Hanya muat untuk rombongan 10 – 20 orang saja.
Saat
menaiki kapal, pengunjung juga harus waspada, jangan sampai salah kapal.
Pasalnya, sekilas setiap kapal tampak sama.
Kondisi terburuk, kita akan terpisah dari rombongan. Belum lagi, tujuan
masing-masing kapal kadang berbeda. Itu sebabnya, selalu berada di dalam
rombongan menjadi pilihan tepat.
Dari
pelabuhan tujuan selanjutnya adalah spot “Karang Kapal” berjarak 20 menit kearah selatan. Di katakan Karang kapal, karena di tempat itu ditemukan banyak karang
pada kedalaman 7 – 10 meter. Dan biasanya, kapal-kapal kecil melepas jangkar disitu untuk menikmati keindahan bawah lautnya.
Begitu
sampai, masing-masing pengunjung dibagikan seperangkat alat snorkeling, mulai dari masker,
snorkel, pelampung hingga fins. Pemilik kapal juga akan memperagakan penggunaan
alat-alat tersebut. Bagi pengunjung pemula, menggunakan alat-alat itu agak
merepotkan karena tidak terbiasa. Pasalnya, saat memakai masker, kita bernafas
hanya dengan mulut, tidak menggunakan hidung seperti dalam keadaan normal.
Belum
lagi, saat snorkeling di permukaan air, masker kerap berembun mengakibatkan
pemandangan jadi terganggu. Beruntung, pemilik kapal memberikan tips mengatasi
hal itu. Mask clearing istilahnya.
Bagi
pengunjung yang tak terbiasa, lebih baik menggunakan pelampung. Sementara bagi
yang sudah mahir, menggunakan pelampung kadang menyulitkan dalam
bergerak di air.
Di
tempat itu, saya melihat aneka jenis karang, baik soft coral maupun hard coral.
Juga berbagai jenis ikan dalam ukuran kecil. “Indah benar”, gumanku membathin.
Bersyukur masih bisa menemukan lokasi seperti ini, tak jauh dari Jakarta.
Padahal sebelumnya, image yang tertanam di kepala tentang laut Kepulauan Seribu adalah laut yang kotor, bau dan penuh oli, seperti di pantai
Muara Angke.
Biasanya
jika sudah menemukan keindahan seperti itu, pengunjung akan lupa waktu. Mereka
akan bergerak kesana-kemari untuk menikmati keindahan laut Kepulauan Seribu.
Selain itu, tak sedikit dari mereka yang mengabadikannya dalam bentuk foto.
Bermain di pantai P. Tikus yang berpasir putih |
Puas
snorkeling selama 30 menit, tujuan berikutnya adalah Pulau Tikus. Letaknya tak
begitu jauh dari spot “Karang Kapal”, hanya berjarak 15 menit naik kapal. Pulau
Tikus merupakan salah satu gugusan pulau kecil di Kepulauan Seribu yang tidak
berpenghuni.
Akibatnya,
setiap pengunjung bebas untuk mengelilinginya. Wilayahnya pun tidak begitu luas.
Begitu sampai, beberapa orang langsung berjalan mengitari pulau itu. Tak sampai
15 menit mereka telah tiba di lokasi semula.
Salah
satu kelebihan pulau ini adalah pasirnya yang putih, membuat pengunjung rela
berlama-lama menghabiskan waktu dengan bermain pasir, sembari berjemur di
pinggir pantai. Itu sebabnya, waktu berkunjung yang direncanakan selama 30
menit harus molor hingga 1 jam setengah.
Biasanya,
setelah lelah snorkeling, Pulau Tikus menjadi pilihan yang pas untuk mengisi
perut. Maklum, beraktivitas di dalam air membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Di tempat itu, Samsuddin menjadi orang yang paling sibuk. Dia harus
memastikan jumlah anggota rombongan agar tidak ada yang tertinggal.
“dulu
pernah ada yang tertinggal, karena masing-masing orang sibuk sendiri, mereka lupa dengan temannya. Pas di hitung ternyata ada yang kurang. Akhirnya
kembali lagi ke Pulau Tikus. Untung temannya itu masih nunggu disana”, ujarnya.
Selain
itu, tak jelas mengapa namanya disebut Pulau Tikus. Menurut Samsuddin,
bentuknya yang kecil seperti tikus bisa jadi alasan pemberian namanya.
“berarti,
bukan karena disitu banyak tikus, kan?” tanyaku.
Mendengar
itu ia pun mengernyit sembari mengangkat bahu, pertanda segala hal mungkin
terjadi.
Selanjutnya,
kami bergerak ke spot “Bintang Rama” agak ke utara yang bisa dicapai dalam 30
menit perjalanan. Sebuah kawasan yang kaya dengan aneka jenis biota laut, mulai
dari ikan, tumbuhan hingga aneka jenis karang. Lagi-lagi Samsuddin tak bisa
menjelaskan mengapa lokasi itu disebut
“Bintang Rama”
“Yang
pasti, orang-orang disini menyebutnya begitu, bahkan dari sejak dulu”, ungkap Samsuddin.
Saat
itu, banyak teman-teman yang mulai terlihat lelah, sehingga ketika ada tawaran
untuk masuk lagi ke laut, hanya sedikit orang yang tertarik. Sedang sisanya lebih
memilih berdiam di atas kapal.
Dari
Bintang Rama, tujuan terakhir adalah APL (Area Perlindungan Laut). Sebuah areal
yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan karena
kekayaan kenekaragaman hayatinya yang berlimpah.
APL
menjadi semacam kawasan konservasi laut yang terisolir dari dunia luar. Di
tempat itu pengunjung diperbolehkan untuk melihat dari dekat aneka jenis biota
laut, namun untuk menyentuhnya apalagi mengambil ikannya merupakan kegiatan
terlarang.
Sayangnya,
pilihan untuk melihat APL harus kami relakan karena waktu yang tidak
memungkinkan. Sebagai gantinya, kami pun ditawari untuk melihat ‘sunset’ dari Pulau Pari, tepatnya di samping Unit
Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Oseanografi
Pulau Pari - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Warga sekitar
menyebutnya UPT LIPI.
Menikmati Sunset
Bagi
teman-teman, menikmat matahari terbenam merupakan sebuah pengalaman baru. Tentu
saja, tenggelamnya matahari tak bisa kami nikmati setiap saat di Jakarta,
karena warna langitnya yang kelabu. Maklum langit Jakarta telah tercemar berbagai
polutan, berbeda dengan langit di Kepulauan Seribu yang masih terbilang bersih,
sehingga terlihat biru.
Menanti matahari terbenam di UPT LIPI |
Sejurus
kemudian, kami pun bergegas mengayuh sepeda menuju UPT LIPI. Letaknya berjarak 7
menit ke arah barat daya dari pelabuhan. Lokasinya yang berada persis di ujung
pulau merupakan tempat yang pas untuk menikmati tenggelamnya sang surya.
Waktu
sudah merujuk pukul 17.50 WIB ketika kami tiba di UPT LIPI. Sekeliling masih
terlihat terang. Lambat laun perubahan pun terjadi. Matahari yang tadinya
terlihat penuh, secara perlahan hilang di telan Bumi.
Saat
itu, lagi-lagi kami kurang beruntung. Pasalnya, awan menutupi pandangan tepat
di depan tenggelamnya matahari. Yang tersisa hanya semburat jingganya saja.
Meski demikian, kami tetap bersyukur masih bisa menikmati kemegahan karya sang
Maestro alam.
Ketika
semuanya mulai berubah gelap, secara beriringan kami pun beranjak pulang ke penginapan.
Keunikan Pulau Pari
Tak
banyak yang mengetahui jika Pulau Pari ternyata memiliki beberapa keunikan.
Salah satu diantaranya adalah kekayaan vegetasi. Vegetasi di pulau itu berbeda dengan
keseluruhan pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Menurut hasil penelitian Pusat
Pengembangan Oseanografi (P2O) LIPI, keberagaman vegetasi itu disebabkan oleh adanya
cekungan yang mampu menampung serapan air hujan yang jatuh ke permukaan.
Itu
sebabnya, air di Pulau Pari tidak berasa asin, berbeda dengan pulau lain yang kebanyakan
merupakan air payau. Cekungan itu berfungsi sebagai “catchment area” (baca:
daerah penampungan air). Tak heran, jika beberapa tumbuhan, seperti pohon
pisang, pinus, cemara, buah naga, mangga, jambu air, petai cina, palem,
srikaya, jamblang dan sebagainya yang bukan merupakan khas vegetasi wilayah
pesisir mampu tumbuh dengan baik di Pulau itu.
Pengunjung bermain di pantai P. Pari |
Dan
masih berdasarkan hasil penelitian P2O LIPI, beragam jenis tanaman di Pulau Pari
memiliki potensi tumbuh dan berkembang lebih besar di banding di pulau-pulau
lain di Kepulauan Seribu. Pasalnya, kebanyakan pulau-pulau di Kepulauan Seribu
didomiansi oleh tumbuhan mangrove dan pohon kelapa.
“ya,
mas, di tempat ini persis seperti daratan di tempat lain. Bermacam macam
tumbuhan tumbuh dengan subur”, papar Samsuddin.
Secara
umum, wilayah Pulau Pari terdiri dua wilayah, yakni wilayah timur dan barat.
Wilayah timur terdiri dari bagian kepala atau bagian timur pulau, sementara
bagian barat merupakan bagian ekor.
