(Dia sedang berada di kubikalnya, berkutat dengan pekerjaan tanpa henti. Source: www.thomasnet.com) |
***
Malam itu, seperti juga malam-malam sebelumnya, tak banyak yang berubah. Laki-laki itu masih sendiri di kubikalnya, ditemani secangkir coklat hangat plus komputer butut yang terus meraung tanpa henti. Sejatinya ia mendamba perubahan. Perubahan yang akan membawa dampak besar. Namun sayang, semua berjalan lambat, bak putaran roda pedati. Teratur, monoton, normatif dan sangat membosankan.
Oh ya, ini merupakan hari keempat, baginya bekerja. Dan sehari lagi, aura libur telah bersiap memanggil. Jika bagi banyak orang, bekerja merupakan keharusan, tidak demikian bagi pria paruh baya itu.
Baginya, bekerja lebih dari sekedar kebutuhan. Sementara bagi kebanyakan orang, bekerja adalah memenuhi kebutuhan. Sayangnya, banyak pekerja (baca: level bawah - menengah) tak menyadari, bahwa bekerja bak deret hitung, dan kebutuhan adalah deret ukurnya. Selalu saja, gaji tak kan mampu mencukupi semua kebutuhan yang diinginkan. Kebutuhan selalu berlari lebih cepat, ketimbang gaji yang dikumpulkan.
Karena itulah, ia sadar diri. Baginya kebutuhan jadi refleksi dari hasil kerja keras selama sebulan. Artinya, kebutuhan harus mengikuti gaji, agar tak ketinggian pasak daripada tiang.
Tak hanya itu, menurutnya, bekerja tak lebih dari kemampuan menjual diri. Mirip-mirip pola pekerja seks komersial (PSK) dalam menjaring mangsanya. Jika ada yang booking, pertanda ia masih dibutuhkan. Sedangkan, jika sepi, itu artinya harus introspeksi, sembari mempercantik diri, lewat beragam cara.
Sehingga tak heran, ketika ia bosan dengan lingkungan kerja yang model-nya begitu-begitu aja, itu artinya ia harus bersiap hengkang untuk lompatan yang lebih tinggi. Biarlah kantor itu tenggelam dalam segala kebodohan para punggawanya.