Rudi Rubiandini memberikan keterangan usai ditangkap KPK di rumahnya. (Foto: Republika.co.id) |
Hari itu, sekitar pukul 5 subuh, kami dikejutkan dengan berita tertangkapnya Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) oleh KPK. Saat itu kami melihatnya dari tv sebelah (baca: tv kompetitor).
Sekilas gambar yang ditampilkan tidak begitu baik. Pasalnya, kebanyakan merupakan gambar malam yang notabene gelap. Belum lagi, beberapa bagian terasa goyang, membuat penonton tidak nyaman. Artinya, untuk ukuran visual, tayangan itu masih jauh dari baik.
Tapi, ups, nanti dulu, gambar itu jadi bermakna, karena nilai beritanya yang sangat besar. Belum lagi, ia hadir disaat yang tepat, manakala tak satu pun stasiun tivi lain meliput hal itu.
Atas usaha itu, rasanya tak salah jika kupersembahkan dua jempol kepada tim peliput, yakni reporter dan camera person. Sebuah penghargaan atas kerja keras mereka. Dan, berkat mereka pula masyarakat jadi mengetahui cerita yang sebenarnya.
Jika saja mereka membiarkan momen itu berlalu begitu saja, ceritanya pasti berbeda. Tak akan ada visual yang jadi trigger di kasus itu. Semua visual yang muncul belakangan pastinya tak lebih dari doorstep dan konpers di gedung KPK.
Sadar kami tak punya gambar sekuat tv tetangga itu, saya pun berinisiatif membuat berita singkat mengenai peristiwa itu. Bahannya saya ambil dari foto-foto di internet yang kebetulan berlogo CC (Creative Common).
Akhirnya, pagi itu kami pun menayangkan peristiwa penangkapan tersebut hanya dengan still foto. Pasalnya, video dokumentasi yang kami miliki belum 'ready' untuk digunakan, alias masih butuh treatment khusus, karena statusnya ada di archieve.
Dan, materi itu pun tayang di segmen 1 item ke 3. Senang melihatnya melaju dengan mulus di layar kaca. Lumayan buat kerja tim.
Bukan Kejadian Pertama
Perstiwa penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini mensyaratkan betapa rawannya sektor pertambangan, khususnya industri minyak dan gas kita. Pasalnya, perputaran uang di Industri ini cukup besar sehingga berpotensi rentan korupsi.
Belum lagi, jika hal itu dikaitkan dengan kewenangan yang besar. Pola-polanya pasti selalu melibatkan pejabat di level tertinggi selaku pengambil kebijakan. Selain itu, jamak terjadi adanya penujukan langsung yang berimplikasi pada perputaran uang dalam jumlah besar.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi, Pri Agung Rakhmanto di beberapa media mengatakan, bahwa semakin besar perputaran uangnya, semakin besar insentif untuk penyalahagunaan.
Lalu, bisa jadi praktek-praktek seperti itu memang sudah menjadi tradisi di sektor kebijakan, seperti SKK Migas. Maklum, ia memiliki kewenangan untuk menunjuk pihak ketiga yang menjual minyak mentah dan gas bagian negara.
Karena itu, penunjukan melalui lelang maupun penunjukan langsung yang kerap dilakukan sangat berpotensi korupsi. Belum lagi jika kita menyadari bahwa SKK Migas bukanlah entitas bisnis.
Lemahnya Pengawasan
Penangkapan Rudi Rubiandini jadi cermin betapa buruknya pengawasan di lingkungan internal pemerintah.
Karena itu, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Jero Wacik dianggap ikut bertanggungjawab. Hal ini terkait jabatannya sebagai Ketua Pengawas Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas.
Pengamat Energi, Marwan Batubara di salah satu media mengatakan, operasi tangkap tangan itu menunjukkan pengawasan Jero Wacik terhadap SKK Migas selama ini tidak optimal.
"Ini yang namanya Jero Wacik sebagai ketua pengawas di SKK saya kira sudah sepantasnya mengundurkan diri kalau memang Rudi nanti memang terbukti bersalah. Dia sebagai ketua pengawas SKK berarti tidak melakukam pengawasan," ujarnya di salah satu media online.
Menurut pengamat perminyakan, Marwan Batubara mengatakan, semestinya pengelolaan dan jual-beli minyak diberikan sepenuhnya ke Pertamina selaku BUMN. Lalu keuntungan akan masuk ke kas negara.
"Saya lihat, DPR dan Pemerintah itu kan kelihatan happy dengan SKK. Apalagi SKK itu mengelola uang tidak mengikuti APBN. Itu dikelola sendiri. Jadi dapat prevensi dari penerimaan migas, mereka ambil sekian persen, lalu mereka kelola sendiri. Alasannya, mereka kelola uang seratusan triliun," ujar Marwan di salah satu media online.
Jika RUU Migas tak memasukkan kewenangan penjualan minyak mentah sebesar 15 persen, maka potensi korupsi di sektor itu bkal lebih besar lagi.
Saat ini pengelolaan minyak nasional sebanyak 85 persennya merupakan bagian negara dan 15 persen bagian Kontraktor Kerja Sama Migas (KKKS).
Dari 85 persen tersebut sebagian besar masuk ke kilang PT Pertamina (Persero) dan sisanya diekspor. SKK Migas mengekspor minyak sisa melalui pihak ketiga seperti Kernel Oil.
Minyak sisa diekspor dengan alasan jenisnya tak sesuai dengan kilang Pertamina. Kernel Oil memenangkan tender penjualan minyak mentah dari SKK Migas bulan ini sebelum Rudi Rubiandini ditangkap KPK karena menerima suap dengan total hampir Rp 7 milyar.
--end--
No comments:
Post a Comment