Awalnya lelaki tua ini tampak ragu, kemudian dengan sedikit konsentrasi sebuah ide pun muncul. Tangannya yang keriput kelihatan bergetar, saat menorehkan ma-opi* ke atas putihnya si-ence* berukuran 30cm x 1,2m. Sejurus kemudian lekukan kuas nya mulai bergerak pasti, membentuk empat buah kata mutiara. Konon, kata-kata mutiara dari kaligrafi China ini bisa menjadi penambah spirit bagi mereka-mereka yang membutuhkan. Untuk kata pertama, dia membentuk huruf “tien” (baca: artinya langit), diikuti dengan huruf “tao” artinya prinsip. Selanjutnya secara perlahan kata “cou” (artinya upah: red) dan berakhir dengan kata “chin”, yang artinya rajin sebagai kata penutup.
Kabarnya, kaligrafi China punya makna filosofi yang sangat dalam, disamping proses pembuatannya yang cukup sulit dan tidak sembarangan. Waktu belajar puluhan tahun pun menjadi kesulitan tersendiri untuk mempelajarinya
Weihan, demikian nama pria berusia 56 tahun ini. Keahliannya melukis kaligrafi khususnya kaligrafi China, menjadikannya sebagai seorang pakar kaligrafi yang tersisa di Indonesia. Konon kabarnya, tak banyak orang yang menekuni bidang ini. Bahkan di China sendiri, karya-karyanya banyak dicari orang. Bukan karena kata-kata mutiara dan puisi, tapi lebih kepada keindahan kaligrafi yang ditawarkannya. “Kaligrafi saya selalu punya keindahan yang berbeda, dibanding karya orang China sendiri”, tuturnya, sebagai pembuka pembicaraan.
Awal kecintaannya terhadap dunia kaligrafi, ternyata tidak datang begitu saja. Saat itu, Weihan kecil yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD di Jakarta, mempelajari kaligrafi China sebagai mata pelajaran tambahan di sekolahnya. Karena berada di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari etnis China, mata pelajaran ini menjadi kegiatan belajar yang diajarkan turun temurun.
“Waktu itu, saya gak tahu apa maksud dari menulis huruf China ini. Tapi, lama kelamaan, seiring proses belajar yang saya lakukan, akhirnya saya mengerti makna yang tersembunyi dari huruf-huruf ini”, tuturnya, saat menuliskan sebuah kata mutiara. Sewaktu menuliskan sebuah kata-kata mutiara ataupun puisi dalam bahasa China, biasanya proses konsultasi menjadi penting bagi mereka yang akan memesan hasil karyanya. Karena kata-kata tersebut adalah cerminan pribadi pembeli.
Tapi, tak selalu dia bekerja sesuai pesanan. Seperti sekarang ini, saat aku bertandang kesana, dia baru saja menyelesaikan sebuah kaligrafi, berupa puisi. Ketika hasrat ingin menulisnya timbul, biasanya tak ada yang bisa membendung. Perkara, apakah nanti ada yang membeli atau tidak. Dia tak peduli. “Tapi anehnya, saat sebuah karya telah jadi, selalu saja ada orang yang datang berkunjung, apakah itu saudara atau orang lain. Dan, sewaktu melihat karya saya ini, tiba-tiba saja mereka tertarik untuk memiliki. Lalu dibeli lah oleh mereka!”, ucapnya disela-sela perbincangan kami.
Untuk ukuran harga, Weihan tak pernah mematoknya. Saat sebuah karya disenangi oleh pembeli, umumnya mereka yang menawar lebih dahulu. Sehingga tak jarang Weihan akan terheran-heran dengah harga penjualan yang diterimanya. Tapi, tak jarang juga Weihan akan memberi gratis hasil karyanya kepada orang-orang yang dianggap penting olehnya. Sama seperti saat ini, saya pun kecipratan hasil karyanya secara gratis. “Ntah kenapa, kalo ingin memberi, saya pasti akan ngasih dengan cuma-cuma. Tapi kalo saya rasa karya ini harus dijual, pasti akan ada orang yang membeli. Bahkan, untuk kaligrafi saya, ada orang yang rela membeli seharga 30 juta rupiah”, ucapnya, sembari merujuk beberapa karya yang sudah di pesan orang.
Bagi mereka-mereka yang tertarik mempelajari kaligrafi China, waktu seakan tak berarti untuk mengukurnya. Jika ingin menjadi sarjana dibutuhkan waktu sekian tahun, berbeda halnya dengan kaligrafi. Weihan yang sudah menggeluti bidang ini sejak 50 tahun silam, masih saja merasa kurang mahir. Artinya, untuk sebuah proses belajar, tak ada yang bisa membatasi, termasuk waktu. Tapi, waktu bisa menjelaskan matang tidaknya sebuah proses belajar. Kalau di China, untuk bisa melukis dan punya pemahaman yang baik tentang karya kaligrafi, dibutuhkan waktu sedikitnya 30 tahun. Sungguh, sebuah waktu yang sangat lama. Sehingga, wajar jika karya ini bernilai sangat tinggi.
@@@@@
Apakah kita tahu, bahwa seorang pelukis terkenal abad pertengahan bernama “Picaso”, pernah kepikiran untuk beralih aliran menjadi pelukis kaligrafi China. Konon karena keeksotisan dan nilai rasa yang dikandungnya, seniman ini sempat belajar kepada pelukis kaligrafi China. Tapi, karena di Prancis saat itu, penghargaan terhadap karya-karya realis lebih dominan. Picaso pun tak mampu membendung keinginan pasar.
Bagi Weihan, keinginan melukis kaligrafi, tak bisa tergantikan oleh kegiatan apapun. Selain mampu membuat semua organ tubuh bergerak, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang. Sehingga, bukan hal aneh, jika para pelukis kaligrafi punya umur panjang. Ini yang terjadi di China, para pelukis kaligrafi punya umur sampai 100 tahun. “Abis, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang dan semua masalah jadi lenyap”, tuturnya ketika menjelaskan manfaat melukis kaligrafi.
Karena Weihan berasal dari suku Han, di utara China. Melukis kaligrafinya pun berasal dari huruf Han-ce. Kabarnya, huruf ini diketahui oleh hampir semua etnis China, disamping huruf-huruf lain. Biasanya, saat akan melukis kaligrafi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya; saat melukis, bagian kosong diatas kertas harus lebih besar dibanding bawahnya. Hal ini menunjukkan komposisi langit harus lebih besar dibanding tanah, yang disimbolkan sebagai bagian bawah. Selain itu, konsentrasi penuh, menjadi hal penting ketika akan menorehkan tinta, disamping banyak membaca buku-buku filsafat China. Selain itu, proses melukisnya hanya boleh dilakukan dalam satu sapuan kuas. Tidak boleh ada penebalan. Sehingga, saat ada bagian yang tak tersapu kuas, ini menjadi salah satu daya tariknya.
@@@@@
Empat buah kata muitara yang ditulis tadi, menjadi ajang demonstrasi di hadapan kami, perihal kepiawaiannya dalam melukis kaligrafi China. Dalam tempo yang tak terlalu lama, dia berhasil menyusun sebauh kata-kata mutiara yang sangat indah. “Tien tao Chou Cin”, demikian tulisan dalam huruf Han-ce itu. Jika diartikan, tulisan itu akan bermakna, kira-kira begini; Tuhan akan beri upah kepada orang yang rajin.
Mungkin karena merasa akrab dengan kehadiran kami. Tiba-tiba saja dia menawarkan diri untuk melukis kaligrafi untukku sebagai oleh-oleh. Perlambang sebuah persahabatan. Awalnya, aku gak terlalu mengharapkan. Pasalnya, setahuku harga sebuah lukisan kaligrafi terkenal mahal. Tapi, karena dia terlalu memaksa, aku gak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum melukis, dia memintaku untuk menyebutkan sebuah kata atau kalimat perihal makna yang akan dilukisnya nanti. Ntah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan kata “berjuang”. Mungkin karena sifatku sebagai orang pejuang, menghadapi kondisi hidup yang berat ini. Rasanya, kata itu cukup mewakili pribadiku.
Untuk selanjutnya, Weihan mulai mengerutkan dahi, mencari padanan kalimat dari kata “berjuang” itu. Akhirnya kata-kata “Tien tao Chou Cin” tadi menjadi pilihannya. Menurutnya kata-kata itu sangat cocok buatku. Sejurus kemudian, dengan cekatan ia mengambil mek-ce* dan memasukkannya ke dalam mek phan*. Selanjutnya kuas dimasukkan kedalam tinta sebelum ditorehkan keatas putihnya sience*.
Gile, hanya dalam tempo semenit dia sudah berhasil melukis kaligrafi. Rasanya, indah benar karyanya ini. Kalau dilihat sepintas, mungkin terkesan biasa-biasa saja. Tapi, kalau diperhatikan lebih lama nilai-nilai magisnya akan keluar. Sebuah bentuk karya kaligrafi yang simetris dengan tekukan kuas yang tak rata menjadi daya tarik tersendiri.
“Nah, sudah selesai sekarang!”, katanya, sembari membersihkan sisa sisa tinta yang menempel di kuas. Ternyata dengan keahlian melukis, dia bisa bertahan hidup sampai sekarang. Bahkan untuk biaya kedua anaknya yang bersekolah di luar negeri, Weihan penuhi dari keahllian ini. Tapi, jauh dibalik itu samua, perasaan untuk melestarikan budaya leluhur, menjadi alasannya memilih bidang ini, disamping tuntutan ekonomi. “Sebab pada akhirnya, sebuah budaya, tidak akan menjadi milik bangsa itu saja, tetapi akan menjadi milik semua bangsa yang peduli terhadapnya.” Begitu ucapnya sebagai penutup pembicaraan kami kala itu.
