Wednesday, December 07, 2016

*Selalu Ada|

 
(source: http://wefollowpics.com)
Ajari aku membaca hujan,
agar aku mampu membaca air.
Ajari Aku mendengar angin,
agar aku sanggup mendengar.
Lirih cerita dibalik bahana,
Suaramu!

*** 
“Ya, aku tahu jika aku selalu ada”

Sebagaimana yang pernah kau ungkapkan. Saat itu, di minggu pagi yang mendung. Tepat ketika hujan telah berhenti dan semburat merah menyeruak di ufuk timur. Begitu bangun, aku membuatkan minuman hangat. Coklat panas kesukaanmu.

“Ruy, bangun!”
“Nih, minumanmu sudah siap. Minumlah, mumpung masih hangat”, seruku.

Usai meracik minuman hangat, beberapa barang berserakan dan basah mulai kurapikan. Kebanyakan basah akibat terkena tempias hujan yang turun sejak tengah malam tadi. Bahkan sepatu “Treksta” kebanggan yang telah kusembunyikan di balik tenda ternyata ikutan basah.

“Wah, bakal gak enak nih, perjalanan pulang”
“Sial”, umpatku membathin.

Ketika berbenah, aku tak begitu memperhatikan, apakah Ruy, wanita istimewa itu telah bangun atau belum. Hanya saja, ketika kusodorkan cangkir ungu favoritnya, ia sempat berkata:

“Ya.., taroh aja di depan tenda. Ntar kuambil”

10 menit diluar tenda, kulihat banyak pendaki mulai berkeliling di alun-alun lembah Mandalawangi. Ada yang saling sapa meski tak saling kenal. Ada yang sendirian diatas batu menikmati pagi ditingkahi kabut tipis yang beringsut pergi. Pun, banyak yang memulai hari dengan memasak, seperti yang kulakukan tadi.

Pagi itu, jujur saja, cuaca agak mendung dan berangin. Sementara mega menyembul perlahan cenderung malu. Awalnya, kupikir bisa bertahan sambil menikmati pagi. Eh taunya, badan mulai menggigil kedinginan.

Biasanya, saat kemping di gunung aku selalu keluar tenda ketika pagi menjelang. Maklum suasana seperti itu jarang terjadi. Kalo dihitung-hitung palingan cuma dua kali setahun aku mendaki. Itupun paling banter jika ada yang mengajak.

Karena itu, suasana pagi di gunung tak pernah kusia-siakan. Sebisa mungkin berada di luar tenda. Minimal menenggak aroma serasah sambil menyesap udara gunung yang levelnya jauh berbeda dengan udara kota.

Saat ingin berlama-lama diluar diluar tenda, ternyata cuaca tak bersahabat. Hembusan angin yang menyisakan embun di rerumputan membuat bulu kuduk menegang. Aku kedinginan. Mau tidak mau, harus balik ke tenda untuk mengambil jaket.

Sesampainya di depan tenda, kulihat coklat panasnya belum tersentuh. Cangkirnya belum berubah posisi dan kini menjadi dingin.

“Tumben!”, pikirku.

Aku lalu membangunkannya. Berharap ia beranjak. Namun ternyata tidak. Ruy tetap dalam posisi tidur pistol, meringkuk indah di dalam kantung tidur bulu angsa yang memang kupersiapkan khusus buatnya.

Sejurus aku pun menarik jaket Berghauss berbahan Gore-Tex yang dijadikannya sebagai bantal.

“Ruy, jaketnya bisa kuambil?”, tanyaku.
“Aku kedinginan! Izin ya...”

Dia tidak menjawab. Hanya menggeser posisi badan agak kepojokan. Aku pun mengambil jaket itu dan mengenakannya. Begitu jaket terpasang, aku menjadi lebih siap dengan kondisi apapun. Badan berasa lebih hangat.

“Ruy, minumannya mau kupanaskan  lagi, gak?”, tanyaku serius.
“Boleh!”, jawabnya singkat.

Aku lalu memasukkan minuman itu kedalam ceret kecil untuk dipanaskan di atas tungku Trangia. Tak sampai 5 menit, minuman panas kembali.