Bagian
barat Pulau Pari lebih banyak digunakan sebagai lokasi pemukiman. Besar
kemungkinan, karena posisi cekungan berada di posisi tersebut. Itu
sebabnya, geliat ekonomi masyarakat juga lebih banyak di bagian barat, ketimbang
di bagian timur.
Sedangkan
di bagian timur atau bagian kepala di dominasi oleh wilayah pantai yang luas. Untuk
waktu-waktu tertentu, seperti saat surut, wilayah itu bisa dilalui dengan
berjalan kaki. Selain itu, bagian timur merupakan wilayah yang diperuntukkan
sebagai penahan abrasi pantai, mengingat ombak di kawasan ini terbilang besar
dibanding sebelah barat.
Dan,
sejak kunjungan wisatawan bertambah banyak ke Pulau Pari, bagian timur pulau
itu pun disulap sebagai lokasi wisata. Masyarakat setempat menyebutnya dengan
“Pantai Pasir Perawan”. Di tempat itu, pengunjung bisa menikmati matahari
terbit. Sehingga, bagi pengunjung tidak bisa menikmati matahari tenggelam,
sebagai gantinya bisa melihat matahari terbit dari pantai ini.
Karena
kekayaan sumber daya alamnya, baik di laut maupun di darat, sejak tahun 1997 Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendirikan Unit Pelaksana Teknis di Pulau
Pari. Namanya Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Kompetensi Sumber Daya
Manusia Oseanografi Pulau Pari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia disingkat
UPTLPKSDMOPPLIPI.
UPT
LIPI itu berpotensi besar dalam pengembangan pendidikan, pelatihan, public
awareness, konservasi, dan pariwisata yang dapat dirasakan manfaatnya oleh
masayarakat luas. Bukan sekedar pengembangan Kompetensi SDM Oseanografi saja.
“dulu, orang-orang LIPI juga ngasih pembelajaran
kepada kami, misalnya tentang bercocok tanam rumput laut” ungkap Samsuddin.
Selain
itu, laboraturium UPT LIPI juga memiliki beragam jenis koleksi biota laut yag
ada di perairan Pari dan sekitarnya, serta beberapa koleksi spesies hewan dan
tumbuhan, baik yang ada di permukaan maupun bawah laut.
Sayangnya,
seiring dengan meningkatnya kunjungan wisata, kondisi itu berdampak buruk pada
UPT LIPI. Misalnya, tidak adanya tanda batas untuk kawasan UPT LIPI, juga tak
adanya gerbang sebagai pertanda pintu masuk. Kondisi itu memungkinkan UPT
sangat terbuka dan gampang dimasuki siapa saja. Padahal kawasan riset harusnya
tertutup dan tidak sembarang orang bisa masuk.
“Tak
adanya tanda atau rambu yang menyatakan wilayah batas UPT, membuat banyak orang
datang begitu saja, bahkan sampai ke sela-sela bangunan dan laboratorium”, ujar
Samsuddin.
Rumput Laut dan Tumpahan
Minyak
Peta P. Pari (sumber: internet) |
Selain
sebagai kawasan tangkapan air tawar, dulunya Pulau Pari juga merupakan salah
satu penghasil rumput laut terbaik di Kepulauan seribu. Konon, produksi
terbesar berasal dari pulau ini. Namun sayang, sejak tumpahan minyak kerap terjadi, rumput lautnya banyak yang
mati. Belum lagi, kondisi itu diperparah dengan banyaknya sampah warga Jakarta
yang hanyut sampai ke pulau ini.
“untuk
bulan-bulan tertentu, kondisi laut disini sangat buruk. Sampah-sampah plastik
dari Jakarta hanyut sampai kesini dan membuat pantai menjadi kotor”, ujar
Samsuddin.
Jika
dahulu sebagian besar penduduk berjaya dengan kegiatan budidaya rumput laut,
kini tidak lagi. Budidaya rumput laut telah hilang, setidaknya sejak lima tahun
terakhir. Dan, kalau pun ada yang bertani rumput laut pastinya hanya segelintir
orang. Itu pun lokasinya jauh ke pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Pari.
“dulu
hampir semua orang terlibat budidaya rumput laut, tapi sejak terjadinya limbah,
rumput laut disini menjadi kecil dan banyak yang mati”, papar Samsuddin.
Kejadian
terparah terjadi pada 16 Oktober 2008 silam. Saat itu sekitar 6000 kilogram
minyak harus diangkat dari perairan di Pulau Pari. Menurut penduduk, tumpahan
minyak terjadi akibat karamnya kapal tanker pembawa minyak di sebelah timur Pulau
Pari.
“Dalam sehari penduduk bisa mengumpulkan
sekitar 400 kantung minyak, dengan berat masing-masing 15 kilogram,” ujar Samsuddin.
Genangan
minyak itu dapat ditemui disepanjang gugusan pulau Pari. Menempel pada
batu-baru karang dan tumbuhan mangrove yang ada disana. Lama kelamaan jika
tidak diangkat akan mengganggu ekosistem laut. Mulai dari matinya plankton, rusaknya
terumbu karang, hingga matinya aneka jenis
ikan.
“Genangan
minyak menyebabkan matahari tak bisa tembus ke bagian bawah lautan. Kalo sudah
begitu, plankton sebagai sumber makanan
ikan akan mati,” urai Samsuddin.
Akibat
peristiwa itu, kerugian diperkirakan mencapai Rp. 1,3 milyar. Angka itu berasal
dari perhitungan kerugian akibat matinya rumput laut yang dibudidaya
masyarakat.
“Ada
250 KK yang berusaha rumput laut sekarang di pulau Pari, dan semuanya bisa rugi
minimal Rp. 5 juta perkepala,” ujar Samsuddin.
Dulu,
sewaktu masih banyak, rumput laut Pulau
Pari di jual ke berbagai daerah di Indonesia. Biasanya warga menjualnya dalam
bentuk kering dan dalam jumlah besar. Rumput laut yang di panen adalah rumput
laut yang telah berusia 2 bulan.
"Rumput
laut dari Pulau Pari, biasanya kami jual ke Pasar Jatinegara, Tanah Abang
(Jakarta), Cirebon, hingga Padang. Sekali mengirim bisa mencapai 4 hingga 5
kuintal” tambahnya.
Saat
itu, harga rumput laut juga cukup baik, bisa mencapai Rp. 25.000/kg. Tak heran
jika penghidupan masyarakat terangkat dengan budidaya rumput laut
“Kalau
sudah panen, penghasilan yang saya dapatkan lumayan besar waktu itu," ujar
Samsuddin.
Kini,
seiring dengan menurunya produksi, masyarakat Pulau Pari tidak lagi menjual
rumput laut dalam jumlah besar. Sebagai gantinya, mereka mengolahnya menjadi
aneka jenis makanan. Salah satunya adalah “dodol rumput laut”
Belakangan,
dodol mereka cukup diminati pengunjung. Banyak yang membelinya sebagai oleh-oleh
untuk dibawa pulang. Dengan harga antara Rp. 6.000 hingga Rp. 10.000 berbagai
bentuk ukuran dodol rumput laut ditawarkan oleh industri rumahan yang tersebar
di Pulau Pari.
Sejak
kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu meningkat dalam beberapa tahun terakhir,
penduduk Pulau Pari ikut berbenah.
Mereka banyak bercermin dari tata kelola yang dilakukan oleh masyarakat
Pulau Tidung, tetangga pulau sebelah. Saat itu, kunjungan tamu telah lebih
dahulu ada di Pulau Tidung, sementara Pulau Pari relatif tertutup.
Akhirnya
secara swasembada masyarakat mulai berpikir tentang konsep ekowista, sebuah
konsep wisata yang sedang popular akhir-akhir ini. Secara perlahan, masyarakat
pun membangun rumah-rumah sederhana yang bisa digunakan sebagai penginapan. Selain
itu, masyarakat juga menyiapkan makanan bagi
para tamu. Dengan demikian pelibatan masyarakat setempat sangat besar.
Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Muara Angke |
Selain
itu, mereka juga menyiapkan paket-paket wisata murah yang terjangkau oleh wisatawan
lokal, khususnya warga ibukota. Dan hebatnya, meski tanpa promosi yan
gila-gilaan, kunjungan ke pulau ini terus bertambah. Semua itu ternyata tak
lebih dari bentuk promosi mulut ke mulut. Ketika satu orang menceritakan
keindahan Pulau Pari kepada temannya, maka temannya itu akan melakukan yang
sama kepada temannya yang lain. Demikian seterusnya.
Akhirnya,
tak sampai lima tahun, jumlah wisatawan, baik lokal maupun mancanegara yang datang berkunjung ke Pulau Pari telah
mencapai ribuan orang. Masyarakat yang tadinya menggantungkan hidupnya dari
budidaya rumput laut, kini beralih ke sektor wisata. Penghasilan yang mereka
dapatkan pun jauh lebih besar ketimbang dari hasil melaut ataupun budidaya
rumput laut.
”Sekarang,
satu nelayan bisa memperoleh Rp 150.000 sehari hanya dari jasa perahu pada
musim liburan. Ini lebih tinggi dibanding melaut yang rata-rata Rp 100.000 per
hari. Belum lagi, kalau mereka punya penginapan, jumlahnya pasti lebih besar” pungkas
Samsuddin sembari menghantarkan kami ke pelabuhan siang itu.
*note: foto by Jekson Simanjuntak
No comments:
Post a Comment