Catatan;
Mek ce = tinta
ma-opi = kuas
Si-ence = kertas
Mek-phan = wadah piringan hitam
Kabarnya, kaligrafi China punya makna filosofi yang sangat dalam, disamping proses pembuatannya yang cukup sulit dan tidak sembarangan. Waktu belajar puluhan tahun pun menjadi kesulitan tersendiri untuk mempelajarinya
Weihan, demikian nama pria berusia 56 tahun ini. Keahliannya melukis kaligrafi khususnya kaligrafi China, menjadikannya sebagai seorang pakar kaligrafi yang tersisa di Indonesia. Konon kabarnya, tak banyak orang yang menekuni bidang ini. Bahkan di China sendiri, karya-karyanya banyak dicari orang. Bukan karena kata-kata mutiara dan puisi, tapi lebih kepada keindahan kaligrafi yang ditawarkannya. “Kaligrafi saya selalu punya keindahan yang berbeda, dibanding karya orang China sendiri”, tuturnya, sebagai pembuka pembicaraan.
Awal kecintaannya terhadap dunia kaligrafi, ternyata tidak datang begitu saja. Saat itu, Weihan kecil yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD di Jakarta, mempelajari kaligrafi China sebagai mata pelajaran tambahan di sekolahnya. Karena berada di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari etnis China, mata pelajaran ini menjadi kegiatan belajar yang diajarkan turun temurun.
“Waktu itu, saya gak tahu apa maksud dari menulis huruf China ini. Tapi, lama kelamaan, seiring proses belajar yang saya lakukan, akhirnya saya mengerti makna yang tersembunyi dari huruf-huruf ini”, tuturnya, saat menuliskan sebuah kata mutiara. Sewaktu menuliskan sebuah kata-kata mutiara ataupun puisi dalam bahasa China, biasanya proses konsultasi menjadi penting bagi mereka yang akan memesan hasil karyanya. Karena kata-kata tersebut adalah cerminan pribadi pembeli.
Tapi, tak selalu dia bekerja sesuai pesanan. Seperti sekarang ini, saat aku bertandang kesana, dia baru saja menyelesaikan sebuah kaligrafi, berupa puisi. Ketika hasrat ingin menulisnya timbul, biasanya tak ada yang bisa membendung. Perkara, apakah nanti ada yang membeli atau tidak. Dia tak peduli. “Tapi anehnya, saat sebuah karya telah jadi, selalu saja ada orang yang datang berkunjung, apakah itu saudara atau orang lain. Dan, sewaktu melihat karya saya ini, tiba-tiba saja mereka tertarik untuk memiliki. Lalu dibeli lah oleh mereka!”, ucapnya disela-sela perbincangan kami.
Untuk ukuran harga, Weihan tak pernah mematoknya. Saat sebuah karya disenangi oleh pembeli, umumnya mereka yang menawar lebih dahulu. Sehingga tak jarang Weihan akan terheran-heran dengah harga penjualan yang diterimanya. Tapi, tak jarang juga Weihan akan memberi gratis hasil karyanya kepada orang-orang yang dianggap penting olehnya. Sama seperti saat ini, saya pun kecipratan hasil karyanya secara gratis. “Ntah kenapa, kalo ingin memberi, saya pasti akan ngasih dengan cuma-cuma. Tapi kalo saya rasa karya ini harus dijual, pasti akan ada orang yang membeli. Bahkan, untuk kaligrafi saya, ada orang yang rela membeli seharga 30 juta rupiah”, ucapnya, sembari merujuk beberapa karya yang sudah di pesan orang.
Bagi mereka-mereka yang tertarik mempelajari kaligrafi China, waktu seakan tak berarti untuk mengukurnya. Jika ingin menjadi sarjana dibutuhkan waktu sekian tahun, berbeda halnya dengan kaligrafi. Weihan yang sudah menggeluti bidang ini sejak 50 tahun silam, masih saja merasa kurang mahir. Artinya, untuk sebuah proses belajar, tak ada yang bisa membatasi, termasuk waktu. Tapi, waktu bisa menjelaskan matang tidaknya sebuah proses belajar. Kalau di China, untuk bisa melukis dan punya pemahaman yang baik tentang karya kaligrafi, dibutuhkan waktu sedikitnya 30 tahun. Sungguh, sebuah waktu yang sangat lama. Sehingga, wajar jika karya ini bernilai sangat tinggi.
@@@@@
Apakah kita tahu, bahwa seorang pelukis terkenal abad pertengahan bernama “Picaso”, pernah kepikiran untuk beralih aliran menjadi pelukis kaligrafi China. Konon karena keeksotisan dan nilai rasa yang dikandungnya, seniman ini sempat belajar kepada pelukis kaligrafi China. Tapi, karena di Prancis saat itu, penghargaan terhadap karya-karya realis lebih dominan. Picaso pun tak mampu membendung keinginan pasar.
Bagi Weihan, keinginan melukis kaligrafi, tak bisa tergantikan oleh kegiatan apapun. Selain mampu membuat semua organ tubuh bergerak, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang. Sehingga, bukan hal aneh, jika para pelukis kaligrafi punya umur panjang. Ini yang terjadi di China, para pelukis kaligrafi punya umur sampai 100 tahun. “Abis, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang dan semua masalah jadi lenyap”, tuturnya ketika menjelaskan manfaat melukis kaligrafi.
Karena Weihan berasal dari suku Han, di utara China. Melukis kaligrafinya pun berasal dari huruf Han-ce. Kabarnya, huruf ini diketahui oleh hampir semua etnis China, disamping huruf-huruf lain. Biasanya, saat akan melukis kaligrafi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya; saat melukis, bagian kosong diatas kertas harus lebih besar dibanding bawahnya. Hal ini menunjukkan komposisi langit harus lebih besar dibanding tanah, yang disimbolkan sebagai bagian bawah. Selain itu, konsentrasi penuh, menjadi hal penting ketika akan menorehkan tinta, disamping banyak membaca buku-buku filsafat China. Selain itu, proses melukisnya hanya boleh dilakukan dalam satu sapuan kuas. Tidak boleh ada penebalan. Sehingga, saat ada bagian yang tak tersapu kuas, ini menjadi salah satu daya tariknya.
@@@@@
Empat buah kata muitara yang ditulis tadi, menjadi ajang demonstrasi di hadapan kami, perihal kepiawaiannya dalam melukis kaligrafi China. Dalam tempo yang tak terlalu lama, dia berhasil menyusun sebauh kata-kata mutiara yang sangat indah. “Tien tao Chou Cin”, demikian tulisan dalam huruf Han-ce itu. Jika diartikan, tulisan itu akan bermakna, kira-kira begini; Tuhan akan beri upah kepada orang yang rajin.
Mungkin karena merasa akrab dengan kehadiran kami. Tiba-tiba saja dia menawarkan diri untuk melukis kaligrafi untukku sebagai oleh-oleh. Perlambang sebuah persahabatan. Awalnya, aku gak terlalu mengharapkan. Pasalnya, setahuku harga sebuah lukisan kaligrafi terkenal mahal. Tapi, karena dia terlalu memaksa, aku gak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum melukis, dia memintaku untuk menyebutkan sebuah kata atau kalimat perihal makna yang akan dilukisnya nanti. Ntah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan kata “berjuang”. Mungkin karena sifatku sebagai orang pejuang, menghadapi kondisi hidup yang berat ini. Rasanya, kata itu cukup mewakili pribadiku.
Untuk selanjutnya, Weihan mulai mengerutkan dahi, mencari padanan kalimat dari kata “berjuang” itu. Akhirnya kata-kata “Tien tao Chou Cin” tadi menjadi pilihannya. Menurutnya kata-kata itu sangat cocok buatku. Sejurus kemudian, dengan cekatan ia mengambil mek-ce* dan memasukkannya ke dalam mek phan*. Selanjutnya kuas dimasukkan kedalam tinta sebelum ditorehkan keatas putihnya sience*.
Gile, hanya dalam tempo semenit dia sudah berhasil melukis kaligrafi. Rasanya, indah benar karyanya ini. Kalau dilihat sepintas, mungkin terkesan biasa-biasa saja. Tapi, kalau diperhatikan lebih lama nilai-nilai magisnya akan keluar. Sebuah bentuk karya kaligrafi yang simetris dengan tekukan kuas yang tak rata menjadi daya tarik tersendiri.
“Nah, sudah selesai sekarang!”, katanya, sembari membersihkan sisa sisa tinta yang menempel di kuas. Ternyata dengan keahlian melukis, dia bisa bertahan hidup sampai sekarang. Bahkan untuk biaya kedua anaknya yang bersekolah di luar negeri, Weihan penuhi dari keahllian ini. Tapi, jauh dibalik itu samua, perasaan untuk melestarikan budaya leluhur, menjadi alasannya memilih bidang ini, disamping tuntutan ekonomi. “Sebab pada akhirnya, sebuah budaya, tidak akan menjadi milik bangsa itu saja, tetapi akan menjadi milik semua bangsa yang peduli terhadapnya.” Begitu ucapnya sebagai penutup pembicaraan kami kala itu.
Catatan;
Mek ce = tinta
ma-opi = kuas
Si-ence = kertas
Mek-phan = wadah piringan hitam