Saat berbalik badan hendak menyodorkan minuman hangat, aku kaget melihatnya telah duduk dengan kedua tangan mengucek-ngucek mata sambil menguap. Kali ini ia melepaskan pandang ke arah keluar. Ia menatapku.

“Thanks buat minumannya, Gun!”, ujarnya sambil menerima cangkir berbahan mika yang kuberikan
“Jangan langsung diminum. Masih panas bangat, tuh”, sergahku.

Ruy lalu meletakkan cangkir itu di atas tanah dekat tenda. Sementara aku, mulai mengumpulkan beberapa logistik, siap untuk dimasak menjadi menu sarapan pagi. Pilihanku jatuh pada havermut atau oatmeal yang cara memasaknya cukup mudah.

Untuk perjalanan sulit seperti ke gunung, menu makanan dengan volume yang lebih ringan sangat dianjurkan. Itu sebabnya, aku tidak membawa beras, namun lebih memilih havermut atau roti. Alasannya beban logistik yang berat membuat pergerakan menjadi lambat. Ups.., kalo untuk tips ini, hanya sekedar berbagi saja. Bukan ingin menggurui.

Aku yang awalnya membelakangi Ruy saat memasak, secara perlahan merubah posisi duduk, sehingga kami pun berhadap-hadapan. Muka ketemu muka. Dari posisiku, aku bisa menatap wajahnya yang cantik. Cantik alami tanpa make up. Matanya yang indah dan bibir tipisnya tak pernah bosan untuk kupandang.

“Makasih buat coklat panasnya, Gun!”, tutur Ruy tersenyum.
“Okay...”, sahutku.
“Tadi kupikir kamu belum bangun loh. Mungkin karena kemarin, kecapean, mendaki seharian”
“Ya nih, aku memang capek banget! Tapi kalo bareng  kamu, semua capekku ilang, loh”, ujar Ruy menggoda.
“Kok gitu?”
“Ntah juga. Aku pun heran. Hehehe”

Aku lalu memandangnya nanar, ketika ia menyeruput minuman kesukaannya dengan lahap. Ada perasaan senang, ketika berhasil membuatnya bahagia, walaupun hanya demi segelas coklat panas.

“Gimana Ruy?”
“Enak?”

Ia hanya mengangguk! Aku lalu larut dengan kegiatan mengaduk havermut, agar tidak terlalu keras saat dikunyah, dengan kadar air yang pas. Begitu dirasa pas, aku mendinginkannya di wadah yang telah kusiapkan. Setelahnya, kulanjutkan dengan menjerang air.

“Gun, kok kamu baik banget sih?”, tanya Ruy sambil menggenggam cangkir dengan kedua tangannya yang mungil.
“Baik??? Biasa aja, kalee”, jawabku cengengesan.
“Abis, sejak mendaki kemarin, perhatianmu gak pernah kurang. Setiap aku hampir jatuh, kamu pegang aku. Trus, pas kalo aku mulai capek, kamu ajak istirahat”
“Oh itu...”
“Itu mah, biasa, di setiap pendakian. Saling memperhatikan dan membantu”, ujarku menjelaskan.

Setelah itu, sekeliling menjadi sunyi dalam hitungan menit. Hening.
Ruy tidak bersuara, demikian juga aku.
Ruy sibuk dengan minumannya sebelum beralih mengutak atik kamera TG-4 kebanggaannya. Ia bersiap untuk memotret, sepertinya. Sementara aku segera mengeluarkan beberapa barang yang lembab untuk dijemur, seiring sinar mentari yang mulai berani. Contohnya, sleeping bag, matras dan jaket.

“Gun...”, sapanya.
“Ya...” sahutku!
“Kamu tahu, gak seh, jika kamu selalu ada?”
“Maksudnya?”
“Kamu selalu ada di hatiku, Gun!”
“Selalu dan selamanya”
“Semoga Ruy”, jawabku dalam hati.

****
5 tahun berlalu, aku kembali terngiang kata-kata itu.
"Kamu akan selalu ada"
Teringat Ruy, tepat ketika sebuah undangan tiba di atas meja kerjaku. Undangan istimewa yang jarang-jarang kuterima.

Sejurus kuperhatikan dengan seksama sampulnya.
Ada namanya tertera disitu.





*Pancoran yang dingin

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN